Puisi
Terpecah Belah
Indonesia menanti seorang sosok
Sosok yang membawa genderang harapan
Yang membawa cangkul dan perahu di
sorot matanya
Mengikrarkan dirinya pelayan rakyat dan
bukan penguasa
Berbicara dengan bahasa sederhana dan
mudah dimengerti hati
Membaca persoalan sehari-hari yang
telah lama bersitegang
Kami melihat sawah-sawah kering
kekurangan air
Langit runtuh menyapu rumah-rumah
dengan longsoran lumpur
Kami melangkah menuju kotak-kotak suara
Menghitung langkah, hingga kemenangan
tiba
Namun kami merasa asing di antara
sesama
Kami telah dipecahbelah oleh ambisi
segelintir megalomania
Yang mengaku negarawan dan penyelamat
bangsa
Kami mengubur kata-kata
Menyumpal kedua telinga karena telah
bosan
Perubahan yang kami rindukan dikotori oleh
ambisi mereka
Surabaya,
08072014
Tak Siap Kalah
Kejadian demi kejadian berlalu begitu
drastis
Silih berganti perkara demi perkara
Bergolak penuh pergulatan tanpa jeda untuk
bernafas
Untuk bisa merenung dan meresapi atas
semua yang terjadi
Sebab semuanya sibuk menghujad dan
mencari kesalahan kubu lain
Lupa akan kebobrokan diri dan sosok
yang dibela seolah dewa
Secara tiba-tiba sodara menjadi lawan
Hingga ketegangan itu masih terasa di
meja makan
Semuanya siap untuk menang
Namun tidak siap untuk menerima kalah
Jika Indonesia tak menjadi bijak
Mungkin sebentar lagi tak ada lagi
bendera sang dwi warna
Karena telah terberai menjadi kepingan
pulau yang punya bendera berbeda.
Surabaya,
08072014
Suara Kami
Suara kami hanyalah gaung dari
ketidakadilan yang sumbernya dari kolong-kolong amarah
Gaung yang terlontar dari guratan luka
kecurangan
Yang perihnya terasa hingga ke ujung
mimpi
Dalam sepi kami bersuara meski tak ada
yang mendengar
Dalam riuh kami juga bersuara meski
hanya dianggap sebelah mata
Ketika pilar-pilar lama telah runtuh
Terasa ada respon dari gaung yang kami
lontar
Bersambut munculnya matahari baru
Yang akan membingkai suaraku dan
suaramu dan menempatkannya di tempat tertinggi
Hingga tak perlu lagi ada amarah untuk
bisa didengar
Surabaya,
08072014
Gejolak
Tiap kali kupandang kaki langit yang
jauh
Kurenungkan jiwa akan terus bergejolak
Besama amarah. Dari wajah senja yang
terbelah
Gejolak jiwa mewarnai separuh langit
Ingin kusaksikan keheningan yang
pertama
Ketika jiwa menyesap tubuhnya
Sebagai tanda bagi semesta
Aku terkapar di antara jurang-jurang
Yang berhimpitan diantara reruntuhan
kehidupan
Kusangsikan tahun demi tahun yang
terlepas
Bagaikan jiwa-jiwa yang terhunus
Surabaya,
08072014
___________________________________________________
Fileski (Walidha Tanjung Files), lahir di Madiun 21 Februari 1988. Setelah lulus dari SMA
di tahun 2006, ia melanjutkan studinya di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta
Surabaya (STKWS) program studi S1 Teater dan lulus pada 2012. Fileski dikenal
sebagai Poet Musician yang sebagian
puisinya terbit di beberapa surat kabar, majalah, jurnal dan bulletin. Beraktifitas
kesenian di bidang teater, komposisi musik, tergabung dalam beberapa kelompok
teater, sastra dan orkestra di Surabaya. Kerap menyemarakkan berbagai ajang
sastra nasional dengan menyajikan “Resital Biola Puisi” yakni konsep pembacaan
puisi yang dipadukan dengan permainan biola. Juga kerap performen keliling di
berbagai negara dengan mengolaborasikan seni teater, musik, dan sastra.
Komposisi musik yang ia bawakan untuk membalut puisinya seringkali dikemas
dengan menerjang pakem-pakem musik konvensional (avant garde).