Network for Education Watch Indonesia
atau Jaringan Pemantaun Pendidikan Indonesia (JPPI) menyesalkan aksi kekerasan
yang dipertontonkan oleh Sekitar 7 anak-anak Sekolah Dasar (SD) Trisula
di Perwari, Bukittinggi, Sumatra Barat. Menurut Koordinator
Nasional JPPI, Abdul Waidl, aksi kekerasan tersebut sangat memprihatinkan.
“Minggu ini kita
mendapat suguhan adegan kekerasan anak SD terhadap temannya. Sekitar 7 anak
(laki-laki dan perempuan) secara bergantian menghujani tendangan dan pukulan
kepada satu siswi (perempuan) di pojok kelas. Tidak tampak ada tindakan
pencegahan dari anak-anak yang lain, mereka sibuk dengan urusannya
sendiri-sendiri. Adegan yang dipertontonkan melalui YouTube tersebut tentu
memprihatinkan,” kata Waidl di Jakarta Senin (13/10/2014)
Waidl pun
mempertanyakan motif apa di balik aksi kekerasan tersebut. Menurutnya, bila
mereka tidak suka terhadap kelakuan atau perkataan si korban, mengapa anak-anak
yang kira-kira masih berusia sekitar 10 tahun tega membalas dengan kekerasan
dan melakukannya secara bersama-sama dan bergerombol.
“Apa yang terjadi
dengan pendidikan kita, dan terutama dengan anak-anak kita? Mental apa yang
sedang diidap anak-anak kita?,” tanya ayah tiga anak ini.
Menurutnya, anak-anak
itu bisa mencontoh apa yang terjadi dalam keluarga, yang, ketika menghadapi
masalah diselesaikan dengan kekerasan.
Selain itu, tontonan sinetron yang menyuguhkan anak-anak SD-SMA yang sudah
memiliki anggota gang dan melakukan kekerasan di dalam adegan-adegannya
sepertinya ikut berkontribusi terjadi kekerasan terhadap anak SD tersebut.
Hal yang lain,
menurut Waidl keadaan demikian juga sekaligus mencerminkan rendahnya pendidikan
karakter dan budi pekerti kepada anak-anak. Anak-anak hanya “dipaksa” menelan
praktek pengajaran yang melelahkan, dipaksa menguasai pelajaran secara
kognitif. Termasuk dalam pelajaran agama, mereka hanya diharuskan menguasai
ajaran-ajaran formal agama. Anak-anak tidak diberi suguhan materi akhlaq dan
karakter yang melibatkan rasa dan hati.
“Hal itu
disebabkan oleh tekanan keharusan lulus secara formal, menambah depresi tak
tertahankan dialami anak-anak,” ucapnya.
Oleh karena itu, JPPI yang mempunyai 17 anggota LSM mendesak kepada seluruh elemen bangsa, mulai
dari presiden dan pimpinan lembaga tinggi negara agar memberi contoh dan
tuntunan yang baik dan menghentikan praktik politik barbarian. Kepada
kementerian pendidikan dan keagamaan agar memperhatikan ranah batin para siswa,
bukan semata tekanan-tekanan lahiriah yang mengagungkan standar-standar hasil
ujian yang semu.
“Kepada seluruh
kepala sekolah dan guru agar mendidik anak dengan baik. Kepala sekolah dan guru
agar tidak lalai melakukan pengawasan terhadap anak-anak,” desaknya.
Selain itu, dia juga mendesak kepada pihak yang dinyatakan lalai harus mendapat sangsi yang tegas. Waidl juga meminta agar bersama-sama memandang kasus tersebut sebagai pembelajaran yang tidak boleh terulang sekaligus menjadi inspirasi untuk menjadi sekolah yang ramah anak. (Kusairi)
Selain itu, dia juga mendesak kepada pihak yang dinyatakan lalai harus mendapat sangsi yang tegas. Waidl juga meminta agar bersama-sama memandang kasus tersebut sebagai pembelajaran yang tidak boleh terulang sekaligus menjadi inspirasi untuk menjadi sekolah yang ramah anak. (Kusairi)