Oleh Nur Hadi
Judul
Buku : Rantau 1 Muara
Penulis : A. Fuadi
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Kedua, Juni
2013
Tebal : ix + 407 halaman
ISBN : 978-979-22-9473-6
Merupakan
buku ketiga dari trilogi Negeri 5 Menara, buku ini masih berfokus pada kisah
Alif si pemburu beasiswa yang memendam harapan ingin mengenyam pendidikan
tinggi di luar negeri. Dalam novel ini, persaingan antara Alif dan Randai untuk
mendapatkan beasiswa ke luar negeri adalah bagian yang paling enak untuk
disorot. Ada dua sisi yang dapat dilihat ketika memandang pada bagian ini.
Pertama, ketika
Alif merasa kalah serta rendah diri di hadapan Randai. Ia hanya mampu
mendapatkan pekerjaan yang ‘alakadarnya’, sementara Randai mendapatkan posisi
cemerlang dalam pekerjaan dan kemungkinan besar juga akan dapat dengan mudah
mendapatkan beasiswa ke Jerman (hlm. 38).
Di
sini seolah terlihat bahwa pekerjaan yang ‘wah’ merupakan kunci pokok sebuah
kebahagiaan. Bahwa dengan mendapatkan pendidikan luar negeri, maka kebahagiaan
sejati akan didapat. Hal ini seolah memandang sebelah mata kepada pekerjaan-pekerjaan
‘kecil’ lainnya seperti tukang becak, tukang parkir, kuli, bahkan wartawan,
yang jika ditilik dari segi penghasilan jauh berada di bawah. Apakah orang-orang
yang berprofesi seperti itu berarti tidak bahagia?
Tentu,
pandangan ini sedikit banyak akan memengaruhi pembaca. Tentang emosi Alif yang
kemudian menjadi labil dan terbakar saat mendapatkan tantangan Randai, bahwa ia
mesti bisa melampaui Randai, bahwa ia mesti bisa mendapatkan beasiswa ke luar
negeri. Padahal saat itu ia sudah menjadi awak Majalah Derap yang sudah amat
dikenal eksistensinya. Alif menjadi seolah tak sadar bahwa apa-apa yang
didapatkannya sewaktu menjadi wartawan Derap adalah lebih mulia dan berharga
dibandingkan dengan tujuan dari kompetisi terselubungnya dengan Randai.
Lihatlah
misalnya ketika memasuki episode ‘Amplop yang Harum’ (hlm. 58). Bahwa betapa
menjadi wartawan yang jujur bukanlah hal mudah karena di samping gaji yang
pas-pasan, mereka juga harus tabah menghadapi bujuk rayu suap dalam
bermacam-macam bentuk, dari yang jelas-jelas berwujud amplop (hlm. 60), sampai yang
samar-samar karena berwujud doorprize
(hlm. 80). Itu di luar problem wartawan semacam narasumber yang sukar ditemui,
tak mau diwawancarai, atau bahkan mengancam saat berita yang tercetak tak
sesuai dengan harapan mereka.
Keadaan
inilah yang kemudian menyebabkan Alif memalingkan wajah ke dunia lain. Dirinya
merasa hilang ketika melihat Randai yang selalu berada di atas angin. Wartawan
menjadi semacam pekerjaan yang bukan apa-apa jika dinilai dari gaji. Alif pun
kemudian mengalami dilema akibat cara pandang yang salah tersebut.
Aku tersengat juga oleh kalimat Pasus
itu. Apa niatku sebenarnya? Jadi wartawan yang idealis atau hanya sekadar
mencari tempat untuk mencari uang? Sebetulnya ujung jalan apa yang ingin aku
tuju? Apakah aku berjalan di jalan yang aku inginkan untuk sampai di akhirnya?
Apakah aku sedang menjalankan pepatah man
saara ala darbi washala? (hlm.
108).
Kedua,
novel ini menjadi menarik justru ketika Alif beserta istrinya mengalami
kejenuhan ketika sudah mendapatkan kenyamanan di negeri seberang. Ini menjadi paradoks
yang kemudian mengajak pembaca untuk berpikir; setelah mendapatkan beasiswa dan
mendapatkan pekerjaan yang nyaman, lalu apa lagi? Rasa nyaman atau tak nyaman
ternyata tak tergantung dengan hal itu.
“Ambo merasa telah banyak belajar dari
melihat negeri orang. Seperti kata pepatah Minang, jauah bajalan banyak diliek, lamo hiduik banyak diraso, jauh
berjalan jadi banyak dilihat, lama hidup banyak dirasa. Ada masanya menetap di
tempat asal. Kami mau memberitahu kalau kami akan pulang setelah Lebaran.
Selamanya.” (hlm. 363)
Tak
hanya perkataan Ustad Fariz itu yang kemudian memengaruhi jalan pikir Alif
untuk kembali pulang ke tanah asal. Persahabatannya dengan Mas Garuda (yang
hilang saat peristiwa 11/9) yang menyimpan cita-cita untuk pulang dan membuka
usaha di tanah asal, serta rengekan Dinara sang istri tercinta yang sudah rindu
dengan bau negeri sendiri, akhirnya meneguhkan niat Alif mengacuhkan tawaran
kerja di EBC London yang prestisius itu. Ia memilih pulang dan berniat mengabdikan
diri di negeri asal.
Scene
ini mengajarkan nilai patriotis, sekaligus mengajak pembaca untuk berpikir ulang,
bahwa setelah mencapai sesuatu yang dianggap puncak itu, ada hal yang lebih
penting lagi, yakni mengamalkan apa-apa yang sudah didapat demi kemaslahatan tanah
air tercinta. Ini seperti menyindir para sarjana kita yang enggan pulang ke
tanah air setelah gemuk di negeri orang.
Nur Hadi, tinggal di
Banyuputih, Jepara