Rokok elektrik di Indonesia |
WAWASANews.com - Apa yang anda bayangkan jika mendengar kata rokok? Benda kecil yang faktanya mempunyai arti penting bagi sebagian besar masyarakat dari dulu sampai saat ini. Rokok sudah dianggap bisa selalu memberikan kenikmatan tersendiri bagi penghisapnya. Tapi akibat efek rokok yang selama ini dianggap tidak baik untuk kesehatan.
Berbagai langkah pun dilakukan pemerintah untuk menekan jumlah pengguna rokok di mana salah satunya dengan menggunakan gambar-gambar menyeramkan yang ditampilkan pada kemasan rokok. Nyatanya harapan tak sesuai dengan fakta, perilaku merokok penduduk 15 tahun ke atas masih belum terjadi penurunan dari tahun 2007 ke 2013 dan cenderung meningkat 2,1% (Kemenkes RI, 2013).
Alih-alih berharap penggunaan rokok tembakau semakin berkurang, muncul sebuah inovasi terbaru, yaitu rokok elektrik yang bisa dibilang cara kerjanya sama seperti rokok konvensional dimana sama-sama dihisap. Fenomena rokok elektrik atau biasa dikenal dengan sebutan Vapor dalam beberapa tahun ini menjadi tren di kalangan remaja maupun orang dewasa di berbagai negara tak terkecuali di Indonesia.
Vape pertama kali masuk di Indonesia sekitar tahun 2013 dan mulai banyak dikonsumsi pada awal pertengahan 2014 dan dalam beberapa tahun terakhir rokok elektrik semakin populer dan jumlah penggunanya semakin bertambah termasuk para remaja.
Vape saat ini menjadi fenomena baru yang telah menjelma gaya hidup bagi kalangan remaja. Banyak kalangan muda atau bahkan anak-anak yang mencoba menggunakan rokok jenis ini. Begitu juga banyak masyarakat yang beralih ke rokok elektrik karena dianggap lebih aman tanpa mengurangi sensasi merokok seperti rokok konvensional itu sendiri.
Bahkan ada beberapa pihak menganggap rokok elektrik merupakan sebuah inovasi kesehatan untuk membantu seseorang untuk mengurangi ketergantungan dan sebagai alat berhenti rokok. Rokok elektrik (vape) pada awalnya memang pernah digunakan sebagai salah satu alat bantu berhenti merokok atau terapi pengganti niktoin (Nicotine Replacement Therapy, NRT) dengan cara mengurangi kadar nikotin rokok elektrik secara bertahap dibawah supervisi dokter.
Faktanya, WHO sudah tidak lagi merekomendasikan penggunaanya sebagai alat bantu merokok sejak tahun 2010 lantaran beberapa studi menemukan adanya zat racun dan karsinogenik pada rokok elektrik sehingga tidak memenuhi unsur keamanan.
Bahkan belakangan ini beredar sebuah video yang seketika menjadi viral setelah seseorang menyebarluaskan video yang berisi tentang pembuktian rokok elektrik (vape) yang aman dikonsumsi sebagai pengganti rokok konvensional.
Di dalam video tersebut terlihat salah seorang vapers yang meminta rontgen paru-paru kepada salah satu petugas medis di klinik dan teman lainnya bertugas untuk merekam selama proses rontgen. Hasilnya petugas medis tersebut menyatakan kondisi paru-paru vapers dinyatakan sehat padahal vapers tersebut mengaku menjadi pecandu vape tingkat berat.
Hal ini tentunya bisa mengubah pandangan masyarakat terutama kalangan remaja bahwa rokok elektrik aman dan tidak berbahaya bagi kesehatan kita. Apabila hal ini bisa menyebabkan rokok elektrik (vape) merajarela, maka bisa jadi fenomena yang disebut-sebut sebagai “bonus demografi” pada tahun 2020-2030 nantinya bisa jadi berubah menjadi “bencana demografi” dimana kita tidak bisa memaksimalkan potensi penduduk umur produktif yang akan merajai piramida penduduk pada tahun tersebut.
Masih banyak perdebatan terkait bahaya rokok elektrik dibandingkan dengan rokok konvensional. Salah satu contohnya riset Universitas Catania di Italia yang memastikan rokok elektrik (vape) tidak berbahaya dan tidak menyebabkan masalah kesehatan terutama pad paru-paru dalam jangka panjang baik dari sisi fisiologis, kilinis, ataupun inflamasi pada perokok reguler (Merdeka.com).
Namun, hal ini berlawanan/ tidak sebanding dengan hasil penelitian dari University of North Carolina yang menunjukkan bahwa rokok elektrik (vape) ternyata juga memberikan dampak yang serius bagi paru-paru yang sama seperti rokok konvensional.
Dengan adanya hasil temuan penelitian yang berbeda-beda terkait dampak kesehatan dari rokok elekrtik, tentunya kita masih belum bisa memastikan dan bertanya-tanya tentang bahaya atau tidaknya rokok elektrik tersebut. Tentunya hal tersebut perlu penelitian dan pengkajian yang lebih lanjut terkait bahaya atau tidaknya rokok elektrik tersebut.
Terlepas dari dampak kesehatan dari rokok elektrik yang masih dipertanyakan, rokok elektrik sejatinya berpotensi memiliki dampak terhadap pola perilaku merokok di kalangan masyarakat. Rokok elektrik kemungkinan besar dapat me-renomalisasi perilaku merokok, maksudnya rokok elektrik dapat meningkatkan daya tarik terhadap rokok konvensional terutama seorang pengguna rokok elektrik yang belum pernah merokok (konvensional) mungkin akan mencoba rokok konvensional.
Itu terjadi karena berdasarkan bentuk dan desain dapat dianggap rokok elektrik adalah produk imitasi dari rokok konvensional sehingga bisa saja pada akhirnya perilaku merokok konvensional dianggap perilaku yang tidak negatif dan biasa-biasa saja. Dan hal tersebut pada akhirnya bisa meningkatkan risiko bertambahnya prokok ganda (dual user) alias pengguna rokok elektrik dan rokok konvensional.
Jadi, perlu dipertimbangkan dan perlu diperhatikan mulai sekarang terkait semakin maraknya dan tren penggunaan rokok konvensional dengan mempertimbangkan dampak positif dan negatif sebelum kita terjebak kembali ke dalam masalah yang sama dengan masalah rokok konvensional yang sangat susah untuk dituntaskan. Sekali lagi jangan sampai nantinya pada tahun 2020-2030 dimana negara kita akan mengalami “bonus demografi” yang seharusnya menguntungkan negara kita malah berubah menjadi fenomena “bencana demografi” dengan bertambahnya masalah terkait rokok ini. (ab)
Hendra Eka Alifiyanto, S.KM, tinggal di Pamekasan, Madura