Jepara-WAWASANews.Com
Beberapa bulan terakhir, di masyarakat
populer dengan beberapa jenis arisan yang disediakan oleh perusahaan jasa
keuangan. Sayangnya, arisan yang diprakterkkan justru lebih banyak merugikan,
sehingga lebih cenderung haram.
Sesuai dengan informasi yang dihimpun di
lapangan, M Abdullah Badri, ketua Mahasiswa Ahlut Thariqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyyah
(Matan) Cabang Jepara menjelaskan, setidaknya ada dua jenis arisan yang
bermasalah. Arisan model pertama adalah arisan tabungan gugur dan arisan motor
gugur.
Untuk arisan jenis pertama, menurut Badri,
nasabah yang sudah memperoleh arisan tidak lagi membayar. Adapun jumlah uang
yang didapatkan sesuai dengan akumulasi jumlah tabungan, ditambah uang sejumlah
Rp 300.000, misalnya. Penyelenggara biasa menyebutnya uang bagi hasil.
“Contoh, tiap bulan anggota diwajibkan
rutin membayar arisan Rp 200.000. Ketika ia memiliki jatah mendapatkan arisan
pada bulan kesepuluh, dengan uang bagi hasil, maka jumlah uang yang diterima
sebanyak Rp 2,3 juta,” jelasnya, Minggu (5/10/2014).
Menurut Badri, yang menjadi masalah adalah
uang tabungan tersebut tiap bulan diinvestasikan dalam usaha yang lain. “Jika
disebut bagi hasil, maka tiap bulan seharusnya uang bagi hasil bertambah, tidak
stagnan di jumlah Rp 300.000. Nasabah yang memperoleh urutan kesepuluh harus
mendapatkan uang bagi hasil yang lebih banyak daripada yang menerima pada
urutan ketujuh,” tandasnya.
Sedangkan, arisan model kedua adalah
arisan motor sistem gugur. Badri menerangkan, teknis dari arisan jenis ini
adalah, dari beberapa anggota dikumpulkan sejumlah uang hingga jumlah tertentu.
Uang tersebut digunakan untuk usaha atau investasi di bidang lain yang nasabah
tidak mengetahuinya.
“Setiap bulan, satu unit motor akan
dibagikan kepada anggota. Harga motor tentu jauh dari jumlah uang yang berhasil
dikumpulkan karena penyelenggara bisa memiliki anggota ribuan. Dan ketika
anggota sudah mendapatkan motor, maka ia tak perlu lagi membayar. Jika
sistemnya seperti ini, maka lebih mirip lotre,” imbuhnya.
Menurut Badri, masalah lain dari kedua
arisan tersebut, penyelenggara kerap tak menceritakan uang yang terkumpul untuk
investasi di bidang apa dan bagaimana jalannya investasi tersebut. “Madharat
yang bisa terjadi dari kedua arisan jika bisnis investasi yang digeluti
penyelenggara macet atau bahkan bangkrut. Secara otomatis uang nasabah juga
hilang. Makanya di Jepara banyak bandar arisan yang ambruk. Apalagi banyak yang
tidak mendapatkan asuransi keuangan semacam LPS,” imbuhnya.
Hal senada juga disampaikan KH Mashudi,
ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jepara. Menurut KH Mashudi, yang terpenting
dari setiap kerjasama adalah kesepakatan di awal transaksi. “Nasabah harus tahu
dengan jelas dan detail tentang teknis dan perputaran uang serta risiko-risiko
yang dihadapi nanti. Dari situ nasabah akan bisa memutuskan secara rasional,
bukan emosional karena tergoda. Jika terdapat unsur karena tidak sesuai dengan
kesepakatan awal, maka bisnis tersebut jelas haram,” tegasnya. (Adipur)