Bagian Satu Cerbung INTRIK Eko Hartono
Berserakan (Ilustrasi) |
Dina
memulai pekerjaan barunya di sebuah perusahaan produk pangan ternama. Dia akan
menjalani training selama tiga bulan. Untuk tugas awal sekaligus pengenalan
dengan lingkungan kerjanya yang baru, Dina mengerjakan tugas-tugas administrasi
ringan seperti mengetik, mendistribusikan surat-surat, mem-fotokopi, mengirim
fax, bahkan tugas yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan gelarnya sebagai
sarjana ekonomi; membersihkan ruangan, mengelap kaca jendela, dan membuat kopi!
Tapi
seperti kata Ibu Shinta, chief manager, bahwa lulusan Sarjana bukan berarti
harus selalu bekerja di belakang meja. “Kamu juga perlu tahu, bagaimana
pekerjaan seorang office boy atau cleaning service. Siapa tahu kelak jika kamu
diangkat jadi atasan atau pimpinan kamu bisa menjadi pemimpin yang baik.
Seorang pemimpin tidak selalu main perintah. Dia juga harus bisa menjadi contoh
dan memberikan teladan kepada orang-orang yang dipimpinnya!”
Dina
tersenyum. Semangatnya terlecut. Ibu Shinta orangnya baik. Beliau bukan tipe
atasan yang arogan dan angkuh. Beliau mau membimbing dan memberikan arahan pada
anak buahnya. Dina pun tidak merasa direndahkan meski dirinya harus menangani
kerja kasar ibaratnya pelayan –tidak sesuai dengan bunyi iklan lowongan kerja
yang dibacanya di koran yang menyebutkan bagian assistant manager—, tapi ia
mengerjakannya dengan perasaan senang. Baginya, ini sebagai pelajaran dan
pengalaman berharga.
“Satu
hal lagi yang musti kamu ingat dalam bekerja; sikap disiplin dan jujur.
Karyawan yang berperilaku disiplin dan jujur kebanyakan justru berasal dari
mereka yang dalam posisi rendah. Tukang sapu, OB, Satpam, dan cleaning service.
Sementara mereka yang duduk di bagian staf suka bermalas-malasan. Mereka juga
lebih pintar dalam tanda petik, dalam arti pintar menipu, bikin alasan, dan
berkelit dari kesalahan!” lanjut Ibu Shinta kembali mengingatkan.
Dina
mengangguk. Entah, apa maksud Ibu Shinta mengatakan hal itu di depannya. Soal
disiplin dan jujur tentu sudah menjadi semacam kewajiban bagi semua karyawan.
Tapi dari kalimat beliau tersirat sebuah pesan penting. Mungkinkah perusahaan
sebesar dan se-ternama ini para stafnya berlaku seperti yang disebutkan Ibu
Shinta tadi? Entahlah! Beliau tergolong senior dan lama bekerja di kantor ini.
Tentu beliau sangat paham seluk beluk perusahaan ini, termasuk perilaku para
karyawannya.
Pukul
tujuh lebih sepuluh menit pagi Dina sudah tiba di kantor. Bersamaan dengan
karyawan di bagian kebersihan. Benar kata Ibu Shinta, mereka memang sangat
disiplin. Sementara karyawan bagian staf sama sekali belum ada yang hadir. Dina
segera menuju ke mejanya. Karena belum ada yang bisa dikerjakan, Dina bergerak
mencari kesibukan sendiri. Mengumpulkan sampah kertas yang bertebaran di kolong
meja atau mengelap kaca jendela.
Sambil
memunguti sampah-sampah kertas dan memasukkan ke dalam keranjang, Dina iseng
membaca kertas-kertas yang tak terpakai itu. Biasanya berisi ketikan yang tak
jadi, catatan-catatan kecil, malah ada catatan belanja segala. Tapi ada secarik
kertas yang membuat Dina sangat tertarik. Berisi tulisan tangan berbunyi;
SEGERA DIKIRIM KE REKENING INI, lalu ada nomor rekening sebuah bank swasta.
Dina tertegun. Kertas ini ditemukan di kolong meja Ryan, staf bagian keuangan.
“Ngapain
kamu di sini?” tiba-tiba sebuah teguran mengejutkan Dina.
Gadis
itu buru-buru mengulum kertas tadi ke dalam genggaman. Di hadapannya sudah
berdiri Sheila, manajer bagian keuangan, dengan sorot mata diliputi curiga.
Dina jadi agak gugup. Dia khawatir statusnya sebagai pegawai baru menjadi
alasan untuk menuduhnya berlaku tidak baik.
“Aku
sedang mengumpulkan sampah-sampah kertas,” kata Dina.
“Oh
ya, kamu masih trainer kan? Bagus! Kamu pantas mengerjakan hal seperti ini!”
ujar Sheila bernada cemooh.
Dina
mengatupkan geraham. Dia segera berlalu meninggalkan gadis sombong itu. Kembali
ke mejanya sendiri. Dina tahu, beberapa pegawai staf di kantor ini memang tidak
semuanya berlaku ramah. Mereka berlagak angkuh dan sombong. Hanya beberapa saja
yang bersikap ramah dan akrab. Ada juga yang tampaknya ramah dan sok akrab,
tapi sebenarnya serigala.
Dina
mulai paham ada semacam intrik dan persaingan tak sehat dalam kantor ini bukan
hanya dari cerita Ibu Shinta, tapi dengan mata kepala sendiri dia menyaksikan.
Dina pernah dibuat tegang melihat dua orang staf dalam ruang sama berdebat
sengit hanya karena soal berkas yang keliru diketik. Dia juga sering melihat
saat break makan siang, di kantin beberapa karyawan berkumpul dengan
kelompoknya masing-masing.
Tapi
mungkin itu hal biasa terjadi di semua kantor. Tiap orang punya ambisi dan
kepentingan pada karir. Mereka yang tidak berambisi cukup puas dengan meja yang
ditempatinya, tidak ikut-ikutan dengan intrik dan persaingan yang terjadi. Tapi
ada pula yang nyaman dengan posisinya karena tergolong basah dan bisa main
selintut. Sama saja. Di mana-mana selalu ada oknum antagonis. Dunia bukan hanya
tempat bagi manusia-manusia berperilaku nabi.
Usai
jam kantor beberapa karyawan beranjak dari tempatnya masing-masing. Dina masih
bertahan di tempatnya. Padahal sudah tak ada lagi yang dikerjakan. Tapi Dina
merasa tak enak pulang duluan, sementara Ibu Shinta masih sibuk bekerja di
ruangannya. Melalui kaca tembus pandang yang memisahkan ruang manajer kepala
dengan ruang kerja para staf, Dina bisa melihat Ibu Shinta sedang menghadapi laptopnya.
Dina
memberanikan diri menghampirinya. “Maaf, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” ujarnya
di depan pintu.
“Lho,
kamu belum pulang?” Wanita paruh baya itu ganti bertanya.
“Ibu
sendiri kenapa belum pulang?”
“Aku
masih memeriksa laporan-laporan yang baru saja masuk. Untuk bahan meeting
besok.”
“Kenapa
tidak diteruskan besok saja, Bu? Ini sudah malam. Keluarga ibu di rumah tentu
sudah menunggu…”
Ibu
Shinta malah tersenyum. “Anak-anakku sudah besar. Mereka bisa mengurus diri
sendiri. Lagi pula di rumah sudah ada pembantu.”
“Suami
ibu di rumah…”
“Kami
sudah berpisah!”
“E…
maaf, Bu.”
“Tidak
apa-apa. Semua karyawan di sini juga sudah tahu. Aku sedang dalam proses
perceraian dengan suamiku!”
Satu
lagi kejutan didapatkan Dina. Dia sama sekali tidak tahu kalau Ibu Shinta akan
bercerai dengan suaminya. Entah, ada persoalan apa sehingga mereka mau
bercerai. Tentu saja Dina tak berkeinginan untuk tahu. Bukan sifatnya mengorek
masalah pribadi orang. Hanya saja dalam hatinya ada perasaan sayang, kenapa
wanita sebaik Ibu Shinta mengalami hal seperti ini. Tapi… ah, semua orang tak
lepas dari masalah. Ibu Shinta mungkin sukses dalam karir, tapi gagal dalam
rumah tangga.
“Kamu
tadi bilang mau membantuku?” ujar Ibu Shinta kemudian mengalihkan pembicaraan.
“Ya,
kalau diperbolehkan.”
“Tolong,
kamu teruskan pekerjaanku ini. Aku mau ke toilet sebentar.”
“E…
tapi, Bu.” Dina malah bingung dan sungkan. “Saya khawatir nanti ada yang salah.
Saya kan masih baru, Bu?”
“Sudahlah!
Jangan merendah. Kamu kan lulusan sarjana ekonomi. Masak urusan begini saja
kamu tidak bisa. Ayolah, aku percaya sama kamu!” Ibu Shinta malah memaksa. Dia
beranjak dari tempatnya dan menarik tangan Dina untuk duduk di kursinya. Mau
tak mau Dina menurut.
Untung
kantor sudah sepi. Semua karyawan sudah pulang. Entah, apa jadinya bila mereka
melihatnya duduk di meja Ibu Shinta dan mengerjakan tugasnya. Pembicaraan
berbau fitnah dan kecemburuan bisa berkembang bak ular naga panjangnya. Dirinya
bisa dituduh mau cari mukalah, sok pintarlah, dan macam-macam lagi. Tapi
seperti kata Ibu Shinta: tak perlu ragu mengerjakan sesuatu yang bisa
dikerjakan. Prestasi diraih dengan jalan unjuk kemampuan!
Dina
duduk tenang di depan laptop yang masih menyala di atas meja, sementara Ibu
Shinta sudah melangkah keluar. Sepi menyergap. Dina memelototi data-data dalam
komputer. Semua terlihat cukup mudah baginya, karena urusan menganalisa data
adalah keahliannya. Bahkan Dina bisa mendeteksi deviasi atau penyimpangan sebuah
laporan keuangan meski hanya dengan selisih angka yang kecil. Beberapa kali
dahinya berkernyit menyimak laporan-laporan yang belum lama di-update. Seperti
menemukan sebuah keganjilan.
Tiba-tiba
lampu dalam ruangan padam. Hanya laptop di atas meja masih menyala. Aneh,
bagaimana listrik bisa padam. Kenapa pula tidak segera menyala? Padahal gedung
ini juga mencadangkan mesin genset yang bisa digunakan bila sewaktu-waktu
listrik padam. Dina beranjak dari tempatnya. Dia akan menyusul Ibu Shinta,
khawatir wanita itu terjebak dalam toilet atau lift. Untung dia bawa ponsel
yang bisa digunakan sebagai senter.
Dina
menyusuri koridor kantor yang menyerupai lorong goa. Dina menuju ke ruang
toilet wanita yang berada di ujung lorong. Saat berjalan menyusuri koridor,
tiba-tiba Dina melihat sekelebat bayangan melintas di depannya. Mungkin salah
seorang karyawan yang sedang lembur. Karena suasana agak gelap Dina tak begitu
jelas mengenali sosok itu.
“Siapa
itu?” seru Dina memanggil. Tapi tak ada sahutan. Bayangan itu pun sudah lenyap.
Bulu kuduk Dina meremang. Jangan-jangan bayangan itu tak seperti yang
dipikirkannya atau seseorang yang berniat jahat?
Tiba-tiba
perasaan Dina diliputi risau. Dia mengkhawatirkan Ibu Shinta. Dia segera
mempercepat langkah kakinya. Sesampai di depan ruang toilet wanita, Dina segera
membuka pintu.
“Bu!
Ibu Shinta…!” serunya memanggil sambil mengedarkan sorot lampu ponselnya ke
seluruh sudut ruangan.
Ujung
cahaya lampu ponsel menimpa sesosok tubuh tertelungkup di lantai. Dina terpekik
kaget. Dia mengenali tubuh itu Ibu Shinta dari pakaian yang dikenakan.
Pingsankah beliau atau…? Dina segera mendekat. Saat dia membalikkan badan
wanita itu, tangannya seperti menyentuh cairan hangat dan lembut. Saat
diperhatikan seksama, ternyata darah segar. Sebilah pisau tertancap di dada Ibu
Shinta. Wanita setengah baya itu sudah tak bernyawa. Dina pucat pasi dan
diliputi ketakutan luar biasa. Dia tak bisa menguasai kepanikan.
“Tidak!
Tidaaakkkkk…! Tolong! Tolooong...!” jeritnya histeris.
Pada
saat bersamaan lampu tiba-tiba menyala. Benderang ruangan membuat semuanya
menjadi jelas. Dina makin terguncang melihat keadaan di sekelilingnya. Tubuh
wanita malang itu tergolek dengan darah berceceran di lantai. Sepertinya baru
saja terjadi pergulatan seru. Siapa orang yang tega membunuh Ibu Shinta?
Jangan-jangan orang yang aku lihat di lorong tadi? Batin Dina menduga-duga.
Ketegangan menjalar ke seluruh sarafnya.
Dengan
gugup Dina bangkit dari tempatnya. Dia hendak keluar untuk mencari pertolongan.
Tapi belum sampai dia melangkah, tiba-tiba dua orang petugas security sudah
berdiri di depan pintu.
“Ada
apa ini? Siapa yang tadi berteriak?” tanya salah seorang dari mereka.
“Tolong,
Pak. Ada orang membunuh Ibu Shinta. Saya tadi mendapatinya sudah tergeletak di
lantai,” jawab Dina dengan gugup.
Kedua
security segera mendekati tubuh Ibu Shinta. Tapi salah seorang dari mereka
segera menahan temannya.
“Jangan
dipegang! Biar polisi yang memeriksanya! Cepat, kamu segera turun ke bawah dan
memanggil polisi!”
Petugas
security yang diperintah itu segera keluar. Tinggal Dina dan petugas satunya di
ruangan itu. Dina berdiri di sudut dengan kecamuk perasaan tak menentu. Air
matanya membanjiri pipi. Dia amat shock dan terpukul dengan kejadian ini. Dia
tak pernah membayangkan akan menghadapi kejadian seperti ini. Seumur-umur belum
pernah dia melihat orang mati terbunuh.
Bersambung Bagian Kedua…