Puisi
Bimbang
Bilamana
air laut hilang,
Maka
manusia akan gersang
Bukan
bumi, bukan
Adalah
insan yang tak khusyuk sembahyang
menatap tangis sang bintang.
Bilamana
langit tiada,
Maka
bintang tak akan diciptakan
Buat
apa melukiskan bintang tanpa bumi
Buat
apa melukiskan siang bila tak ada malam
Karena
dzikir akan tetap terjaga.
Untuk
apa menciptakan awan jika membuat hati resah,
Karena
hujan membangunkan bumi
Bumi
menggugah manusia
Biar
jutaan insan merasakan kasih sayang sang gemintang
CHM, November 2013
Darah Perjaka
Ia merasakan
sekujur tubuhnya berdesir
mencium kelopak
bunga Tapak Dara yang baru dilewatinya.
Putik
membuatnya roboh, runtuh dada.
Benang sari
merah menjadikannya tetap terjaga
atas
kemunafikan yang mungkin tak diketahui oleh
setiap wanita.
Yang suci, ia
membelenggu kehormatannya demi memperindah masa depan
Tak
memerdekakannya begitu saja.
Ia mau sepenuh
hati memberikan seluruh fisik dan mental
demi gadis yang
dihargainya.
Mata menyorot
pisau, raga mengalir jernih,
Hati bagaikan
air terjun, pusar merasakan sejuk-dara.
Biarlah angan
lelaki memabuk ombak,
memecah karang,
menentramkan kerang mutiara dan hiu,
menggoda ikan
ikan,
menyanyikan
lelah nelayan yang bersikeras menjaganya.
Yang terpenting
tidak merubah bentuk pasir pantai.
Perihal Lelaki
dan Anggrek Bintang
Putih ningsih
tanpa bercak di tubuhnya.
Ia terlahir
dengan sempurna.
Mengaroma
setiap makhluk Esa
Menitipkan
sejarah Tanya di jidat
manusia …
Berjalanlah ia
dari kuncup hingga mekar
Tak indah
hingga paling indah
menginspirasi setiap
pujangga
yang memotret
tangisnya
sebelum mekar
mengundang tawa
pada pemilik
rumah yang menumbuhkannya
membuang benih
benih cinta
lalu menjadi
madu untuk sang tanduk rusa.
Ialah lelaki
yang menggodanya
mencium
getarnya, saat ia menyandarkan lelah,
menitipkan
rizky pada sungai sungai ibu
Hingga aku
menyebutnya “Lelaki Penggendong air dan batu”
bertangislah ia
dalam dada.
Ia tersiram
hujan.
Hujan yang
turun dari tubuh letihnya
mengaromakan
pengorbanan
di setiap angin
kehidupan yang mendesir dan berkata.
Lelaki membawa
pulang anggrek itu,
membawa perih
hati perempuannya.
ia mengira,
lelaki itu tak sedang bekerja.
Entah pergi ke
tempat manusia jalang.
Karena wangi
anggrek yang berani ia bawa
Taubat Sang
Pemabuk
Bawalah aku
pada satu lentera-Mu, ya Tuhan …
Biar hatiku tak
gelap
melafadzkan
ayat ayat-Mu dengan lembut.
Supaya aku
mampu mengambil petuah dari firman-Mu.
Terpaku dalam
hasrat kembali ke rumah-Mu.
Seperti Ayub
yang rela ditinggal pergi dua istrinya,
aku rela
dicampakkan belahan hatiku
jika kini aku
mampu merasakan hikmah
di setiap
jalanan simpang.
Aku gelap …
Segelap gelapnya tinta dalam tabung pena
Hampa udara …
Sragen, 8-11-2013, 16.43 WIB
Istana Goresan Pena
Catur Hari
Mukti, nama
asli dari penyair Krishna Mahardika.
Penulis buku ‘Perisai Hujan’ Deka Publisher 2013. Aktif sebagai ketua di KSM
(Komunitas Sastra Malmantaka) SRAGEN dan Direktur di MAF (Malmantaka Art
Furniture). Pengelola halaman facebook ‘Jejer Lanang’. Kini tinggal di Sragen bersama kedua
orang tuanya.