Cerbung
Episode ke 55…
Oleh Sofi Muhammad
Pengakuan.
Dua
puluh enam tahun aku tak diakui oleh Negara ini. Kini, setelah kudapatkan KTP
itu, maka kurasakan bahwa aku ini mulai merasa berhak untuk memiliki hak sebagaimana
yang lainnya. Di samping itu, berani juga aku untuk melanggar rambu-rambu lalu
lintas yang kemudian merasakan persidangannya pula.
“Wah,
tak usah pakai kondom lagi dong, Ras?” tanya Arya.
“Ya
pakai dululah,” jawabku, “ tunggu saja sampai surat nikah kita turun.”
“Kenapa
harus begitu?”
“Ya
biar anak kita nanti juga legal.”
“Ha,
ha.”
“Kok
malah tertawa.”
Kupandangi
tubuhku sendiri dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Di depan layar kaca,
usai mandi begini, kulihat mulai ada rona keibuan yang sedari dulu memang telah
kuinginkan. Ya, sebentar lagilah.
“Kalau
anak kita tidak legal, syarat pembuatan Akta Kelahiran-nya pun susah,”
lanjutku.
“Tinggal
ditampar pakai duit saja to.”
“Nggak
ah.”
“Kenapa?”
“Pokoknya,
aku maunya dia langsung diakui sedetik setelah lahir!” kataku. “Tapi...”
Arya
melengos. Menatap ke arah tembok dan membelakangiku. Sejenak kemudian, ia
terbaring, gantian menatap langit-langit kamar.
Sebetulnya,
tidak akan terlalu sulitlahlah jika Arya itu sedikit saja mau berpikir,
memikirkan bakat-bakatnya yang telah tergerus oleh pikirannya yang telah
dipenuhi oleh mesum saja itu.
“Kamu
kapan lulusnya?” tanyaku menyambung yang tadi.
“Belum
tahu.”
“Cepetan
to, biar kamu bisa dapat pekerjaan yang lebih baik juga, biar bisa mengontrak
juga!”
Arya
hanya menanggapi keluhanku itu dengan diam.
Di
saat ia sedang tidak memperhatikan, kulihati beberapa lembar Kartu Hasil Studi
milik Arya. Setelah kubolak-balik kumpulan KHS-nya, di sana kudapatkan ada
nilai ada yang C, tapi juga ada tiga yang D. Beberapa lagi di antaranya malah
kosong. Ada sebentar, biar kuhitung dulu. Satu, dua, tiga, ah ada tujuh yang
masih kosong.
“Nilaimu
kayak gini, butuh berapa tahun lagi untuk lulus?”
Arya
menengok sejenak ke nilai-nilainya.
“Setahun
bisa kalau rajin.”
“Ya
sudah, setelah itu?”
“Skripsiku
belum tapi.”
Arya
terdiam dan aku pun juga. Kubiarkan dulu pikirannya itu bekerja. Kalau
dibiarkan terus, maka dia jelas tidak akan lulus-lulus.
Iseng-iseng,
aku pun jalan-jalan ke luar kamar. Sembari menunggu Arya mendapat inspirasi
bagi masa depan kami, aku pun menenteng dompet dan menuju warung makan yang
tidak jauh dari kamar kos.
Siang
hari di daerah Ungaran bawah bisa bersuhu tiga puluh sembilan hingga empat
puluh dua derajat celcius. Mau keluar pakai payung, kok ya takut dibilang kemayu aku.
“Mau
ke mana?” tanya Arya yang mengikutiku dengan matanya.
“Mau
cari makan dulu.”
“Masak
sendiri saja,” katanya.
Aku
tersenyum kemudian kembali lagi mendekatinya, “Kamu yang masak ya!”
***
“Apa?”
tanyaku menagih pada Arya.
“Em,
kalau buka warnet bagaimana?”
“Ah,
dibuat mesum anak-anak SMA nanti,” jawabku.
“Kalau
buka distro?”
“Sudah
banyak. Swalayan saja sepi kalau tak ada diskon.”
Arya
masih memutar otak. Sementara itu, aku mulai men-download video. Sudah pandai aku sekarang menggunakan laptop Arya.
Keseringan menganggur juga sih.
“Dibantu
mikir to, Ras,” rengeknya.
“Sibuk
aku.”
Aku
kembali menekuni download-an video
kumpulan lagu anak-anak. Baik yang menggunakan Bahasa Indonesia maupun Bahasa
Inggris. Eh, yang Bahasa Jawa juga ada ternyata.
Selain
lagu-lagu, sebanyak mungkin ku-download
juga cerita anak-anak. Mulai dari legenda Tangkuban Perahu, hingga Doraemon
versi Bahasa Indonesia. Little Bear juga ada ternyata.
Dulu,
saat masih SD, aku ingat bahwa sepulang sekolah, aku pasti menyempatkan diri
untuk menggonta-ganti channel.
Sebelum mendapatkan kartun yang pas di hati, maka aku tidak akan pernah
berhenti.
Ha,
ha, Arya dulu juga sering ikut-ikutan duduk di sampingku walau agak jauh.
Memang baru awal-awal saat itu. Dia itu datangnya saat mulai kelas lima SD, dan
seterusnya ya menetap di rumah Mami.
“Download terus,” keluh Arya, “bisa jebol
itu laptopku.”
“Pelit
banget sih.”
“Kok
begini Arya?” tanyaku lagi ketika melihat peringatan asing yang menggunakan
Bahasa Inggris.
“Wah,
sudah penuh itu memorinya,” kata Arya, “kamu download-nya yang berjam-jam sih. Yang kartun pendek kan banyak.
Lima atau sepuluh menitan begitu.”
“Ya,
kan bagus semua,” kilahku, “em, BF-nya tak hapus ya.”
“Dihapus?”
Aku
mengangguk sambil memamerkan senyum.
“Ya
sudahlah, tapi kamu sudah dulu download-nya.”
Tidak
mau. Malah aku ini jadi kepikiran untuk semakin banyak men-download lagi. Tidak hanya film kartun tapi juga film Indonesia
juga film luar yang pernah tayang di bioskop.
“Jangan
dihapus semua, Ras,” rengek Arya karena sudah dua ratusan lebih kuhapusi film
BF-nya.
Tas
punggung yang jarang disentuh itu sudah ia pasang di punggungnya. Baru saja
beberapa minggu yang lalu kumasukkan sebuah pensil baru, sudah kuserutkan pula,
dan dua buah pulpen.
Katanya,
pulpennya itu sering hilang. Bisa jadi, lupa menaruh, atau bahkan terjatuh di
meja saat ia tidak sengaja tidak tertidur kala mendengarkan ceramah dari dosen.
Em, sebuah buku tulis juga sudah ada di dalamnya.
“Cepetan
lulus ya,” kataku sambil menepuk punggungnya sebelum ia berangkat.
Arya
tersenyum saja.
“Ras,”
kata Arya sebelum melangkahi pintu.
“Apa
lagi?”
Dia
hanya tersenyum sambil mengamati perutku kemudian segera pergi.
Lima
detik berpikiran kosong, kemudian kulanjutkan lagi, men-download lagi.
Bersambung
Episode ke 57…