Puisi
Setitik Awan di Meruya
Di pagi buta itu. Kakiku beranjak dari matahari yang masih terlelap dari aba-aba semesta, untuk bersua dengan takdir. ya, takdir bersama awan yang berjalan menaungiku.
Di Meruya, metropolitan yang terjajah kaum desa.
Di pagi buta itu. Kakiku beranjak dari matahari yang masih terlelap dari aba-aba semesta, untuk bersua dengan takdir. ya, takdir bersama awan yang berjalan menaungiku.
Di Meruya, metropolitan yang terjajah kaum desa.
Sudah tidak
risau bagiku dan sanak famili mengiris bawang di dapur kota.
Sekian ribu detik, aku bercumbu dengan waktu, hanya untuk menanak harapan di senja hari, bersama wajahmu di guratan lazuardi, yang jingga meranum. Barangkali dirimu menjelma di pinggiran jalan raya, di diskotik, di warteg mbak Siti, atau bahkan di stasiun bus kawasan cengkareng?.
Sejenak diri ini bergumam. Wajahmu tak terlukis untukku di tembok gedung-gedung tinggi yang kusinggahi, tapi di bak mandi yang setiap hari aku berjumpa dengan air tenang.
Sekian ribu detik, aku bercumbu dengan waktu, hanya untuk menanak harapan di senja hari, bersama wajahmu di guratan lazuardi, yang jingga meranum. Barangkali dirimu menjelma di pinggiran jalan raya, di diskotik, di warteg mbak Siti, atau bahkan di stasiun bus kawasan cengkareng?.
Sejenak diri ini bergumam. Wajahmu tak terlukis untukku di tembok gedung-gedung tinggi yang kusinggahi, tapi di bak mandi yang setiap hari aku berjumpa dengan air tenang.
Darmakradenan, Januari 2015.
Seberang Pecenongan
Nyanyian serupa liturgi
Disenandungkan olehnya, perempuan tak berikat pinggang
Di seberang trotoar Haji Slamet; warung makan.
Ada dentuman yang amat besar
Mendera jantungnya yang kupu-kupu
Tapi air hujan tetap saja menderas
seakan ikut mengamini runtuh nafasnya.
Akan selalu seperti ini;
malam dengan kegulitaan merajam putih putiknya sampai pagi tergopoh, ia tega lupakan senja demi kepulan uap nasi hangat di meja makan.
Nyanyian serupa liturgi
Disenandungkan olehnya, perempuan tak berikat pinggang
Di seberang trotoar Haji Slamet; warung makan.
Ada dentuman yang amat besar
Mendera jantungnya yang kupu-kupu
Tapi air hujan tetap saja menderas
seakan ikut mengamini runtuh nafasnya.
Akan selalu seperti ini;
malam dengan kegulitaan merajam putih putiknya sampai pagi tergopoh, ia tega lupakan senja demi kepulan uap nasi hangat di meja makan.
Purwokerto, 2015
Dawuh Ramadhan
: Derita sipil Gaza
Tatkala putaran hijriyah merotasi
Menyemat diri menjadi-syahrul hurum-
Seketika Ramadhan diantaranya berucap
Kehadirat Hyang pencipta segala maha
"Aku adalah hujan setelah Rajab menjadi awan dan Sya'ban menjadi anginnya"
Memberi basah atas jisim melumpur
Bebersih dari ladang dunia yang begitu jerami
Namun risalah ini kembali ternodai
Disaat hakku tersisihkan manusia
Atas wajib mereka tertembak serdadu
Di Negeri haram serupa madina dan bakkah
Jikalau mampu aku menyuara diri
Kepada Semesta jagat raya
Akulah tahta pengampunan
Melaknat kepada mata kekejian
Merajam kepada hati membatu
Untuk mati di kemudian
: Derita sipil Gaza
Tatkala putaran hijriyah merotasi
Menyemat diri menjadi-syahrul hurum-
Seketika Ramadhan diantaranya berucap
Kehadirat Hyang pencipta segala maha
"Aku adalah hujan setelah Rajab menjadi awan dan Sya'ban menjadi anginnya"
Memberi basah atas jisim melumpur
Bebersih dari ladang dunia yang begitu jerami
Namun risalah ini kembali ternodai
Disaat hakku tersisihkan manusia
Atas wajib mereka tertembak serdadu
Di Negeri haram serupa madina dan bakkah
Jikalau mampu aku menyuara diri
Kepada Semesta jagat raya
Akulah tahta pengampunan
Melaknat kepada mata kekejian
Merajam kepada hati membatu
Untuk mati di kemudian
Purwokerto,
Juli 2014
Perpisahan Kudus
: kitab biru di An-Nuur
Biarlah Awan melukis kelam tubuhnya
Atas persaksian raga insan menggema
Terpisah satu dari sekian abjad -alifbata-
Menjadi bagian perjamuan anggur di antara semesta
Yang bertasbih
Yang bertahmid
Yang bertakbir, tanpa terpisah jengkal
Besok atau entah kembali
Mematri wajah-wajah surgawi
Selaksa duduk di atas dipan yang maha
Hingga menyemai semerbak aroma
Sampai hati akar rumput sabana
Atau angin yang mulai membekukan
Sendi yang merekatkan nyawa
Kepada senja termangu oleh tabir awan kelam
Hingga menyisakan rindu teramat
Dari ikan, batu, gunung yang mendo'a
Memendar untuk terpisah yang menyatu
Menjadi pancaran roman-roman surga: harapan
: kitab biru di An-Nuur
Biarlah Awan melukis kelam tubuhnya
Atas persaksian raga insan menggema
Terpisah satu dari sekian abjad -alifbata-
Menjadi bagian perjamuan anggur di antara semesta
Yang bertasbih
Yang bertahmid
Yang bertakbir, tanpa terpisah jengkal
Besok atau entah kembali
Mematri wajah-wajah surgawi
Selaksa duduk di atas dipan yang maha
Hingga menyemai semerbak aroma
Sampai hati akar rumput sabana
Atau angin yang mulai membekukan
Sendi yang merekatkan nyawa
Kepada senja termangu oleh tabir awan kelam
Hingga menyisakan rindu teramat
Dari ikan, batu, gunung yang mendo'a
Memendar untuk terpisah yang menyatu
Menjadi pancaran roman-roman surga: harapan
Purwokerto, 20 Juli 2014.
Dzikir Hamba
Gusti yang aku mati
Aku yang mati duhai Gusti
Dari langit mencakar
Mendarah hujan begitu asam
Mendesakmu kuterpangku
Tuliku dalam sunyi
Gemingku diantara ramai terpecah
"Allaahu Kariim dzolamnaa anfusanaa wa illamtaghfirlanaa
wa tarhamnaa lanakuunannaa min al-khaasiriin"
Gelapku terhuyung
Meraba rayap mencari pelita
Tersungkur di atas pasujudan matiku
Gusti yang aku mati
Aku yang mati duhai Gusti
Dari langit mencakar
Mendarah hujan begitu asam
Mendesakmu kuterpangku
Tuliku dalam sunyi
Gemingku diantara ramai terpecah
"Allaahu Kariim dzolamnaa anfusanaa wa illamtaghfirlanaa
wa tarhamnaa lanakuunannaa min al-khaasiriin"
Gelapku terhuyung
Meraba rayap mencari pelita
Tersungkur di atas pasujudan matiku
Darmakradenan, 2014
Padepokan Sunyi
Zaman hilang terhempaskan ramai, di antara semak belukar merapat. Sebuah hikayat yang tersisih dari butir pasir nampaknya lupadiri, ketika sayap-sayap malaikat berterbangan membawa risalah kepada Adam, Mariam ikut menengadah atas lahirnya Al-Masih. Mengusap kebutaan mata dari gelap semesta mematikan, lantaran menyambangi kota diketahui berteman sunyi.
Zaman hilang terhempaskan ramai, di antara semak belukar merapat. Sebuah hikayat yang tersisih dari butir pasir nampaknya lupadiri, ketika sayap-sayap malaikat berterbangan membawa risalah kepada Adam, Mariam ikut menengadah atas lahirnya Al-Masih. Mengusap kebutaan mata dari gelap semesta mematikan, lantaran menyambangi kota diketahui berteman sunyi.
Darmakradenan, 27 Juli 2014
Alamat Lisan
Saat terlontar A, menjadi Anak-anak jalanan yang
jalang
Maka B menyulap diri menjadi Babi-babi ternak belum
sarapan pagi
Kau tunjuk C, dari cinta menjadi cih tak
sudi, maka terludahi
Lazimnya kupu-kupu dengan ringannya melayang, tahu
Kau merapuhkan sepasang sayap mereka yang bertasbih
meminta pengampunan.
Al-Hidayah, di pagi hari, 2014.
Sepasang Mata di
Selat Karimata
: AirAsia
Delapan penjuru mata angin
Menusuk matamu yang binar
Lalu apa? kau tertipu jeritan seekor burung.
Remeh, tapi akulah warna-warni langit
Yang kau terengah demi sampai padaku: Aku timpakanmu.
Gemerincing lonceng di pusara, tanda aku mengejamu; lekas
Biarlah Khidir merapal bah
Kian kau entah, mengucap sumpah; laa haula wa laa quwwata illaa billaah, lalu bersemayam bersama bah.
: AirAsia
Delapan penjuru mata angin
Menusuk matamu yang binar
Lalu apa? kau tertipu jeritan seekor burung.
Remeh, tapi akulah warna-warni langit
Yang kau terengah demi sampai padaku: Aku timpakanmu.
Gemerincing lonceng di pusara, tanda aku mengejamu; lekas
Biarlah Khidir merapal bah
Kian kau entah, mengucap sumpah; laa haula wa laa quwwata illaa billaah, lalu bersemayam bersama bah.
Purwokerto, 2 Januari 2015.
-----------------------------------
Muhammad Badrun, lahir di Banyumas, 04 Juni 1994, mahasiswa Pendidikan Agama Islam, IAIN Purwokerto, santri Pondok Pesantren Al-Hidayah
Karangsuci-Purwokerto. Aktif di komunitas sastra Gubug Kecil, puisinya ada dalam antologi puisi Cahaya Tarbiyah,
STAIN-Press (2013), Zine Puisi
di Indonesian Poetry Battle on Facebook (IPBoF) berjudul Sayatan Dengki
(Incision
Envy), Rada Gila (A bit Crazy),
Wajah Sunyi (Silent face), Lampu
Neon (Neon Lights), Pohon
Soekarno (Sukarno’s Tree).