WAWASANews.Com-Jepara
Adalah Mbah Ma’ruf (72) yang
beberapa minggu terakhir rumah reyotnya didatangi oleh pejabat, aghniya’ dan
masyarakat yang peduli. Waktu itu (Kamis, 25 Juni 2015), sekitar pukul 22.00
WIB, kami baru sampai ke lokasi rumah yang ramai dibincang di kalangan pengguna
media sosial itu.
Gubug yang terletak di Desa
Sowan Kidul Rt. 6 Rw. 4, Kec. Kedung,
Jepara Jawa Tengah tersebut, memang sudah tidak layak huni. Terbuat dari
kayu, genteng mlorot, tiang bambu tak kelihatan karena ditimpa atap sudah roboh.
Tinggi sekitar 1,5 meter. Masuk pintu harus menunduk karena harus menerobos
seperti pintu goa. Malam tanpa penerangan kecuali lampu uplik. Jika Anda ingin
masuk, siap selalu jika roboh mendakak. Ini foto rumahnya, diambil dari Facebook.
Rumah Reyot Mbah Ma'ruf |
Datang pertama, menjelang
tengah malam, tanpa ada yang kami kenal, celingak-celinguk beberapa saat. Dari
kejauhan, ada laki-laki tua dengan langkah kaki cepat datang ke arah kami
menggunakan lampu sorot. “Nggih kulo Mbah
Ma’ruf,” jawabnya.
Setelah kenalan dan
salaman, tanpa pendahuluan, laki-laki asal Karangaji, Jepara itu langsung
bercerita. Seakan-akan dia tahu maksud kami datang.
“Kulo disanjangi tonggo ada tamu kalangan geng-geng
(terhormat-terpelajar, red) mencari saya,” ungkapnya. Betul, kami tahu rumah
Mbah Ma’ruf dari tetangga yang sedang ronda malam di daerah setempat.
Ceritanya, rumah itu
dibangun Ma’ruf puluhan tahun lalu. Tidak tahu pasti tahun berapa. Di Desa
Sowan Kidul, dia pendatang. Bersama istri keduanya, Nyai Alfiyah (71), Ma’ruf
menggarap tanah lambiran sepanjang sungai. Katanya, waktu untuk menguruk tanah
yang harusnya dijadikan sabuk hijau tersebut, tiga bulan. Ma’ruf sendiri
menghabiskan dana senilai 12 gram emas untuk membuat agar sekitar sungai bisa
ditempati.
Di Depan Rumah Gubug Itu |
Dulu, kata Ma’ruf, tidak
ada orang yang mau menempati wilayah tersebut karena memang tidak ada yang
memiliki. Statusnya tanah kuasa negara, lambiran. Namun, karena kini penduduk
bertambah, wilayah tersebut berdiri banyak rumah warga. Ma’ruf pun menjual
separo bagian tanah yang ditempati itu kepada salah satu warga, inisial Z.
Tanah itu dijual Ma’ruf karena secara kewargaan sudah dibagi-bagi oleh petinggi
yang menjabat tiga periode silam sebelum petinggi sekarang, berinisial G.
Separo lahan tersebut
–ukuran tidak jelas, dibayar Z Rp. 2 juta. Kini, uang telah habis oleh Ma’ruf
untuk kebutuhan madang (makan sehari-hari), sementara anak Z ingin membangun
rumah yang telah dibeli dari Ma’ruf itu. Namun, karena lahan dirasa kurang
cukup, tanah Ma’ruf diminta lagi, dibeli oleh Z utuh agar cukup untuk membangun
rumah sesuai keinginan. Malam itu, Ma’ruf bercerita kalau sebelum bertemu
dengan kami, ia berkumpul dengan beberapa warga bertemu Z membahas harga yang
akan diberikan untuk separo tanahnya tersebut.
Setahun yang lalu, Ma’ruf
tidak punya niatan untuk menjual tanah sejumput hasil garapannya tersebut.
Hanya itu yang ia punya. Rumah itu pula yang ia miliki. Namun, karena merasa
“diroyok”, sadar diri bukan pribumi kampung, ia terpaksa merelakan separo tanah
tersebut dihargai Rp. 3,5 juta. Mengapa? Petinggi Sowan Kidul yang sekarang
telah menjamin Ma’ruf diganti rugi tanah. Itu dilakukan setelah rumah reyotnya
diberitakan oleh puluhan, bahkan ratusan ribu pengguna internet. Salah satunya
Info Seputar Semarang.
Mbah Ma'ruf |
Hasil penjualan tanah
tersebut digunakan Ma’ruf untuk mendirikan rumah sederhana di tanah yang
dijanjikan Petinggi. Lokasinya 100 meter ke Barat dari tanah terjual Ma’ruf.
Persis di pintu masuk kuburan kampung, kiri jalan, pinggir sungai. Oleh
Petinggi, Ma’ruf dijamin tanah dan diminta jadi penjaga kuburan, juru kunci. Lagi,
Ma’ruf terpaksa menempati sepetak tanah lambiran. Panjang dan Lebar 12 langkah
kaki Ma’ruf. Malam itu, dia sempat menghitungkan luas tanah tersebut kepada
kami.
Rumah reyot itu kini sudah
harus pamitan ke Ma’ruf. Satu dam pasir dari Bupati Jepara Ahmad Marzuki, satu
dam batu kali dari sumbangan orang yang peduli, siap digunakan Ma’ruf untuk
membuat pondasi rumah kayu yang, ceritanya, sudah dibelikan panitia rehab rumah
senilai Rp. 9 juta.
Keinginan untuk ikut hidup
bersama anak, bagi Ma’ruf, bukan menjadi solusi pertamanya lagi. Ia ingin jadi
tukang penjaga kuburan saja, seperti amanat Petinggi Desa. Ma’ruf punya anak
tunggal dari istri pertama, namanya Mudaqorinah, tinggal di Pakis, Pati, Jawa
Tengah. Alfiyah, istri Ma’ruf, juga punya anak dari suami pertama, Hj. Sri
namanya. Tinggal di Desa Ngabul, Tahunan, Jepara. Ngabul inilah yang disebut
Ma’ruf akan dijadikan tempat tinggal jika ia “terusir” dari Desa Sowan Kidul.
Kami menunggu bisa ngopi di
rumah baru Mbah Ma’ruf, depan kuburan itu. Bantuan dari pengguna media sosial,
berguna buat orang kuno yang fanatik PPP ini, yang mengaku murid Mbah Hasan
Mangli Magelang dan murid Mbah Asro Surodadi Jepara ini. Jika Anda ingin punya
istri atau istri lagi, Mbah Ma’ruf siap berbagi resep bahagia.
Kami pun pulang, jam
menunjuk tengah malam. Lama jagongan di depan rumah reyot itu, berdiri,
berempat, salaman, tiba-tiba dari dalam gubug ada yang mengucapkan terima
kasih. “Matur nuwun, nang!”
Dag Dig Dug…..Suara siapa?
Itu ternyata Mbah Alfiyah.
Rumah itu masih dihuni betul. MasyaAllah!
Jagongan kami, didengar
Mbah Alfiyah…..
Tim:
Mustaqim, Badri, Yik Luqman