Opini
Oleh Donny Syofyan
Membaca berbagai
macam berita hukum dan politik di Indonesia identik dengan membaca karya-karya
sastra Gothik: kegelapan, tragedi dan kematian. Kasus suap yang melibatkan Akil
Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, dan dinasti politik Gubernur
Propinsi Banten Ratu Atut Chosiyah menegaskan tren demikian. Sebagai dosen di
kesusastraan Inggris, saya mendapati bahwa profil hukum dan politik di Tanah
Air amat berkorelasi linear dengan tragedi Shakespeare, sesuatu yang sangat
unik bagi mereka yang meminati penampilan lakon atau drama.
Sebagai salah
seorang dramawan paling terkenal di dunia, William Shakespeare tidak hanya
piawai menulis dan bermain di panggung lakon, tapi juga
dianggap jenius dalam menciptakan karakter fiksinya yang sangat mendekati
kenyataan. Mengacu konsep ini, benar-benar mengejutkan bahwa ada kesamaan pola
antara karakter fiksi tragedi Shakespeare dan profil hukum dan politik
Indonesia yang sarat dengan orang-orang yang terjerat dalam penyalahgunaan kekuasaan,
korupsi dan suap kasus.
Pertama, penderitaan dan
bencana dalam tragedi Shakespeare bersifat luar biasa dan menimpa orang-orang
besar, semisal para raja, pangeran dan mereka yang memiliki posisi terhormat di
masyarakat. Ini bisa dilihat dari rentetan nama-nama tokoh rekaan dalam lakon
Shakespeare, Othello (jenderal), King Lear (raja), Hamlet
(raja) dan Macbeth (raja).
Bukan kebetulan
bahwa tragedi hukum dan politik di Indonesia pula terikat erat dengan
tokoh-tokoh yang seharusnya menjadi teladan dalam perangai, komitmen dan
tindakan. Skandal dan suap yang melibatkan Akil Mochtar, Ratu Atut Chosiyah,
Angelina Sondakh, Muhammad Nazaruddin atau Andi Mallarangeng memberikan sinyal
universal bagaimana kekuasaan berubah menjadi aib para elit tatkala
mengeksekusi kekuasaan. Bilamana karakter tragis Shakespeare mempengaruhi nasib
rakyat dan keluarga mereka yang ditandai dengan ketidakstabilan politik dan
perpecahan keluarga seperti Hamlet, skandal elit Indonesia berbentuk
penyalahgunaan kekuasaan telah meningkatkan krisis kepercayaan publik atas
putusan otoritas dan penegak hukum lembaga.
Namun ada
penekanan yang berbeda pada jatuhnya elit antara tokoh-tokoh rekaan tragis
Shakespeare dan keterhinaan yang menimpa elit Indonesia. Tokoh-tokoh
Shakespeare menunjukkan ketidakberdayaan manusia dan kekuatan nasib sehingga
memberikan penekanan bahwa manusia tak memiliki kemerdekaan berkehendak (free
will), sedangkan faktualitas di Tanah Air lebih berkaitan dengan kegagalan
penguasa dalam membersihkan pembusukan sistemik yang sudah berurat berakar
dalam lingkaran kekuasaan mereka. Alih-alih menjaga reputasi MK sebagai salah
satu lembaga hukum terpercaya di Indonesia bersama-sama dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Akil Mochtar membuka pintu bagi masuknya agenda tersembunyi dan
kepentingan pribadi ke dalam lembaga terdepan ini.
Kedua, tragedi
Shakespeare menunjukkan ada cela dalam diri tokoh-tokohnya sehingga menyebabkan
kesalahan dalam tindakan mereka. Tokoh-tokoh tragis, karena cela dalam
karakternya, bertanggung jawab atas tindakan dan kematiannya sendiri. Hamlet
jatuh ke dalam pengalaman tragis karena permusuhan yang berlebihan, Othello
menyelinap melalui dekadensi karena kecemburuan dan King Lear menyesali hidup
karena obsesinya tentang cinta dan kekuasaan. Meskipun otoritas mereka kuat di
hadapan rakyat, orang-orang yang luar biasa ini gagal mengendalikan godaan
batin terdalam yang mereka punyai.
Kecenderungan
serupa juga terlihat pada realitas tersangka yang terjerat korupsi di
Indonesia. Pegangan kekuasaan kuat yang dikendalikan oleh keluarga Ratu Atut
Chosiyah di Propinsi Banten sejatinya berawal dari kesalahpahaman mereka dalam
memahami kebanggaan sejarah daerah itu. Mereka telah menyalahgunakan kearifan
lokal yang menempatkan ciri khas para penguasa Banten, yang kebanyakan
merupakan keturunan pahlawan daerah terkemuka yang berperang melawan penjajah
Belanda.
Dengan kedudukan
ayahnya selaku pemimpin terkemuka dan berpengaruh di masyarakat Banten, Chasan
Sochib, keluarga Atut—putrinya, ibu tiri, saudara tiri dan adik ipar yang
menjadi walikota atau bupati di provinsi—telah menyalahgunakan kepercayaan
publik terhadap sang ayah dengan mendirikan dinasti politik di propinsi
tersebut. Seperti pahlawan tragis dalam tragedi Shakespeare yang terhempas ke point
of no return, anggota keluarga Atut mulai jatuh bebas lantaran bergantung
kepada kebanggaan palsu mereka.
Ketiga, tragedi
Shakespeare berisi tokoh-tokoh yang mengalami keadaan psikologis abnormal.
Dalam hal ini, karakter fiksi dalam tragedi Shakespeare harus menghadapi
pengaturan supranatural seperti penyihir dan hantu. Hal ini dapat ditemukan
dalam visi mistis dan kedatangan para penyihir di lakon Macbeth. Dilihat
dari perspektif alur, integrasi atmosfer supranatural di berbagai drama
Shakespeare dimaksudkan untuk meminjamkan warna emosional dan ketegangan
konflik, seperti visi supranatural yang berperan dalam pengaturan adegan
sebagai jalan keluar dari alur.
Menelaah panggung
politik dan hukum Indonesia, kondisi psikologis abnormal ala tragedi
Shakespeare tampak jelas melalui kecenderungan politisi dan pejabat tinggi
dalam memanfaatkan kuasa mistis guna mempertahankan kekuasaan mereka di satu
sisi dan dalam penggunaan simbol-simbol agama demi memenangkan simpati publik
di sisi lainnya. Tersangka korupsi lainnya seperti Malinda Dee dan Nunun
Nurbaeti tiba-tiba mengenakan jilbab ketika mereka berada di pengadilan.
Tersangka korupsi yang tak terhitung jumlahnya di seluruh negeri sering terlihat
mengenakan topi haji atau kemeja muslim selama persidangan. Ratu Atut Chosiyah
bersikeras untuk pergi ke Mekah meskipun dilarang bepergian ke luar negeri oleh KPK
William
Shakespeare telah memberikan pelajaran yang teramat berharga: orang-orang yang berkuasa
tidak hanya cenderung menyalahgunakan kuasa dan menegakkan kendali mereka. Tak
kalah dahsyatnya adalah bahwa perilaku mereka niscaya berdampak luar biasa
terhadap nasib banyak orang, melewati lingkaran mereka sendiri.
Oleh Donny Syofyan,
dosen Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Andalas