Opini
Oleh Nurul Huda
Dunia hukum Indonesia mulai menunjukkan taringnya. Hal
ini terlihat dari keputusan MA yang menambah hukuman politisi Lutfi Hasan
Ishaq (LHI).
Sebelumnya, LHI dihukum 16 tahun
penjara oleh majelis hakim tingkat pertama dan kedua. Setelah diberikan
kesempatan untuk melakukan kasasi, MA memutuskan untuk menolak kasasi terdakwa
dan mengabulkan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK,
sehingga LHI dijatuhi hukuman 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6
bulan kurungan. Selain itu, MA juga mencabut hak politik LHI dalam pemilu,
sehingga LHI tidak dapat mengikuti kandidasi dalam pemilu.
Menurut Ketua Majelis Kasasi,
Altirdjo Alkostar, menyatakan bahwa LHI terbukti melakukan hubungan
transaksional dengan mempergunakan jabatan politiknya untuk mendapatkan imbalan
atau fee dari pengusaha
daging sapi. LHI terbukti telah menerima pemberian uang senilai Rp 40 miliar,
yang sebagiannya, sebesar Rp 1,3 miliar diterima melalui Ahmad Fatanah.
Ada beberapa poin penting yang
bisa diambil dari kebijakan tersebut. Pertama, penambahan hukuman tersebut
menjadi pembelajaran bagi para oknum politik untuk tidak menyalahgunakan
kekuasaannya dan berbuat korupsi. Apalagi, korupsi telah menjadi penyakit yang
cukup kompleks di Indonesia. Bahkan, bisa disebut sebagai kejahatan yang serius
(serious crime). Terbukti, menurut Transparency
International Indonesia (TII) angka indeks persepsi korupsi Indonesia masih
dalam kisaran 32. Artinya, indikasi korupsi di berbagai lembaga negara masih
cukup tinggi.
Kedua, memberikan efek jera bagi para oknum korupsi. Biasanya
politisi di negeri ini tidak menerima efek jera dari hukuman yang didapatnya.
Setelah menyelesaikan hukuman pidana, bisa jadi oknum tersebut menggunakan segala cara untuk masuk
kembali ke dunia politik. Oleh karena
itu, sanksi politis perlu diberikan agar mereka tidak lagi menjadi benalu pada
eksistensi negara.
Ketiga, keputusan tersebut menunjukkan masih adanya lembaga
hukum ‘yang tajam’ di Indonesia. Sebagai salah satu lembaga hukum, MA berani
menjatuhkan hukuman tidak hanya sesuai dengan ketentuan hukum pidana tetapi
juga memberi ‘sentilan’ dengan mencabut hak politik. Tentu saja, keputusan
tersebut meningkatkan kembali trust
public kepada lembaga hukum di negeri ini. Apalagi setelah MK sebagai salah
satu lembaga hukum dicoret kewibawaannya oleh Akil Mukhtar.
Dalam konteks politik, negara
seharusnya menutup ruang bagi para oknum politik atau pejabat agar tidak menyalahgunakan
kekuasaannya. Karena negara yang mendapat otoritas mutlak dari rakyat dapat
menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan dan kesejahteraan umum, termasuk
menggunakan kekerasan.
Sekarang ini, negara lebih melihat
penegakan tindak pidana korupsi melalui penangkapan oknum-oknum politik dan
menjeratnya dengan hukuman pidana. KPK mendapat apresiasi tinggi ketika
menancapkan taringnya kepada para koruptor. Namun, sebenarnya ada sisi lain
yang lebih perlu dikembangkan. Yakni, memperhatikan solusi kuratif, menutup
celah dan menciptakan efek jera untuk korupsi. Inilah salah satu alasan,
mengapa korupsi terjadi berulang kali.
Setiap elemen dari negara bisa
mengambil peran dalam menciptakan efek jera korupsi. Pemerintah sebagai lembaga
eksekutif, perlu menciptakan sistem yang lebih efektif dan transparan dalam
setiap transaksi negara sehingga rakyat juga mengetahui mekanisme pemerintahan
bekerja. Sistem birokrasi yang cukup rumit perlu dibenahi untuk meminimalisasi
patologi birokrasi.
Lini legislatif sebagai wakil
rakyat juga harus amanah dan membuat undang-undang yang memang benar-benar
untuk kepentingan rakyat. Lembaga Yudikatif sebagai pisau tajam yang harus
berani menindak tegas para oknum korupsi. Sedangkan, kita sebagai rakyat dapat
ikut memonitoring kinerja dari berbagai lembaga negara tersebut sehingga negara
ini dapat bekerja sesuai dengan tujuan awalnya, yakni untuk kesejahteraan
rakyat.
Saat ini kita menanti komposisi
kabinet pasangan presiden terpilih Jokowi-JK. Dalam keterangannya, Jokowi
mengungkapkan akan mengisi kabinetnya dengan komposisi 18 Kementrian untuk
profesional dan 16 Kementrian diisi dari delegasi partai.
Namun, kita berharap Jokowi dapat
memenuhi janji kampanyenya untuk mengisi kabinet pemerintahannya dengan para
putra bangsa terbaik. Selain dapat bekerja penuh integritas tanpa intervensi
dari pihak manapun, juga lepas dari syahwat korupsi. Mari kita berdoa..
Nurul Huda
Peneliti di
Mata Air Institute
Mahasiswa Pasca Sarjana
Ilmu Politik UI