Cerbung
Episode ke 57 (Terakhir)
Oleh
Sofi Muhammad
Sambil
menunggu Arya pulang, aku semakin sering menghabiskan waktuku dengan berkaca.
Sudah berhenti juga dari kerja dengan melontarkan alasan kehamilanku. Meski tak
terlalu menghawatirkan, tapi mumpung ada alasan pula. Sekalian saja kukatakan
bahwa suamiku melarangku kerja.
Rasanya,
ternyata seperti ini menjadi manusia.
Kalau
lancar, tujuh bulan lagi Arya akan diwisuda. Apa pun, sekecil apa pun, sekadar
semangat saja, maka segalanya akan kucurahkan agar dia bisa kembali menjadi
manusia biasa. Makan, minum, serta bercinta ala kadarnya.
Em,
kalau begitu, pas perutku sangat membuncit kira-kira wisudanya Arya. Tidak
masalah juga sih. Malah bagus karena ketika baby-ku
lahir, baby kami maksudku, maka ia
akan memiliki papa yang sudah sarjana, meski mamanya SMA saja tidak lulus.
“Cie,
cie,” goda Santi, “jahat kamu ini!”
“La
kamu sibuk terus kok,” kilahku.
“Harusnya
ya tetap memberitahu kalau sudah resmi.”
“Kamu
kapan nyusul?”
Santi
hanya tersenyum. Kenapa harus menunggu lama jika ternyata memiliki anak itu
sesuatu banget. Ketika bangun pagi, jika Arya belum pulang dari kerja, aku tak merasa
kesepian lagi. Baby-ku, em maksudnya baby kami langsung saja muncul di
pelupuk mata. Berkicau, em, ber…apa ya namanya?
Ya
sudah, men-download lagilah. Eh, tapi
belum menyiapkan makan siang.
Ketika
tanpa sengaja kuampirkan pandangan ke arah pojokan, demi melihati
bertumpuk-tumpuk pakaian kotor kami, aku jadi malas lagi. Mendingan ya memandangi
laptop sambil menonton video film anak-anak yang sudah ku-download.
Yang
paling lucu masih Winnie the Pooh.
Sudah pipinya gendut, murah senyum lagi. Biar baby-ku nanti juga seramah itu, suka menolong teman juga. Pig juga
lucu. Meski kalau aslinya babi itu menjijikkan sekali, namun di sana bisa jadi
lucu juga.
Pink,
seperti kaos yang sedang kukenakan saat ini. Duh, apa jangan-jangan nanti
anakku cewek, ya?
Bukannya
bagaimana-bagaimana. Hanya saja, aku merasa kasihan jika dia, ah tidak perlu
setakut itu. Kan dia punya papa sama mama yang lengkap. Aku juga akan
menjaganya dengan nyawaku, Arya kupikir juga
begitu.
“Yang
penting sehat, Ras,” kata Arya.
Dia
itu, seperti sudah benar-benar siap saja. Padahal, kan belum mapan kerjanya.
Lama-lama, jadi mengantuk ini kalau hanya memandangi laptop sambil tiduran.
Pegal juga mataku karena tidak berani sambil tengkurap sebagaimana dulu sebelum
ada baby di perutku.
“Ras,”
guncangan lembut menggoyangkan punggungku.
“Sudah
pulang?” tanyaku sembari menggosok mataku.
“Kamu
nggak masak?” tanya Arya sambil membolak-balikkan panci yang kosong. “Laper
ini.”
Ah
iya, “ketiduran tadi.”
Dengan
setengah tersadar, kudengar suara kemeletukan panci dan teman-temannya.
Kemudian, aku tertidur lagi. Nanti malam, Arya libur, sudah pasti harus lembur
kami ini. Tapi, kalau ngantuk ya pastinya tidak jadi.
Beberapa
menit berlalu, Arya kembali lagi ke kamar. Di tangannya sudah tertenteng
sepiring penuh mie goreng. Dengan aroma bawang goreng kesukaanku, tanpa dibangunkan
pun mataku sudah otomatis terbuka sendiri.
“Pegal
semua, Ras?”
Arya
itu, seperti pernah hamil saja.
“Tak
pijitin nanti kalau kamu capek, Ras.”
“Sayang!”
kataku.
Arya
menghentikan suapannya.
“Panggil
aku ‘sayang’.”
***
Yang
seperti ini saja harus menunggu bertahun-tahun lamanya, menunggu punya KTP
segala. Seolah-olah, aku tak akan mampu merasakan menjadi selayaknya manusia
sebelum aku mendapat pengakuan menjadi manusia.
Selembar
kartu itulah yang kemudian mengubah seluruh duniaku. Saat dulu aku begitu takut
berhadapan langsung dengan polisi bejat, yang mau membebaskanku asal
kuperbolehkan mereka menciumku terlebih dahulu, maka kini tidak lagi.
Memang
begitulah manusia. Pengakuan adalah jauh lebih berharga dari setumpuk
mobil-mobil sebagaimana yang dimiliki oleh Mbak Dian. Bagiku yang tak bermobil
pun, ke mana-mana agak pegal ketika harus mengangkangkan kaki, membonceng Arya
pun, tapi aku tak perlu takut kena gusur
karena kami memang telah diakui keberadaannya.
“Susunya
jangan lupa diminum.”
“Masih
panas.”
“Tak
kipasin ya.”
“Hmm.”
Arya
memandangiku sejenak sambil mengipasi segelas susu yang kata iklan sangat baik
bagi ibu-ibu hamil sepertiku.
“Download terus,” dengusnya.
Aku
hanya mengomentarinya dengan senyuman.
“Tapi,
kalau kita miskin, kan kasihan baby
kita.”
Aku
diam saja sambil menikmati belaian Arya.
“Enaknya
usaha apa ya?”
Aku
masih hanya diam dan membiarkannya terus berpikir kemudian mengucapkan segala
gagasannya. Ini mungkin saat yang tepat.
“Kalau
restoran, aku bisanya cuma buat nasi goreng. Apa kita buat restoran spesial
nasi goreng saja?”
Aku
masih tetap diam.
“Eh
iya, bagaimana kalau pulang kampung. Di kampungku, Jepara. Nanti, kita buka
restoran nasi goreng di sana. Oh iya, biar terlihat beda, kita buat nasi goreng
seafood saja. Wah, enak itu kayaknya.
Nanti, kita buka restoran di dekat Pantai Bandengan. Dibuat lantai dua saja.
Nanti yang bagian bawah untuk restoran, yang lantai dua untuk rumah pribadi
kita, bagaimana?”
Mataku
mulai memanas.
“Pasti
enak banget itu. Bangun tidur, keluar jendela, langsung bisa memandang
sehamparan pasir putih di Pantai Bandengan. Em, dibuat rumah kayu saja sekalian
dikasih ukir-ukiran, biar dapat rasa Jepara-nya ya.”
Mataku
semakin memanas.
“Em,
pamanku ada yang pintar mengukir. Dulu, saat ibu belum meninggal, pas Lebaran,
kamu ingatkan aku selalu pulang kampung. Pulangnya ya ke Jepara. Biar kusuruh
pamanku untuk mengukirkan rumah idaman buat kita berdua. Pasti bagus banget itu
kan?”
Kugigit
bibirku sendiri.
“Tapi,
di lantai bawah ya diberi minimal satu kamarlah. Kasihan kamu kalau naik-turun
sehabis melahirkan, kasihan baby kita
juga, kan. Lho, kenapa menangis?” Arya mulai menyadari sesuatu.
Kuusap
air mataku dengan selembar tangan.
Tidak
jelas berawal dari manakah semua perubahan ini. Hanya saja, beberapa waktu
setelah kumiliki baby di dalam
perutku, Arya mulai benar-benar memikirkan kapankah aku perlu minum susu. Wajahku
yang terkadang memucat, sering juga dibelikannya apel hijau kesukaanku.
Langit-langit
kamar kos yang mulai ditumbuhi jaring laba-laba, sempat juga dibersihkannya.
Seminggu atau dua minggu sekali saat aku keluar sekadar jalan-jalan di
sekitaran kos.
“Laras,
Sayang, kenapa menangis?”
Sudah
kutahan tapi tetap tak bisa reda. Bergulung-gulung ombak bagaikan. Di saat aku
berusaha menahannya agar tak semakin meluap, tapi malah semakin menjadi,
menggila hingga benar-benar memburamkan pandanganku.
“Apa
aku salah bicara?”
Kedua
bola mataku semakin memanas serta kabur. Kubiarkan dahulu hingga benar-benar
letih kemudian ia berhenti sendiri.
Sementara
itu, Arya beranjak dari ketergolekannya. Usai mengeluarkan tangannya dari dalam
dastarku, ia mengarahkan jemarinya untuk mengusap lelehan panas yang keluar
dari celah-celah penglihatanku.
“Kenapa
menangis?”
Tiga
tahun, bayangkan!
Tiga
tahun menjalani kehidupan seatap dengannya, barulah pada detik itu aku bisa
mengenalinya.
SELESAI