Oleh Ahmad Naufa Kh. F.
Setelah
berpuluh-puluh tahun bangsa Indonesia merdeka, ada
saja instrumen signifikan
dalam tata-struktur pemerintahan yang belum ada, misalnya Menteri Kesenian.
Hemat penulis, adanya Kementrian Kesenian sangat urgen dalam memajukan dan
melestarikan kesenian Indonesia baik secara regional maupun Internasional.
Salahsatu yang menjadi penyakit yang di derita bangsa ini mungkin adalah
penyakit lupa. Jadi bangsa yang banyak melupakan sejarahnya, wajar kalau
disorientasi pemerintahannya. Wajarlah kalau Bung Karno berpesan: Jangan
sekali-kali melupakasn sejarah!(Jasmerah!).
Foto Penulis |
Bayangkan
saja, Negara dengan 17.000 pulau lebih dan potensi laut yang luar biasa dahsyat
ini, baru memiliki Menteri Kelautan dan Perikanan ketika era presiden
Abdurrahman Wahid. Juga, ia untuk pertama kalinya mengangkat Panglima TNI dari
Angkatan laut. Inisiasi Gus Dur untuk membentuk instrument Negara yang
konsentrasi mengurus potensi laut tentu bukan tanpa alasan. Suatu kebijakan reasonable
yang berangkat dari pengetahuan sejarah dan pemikiran progresif untuk maju
kedepan.
Fakta
sejarah mengatakan bahwa kebesaran Kerajaan Singosari dibawah Prabu Kertanegara
karena Armada Lautnya tangguh, sehingga berani mengusir utusan Jengis Khan dari
Mongol serta melakukan Ekspedisi Pamalayu yang legendaris itu. Ketika kekuasaan
nusantara berpindah ke Majapahit, dibawah Laksamana Nala angkatan lautnya juga
tangguh tak terkalahkan. Diikuti kemudian Kerajaan Demak yang membangun
kapal-kapal perang, meski kemudian pasca portugis mendarat di Malaka tahun
1511, Angkatan Laut Demak kalah canggih dari Portugis. Bandar malaka dikuasai
portugis, Demak digeser ke pedalaman. Mulailah babak baru, setelah sekian ratus
tahun menjadi Negara maritim, nusantara dipaksa menjadi negara agraris. Kondisi
itu berlanjut sampai Mataram dan NKRI saat ini. Kebijakan Gus Dur di atas jelas
suatu pertaruhan yang besar dan sesuai dengan sejarah dan potensi bangsa
Indonesia.
Dalam
konteks kesenian, hampir mirip atau bahkan sama. Seniman dan penyair, dalam
banyak kisah dari buku atau babad leluhur yang ada di nusantara ini memiliki kedudukan
yang tinggi. Bersama kalangan Brahmana, tokoh-tokoh seniman dan penyair
mendapat tempat khusus di kerajaan. Selain sebagai penghibur, petuah-petuah,
ide dan gagasan mereka yang relativ murni, alamiah dan tidak memiliki
kepentingan menjadi referensi raja dalam menentukan masa depan rakyatnya. Lewat
syair, tari, suluk, macapat dan lain sebagainya, mereka membawa air kehidupan
yang menghilangkan dahaga karena belenggu formalisme hukum, politik dan
pemerintahan. Hiruk-pikuk perpolitikan dan hukum akan mendapatkan kesetabilan-kultural
yang dimiliki para seniman.
Melihat
fakta sejarah bangsa di atas, kehadiran Menteri Kesenian kiranya menjadi hal
yang layak diwacanakan. Dengan potensi budaya, tradisi dan seni yang begitu
menggeliatnya, rasanya terlalu naif untuk diurus Kemendikbud yang masih
menyisakan banyak persoalan. Juga, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif masih
bergerak pada permukaan sehingga membuat seni, tradisi dan budaya bangsa ini
semakin ditinggalkan. Emha Ainun Nadjib, budayawan yang sudah melalu lalang di
pentas internasional pernah bahkan seringkali
mengkritik pemerintah, khususnya dalam bidang yang terkait dengan kesenian.
Menurutnya, negara sebesar ini masih kalah dengan perusahaan rokok yang menyokong
berbagai pementasan. Hal ini tentunya memprihatinkan dan amat menyakitkan,
utamanya bagi para seniman.
Konsentrasi
Mengembangkan Kesenian
Dahulu
ketika masih duduk di bangku MTs, penulis pernah observasi di Candi Borobudur
Magelang, mengenai alasan turis datang ke Indonesia. Ketika seorang turis luar
negeri penulis tanya, apa kesan anda dari Indonesia? Dari 10 responden,
Rata-rata 70% mereka menjawab, karena aneka suku budaya, tradisi dan seninya
yang beraneka ragam.
Meski kesenian dan kebudayaan menarik
destinasi turis dan tentunya menghasilkan perkapita negara, nasibnya tak
mendapat tempat dan perhatian di negeri ini. Padahal itulah identitas bangsa
kita yang menjadi pembeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini. Wajar ketika
mereka banyak yang kemudian gulung tikar karena tak dimanusiakan. Sungguh
mencengangkan.
Di
tahun politik 2014 ini, ada harapan baru lahir. Lewat Pilpres yang begitu panas,
lahirlah Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang baru saja dilantik 20 Oktober 2014
lalu dengan transisi kekuasaan yang mulus. Menjelang pengangkatan menteri-menteri,
kolaborasi keduanya diharapkan lebih peduli pada nasib seni dan seniman di
negeri ini, lebih-lebih jika membuat kementerian yang khusus menangani itu. Oleh
karena, peran dan kontribusi mereka sungguh dibutuhkan untuk menguatkan
karakter bangsa, mencairkan suasana, mencerahkan pemikiran dan menghibur
hati-hati sedih menjadi senang.
Pemerintah
perlu membentuk kementerian yang fokus mengurus seni dan para seniman, meski mereka
sendiri mungkin tak mengharap itu. Mereka, tidak diganggu saja sudah nyaman dan
tenteram. Namun, sebagai penyelenggara Negara, pemerintah tentunya
bertanggungjawab akan khazanah dan filsafat budaya yang dimiliki para seniman.
Mereka secara konsisten menjaga warisan leluhur dan simbol penting bangsa
Indonesia. Jika ini bisa direalisasikan, alternatif budaya dapat ditawarkan
agar generasi muda kita tidak terlalu ke barat-baratan atau kerajingan budaya k-pop
yang semakin menggerus kesenian nenek moyang.
Inilah
salah satu poin penting yang digelorakan Bung Karno di awal kemerdekaan,
berdaulat secara kebudayaan; memiliki sense of art tinggi milik sendiri,
untuk menjadi bangsa yang besar dan kuat. Dari itu, kiranya pengangkatan Menteri
Kesenian amat perlu dimunculkan, utamanya bagi sang baru, Joko Widodo selaku
mandataris rakyat. Kecuali kalau kita terus nyaman dalam penjajahan seni dan
kebudayaan yang menghancurkan.
Ahmad Naufa Khoirul Faizun,
Penikmat Seni dan Budaya,
Wakil Ketua PW IPNU Jawa Tengah