Opini
Oleh
M. Khoirun Nizam
Pertengahan januari lalu kita dikagetkan dengan
berita di Sragen seorang siswi SMP diarak telanjang mengelilingi kampung karena
kedapatan mencuri pakaian bekas. Yang lebih mengernyitkan dahi, orang tua gadis
tersebut pun tak mampu melawan melindungi anaknya karena diancam dengan tuduhan
melindungi pencuri. Dilematis memang. Sebuah kesalahan dibayar dengan hukuman
yang masuk kategori asusila dan merusak mental anak tersebut. Sebenarnya apa
yang terjadi di tengah masyarakat kita?
Tahun lalu, ramai sekali berita prostitusi artis
terbongkar dan menjadi isu besar yang bahkan menutupi isu-isu besar yang sedang
terjadi di negara ini. Ada yang mengatakan bahwa hal tersebut memang bagian
dari skema besar guna mengalihkan isu penting di negara ini. Tapi pernahkan
kita mencoba berpikir, kenapa isu demikian menjadi sangat ramai dan bahkan
menjadi isu yang besar dan mudah dimakan oleh masyarakat?
Belum lagi, pertunjukan tembak-menembak pelaku
teror yang entah dengan sengaja atau tidak dipertontonkan di depan umum. Seakan
kita ingin disuguhkan sebuah tontonan bahwa inilah kekuatan yang dibangun oleh
pelaku teror. Mereka ingin mengatakan bahwa mereka memiliki kekuatan dan
keberanian untuk muncul di publik dan menteror secara gamblang.
Ditambah lagi pengeroyokan polisi yang disinyalir erat
berhubungan dengan penggerebekan bisnis narkoba seakan membawa kita pada
pertarungan unjuk kekuatan sedang terjadi di masyarakat kita. Kekuatan keamanan
negara nampak ditantang oleh perilaku sebagian masyarakat kita. Apa yang
sebenarnya terjadi di masyarakat kita?
Otoritarianisme
Ahli Psikologi Sosial UGM, Professor Faturochman,
pernah menyadur sebuah jurnal psikologi terbitan amerika dimana isinya
menyebutkan keterhubungan antara otoritarianisme dengan ancaman. Pada tiga
dekade lalu di amerika sedang terjadi sindrom otoritarianisme masyarakat yang
cukup besar yang ditandai dengan unjuk kekuatan, sinisme, etnosentrisme
berlebih, agresivitas, seks, dan pornografi, takhayul, rigiditas aturan, dan prasangka.
Bagaimana keadaan hari ini di masyarakat kita?
Unjuk kekuatan yang terjadi baik secara gamblang maupun yang terselubung masih
terjadi di sekitar kita. Film yang mengandung unsur kekerasan pun masih begitu
ramai dengan peminat. Cerita-cerita tentang tertangkapnya prostitusi artis ini
itu menjadi perbincangan yang sangat hangat. Bahkan mampu menjadi senjata ampuh
untuk mengubah arus isu yang sedang berkembang.
Seorang
peneliti dari End Child Prostitution, Child Pornography and
Trafficking of Children for Sexual Purposes (Ecpat) Indonesia pernah
menyatakan bahwa indonesia masuk dalam salah satu negara dengan pengakses situs
porno terbesar di dunia. Paparan ini semakin lengkap dengan penghakiman yang
begitu rigid dan membuat kita mengelus dada sebagaimana yang terjadi pada siswi
SMP di atas.
Konflik berdarah antar kelompok, pembenaran
kelompok sendiri dan penyalahan kelompok lain, saling menghujat antar kelompok
menjadi bumbu pelengkap yang meyakinkan kita bahwa sisi otoritarian masyarakat
kita masih menunjukkan gaungnya. Sisi otoritaian masyarakat yang harusnya sudah
bisa diminimalisasi dengan kedewasaan bernegara dan arus informasi yang kuat
masih saja muncul dan kental mewarnai kehidupan masyarakat kita. Kedewasaan
dalam bernegara dan bermasyarakan kita nampaknya masih perlu diuji.
Mimpi
Masyarakat Madani
Dalam kecarut-marutan ini tentu kita masih bisa
meyakinkan diri bahwa ini hanya fenomena peralihan dan pendewasaan. Kita telah
melalui periode dimana pendapat ditekan dan dipaksa seragam. Sehingga ketika
muncul ruang untuk berbicara, prasangka yang sedemikian rupa terbangun
bertahun-tahun menjadi tumpah ruah dan terlihat menjadi carut marut. Tapi
setidaknya ini adalah awal untuk menciptakan masyarakat yang berperadaban. Di
ditopang oleh ruang publik yang luas dimana masyarakat bisa mengemukakan
pendapat.
Akan tetapi, posisi ini tidak boleh bertahan
sedemikian rupa terlalu lama. Ada banyak fase yang harus ditempuh dan
dipelajari secara dalam oleh masyarakat, mulai dari sikap kemajemukan dan
saling menghargai. Minimalisasi kesenjangan hak sosial masyarakat. Dan
perwujudan keadilan sosial. Masyarakat yang saling menghargai, bijak dalam
menanggapi masalah dan memiliki konsensus bersama untuk hidup harmonis dan
berdampingan.
M. Khoirun
Nizam,
assesor di Unit Konsultasi Psikologi UGM,
pengisi
kajian di Kiswah UGM