Oleh Titi Haryati Abbas
Pelangi
menghiasi langit senja itu. Diani tak berkedip memandangnya dari kaca jendela
kamarnya, indah sekali.Senyumnya mengembang, seketika angannya melambung.
Ia
tahu, barusan pak Amar, temannya mengajar satu sekolah, hari ini memberanikan
diri datang ke rumah untuk melamar dirinya kepada ibu.
Hatinya
membuncah penuh harap. Harapan itu kembali menggodanya, harapan semua
perempuan, segera bersanding di pelaminan dan mengarungi hidup berkeluarga. Semoga
saja kali ini ada keajaiban.
Tak
lama, suara pintu kamar diketuk dari luar.
“Diani,
buka pintunya sayang!”
Diani
segera melangkah ke pintu dan membukanya. Hatinya berdebar penuh harap. Pandangan
matanya mengikuti gerakan ibu yang mendekatinya dan kemudian duduk di
sampingnya.
“Tadi
Nak Amar menghadap ibu, ia ingin melamarmu.Kamu pasti sudah tahu itu, kan?”
kata Ibu.
Diani
hanya mengangguk, diam, menunggu ibu melanjutkan kalimatnya.
“Kamu
anak ibu satu-satunya. Kamu juga seorang sarjana yang masih jarang di kampung
kita. Jadi akan ibu pilihkan laki-laki yang paling tepat untuk menjadi suamimu
nantinya. Laki-laki yang pantas tentunya.”
Diani
masih terdiam, itu kalimat ibu yang sudah berulangkali beliau ucapkan.Ia mulai
tak enak, mungkinkah belum ada keajaiban hari ini? Keluhnya dalam hati.
“Maafkan
ibu, tapi Nak Amar bukan lelaki yang tepat untukmu menurut ibu.”
Kalimat
ibu barusan akhirnya menguapkan kembali harapan-harapan yang baru saja tumbuh. Untuk
kesekian kalinya, kalimat itu ibu ucapkan, kalimat yang perlahan membuatnya
jenuh.
Sebisa
mungkin ia berusaha mengerti keinginan ibu untuk memilihkan calon pendamping
yang baik baginya, tapi penolakan demi penolakan yang dilakukan ibu sepertinya
berlebihan baginya.
“Kamu
percaya kan dengan niat baik ibu?”
Dan
seperti biasa ibu mulai mengemukakan alasan-alasan klisenya. Ah ibu, sebenarnya
calon menantu seperti apa sih yang ideal menurut ibu?
***
Sekolah
sudah mulai ramai saat Diani mencapai gerbang sekolah. Diani segera mempercepat
langkahnya. Hari ini ia akan memberikan ulangan harian untuk siswanya.
“Bu
Diani, ini untuk ibu,”
Baru
saja ia hendak duduk di kursinya setelah meletakkan tas di atas meja ketika
serta merta sehelai kartu undangan berwarna kuning emas disodorkan ke
tangannya. Pak Adi, satpam di sekolahnya segera berlalu setelah menyerahkan
kartu undangan tersebut.
Segera
dibukanya undangan cantik tersebut. Seketika dadanya bergemuruh hebat. Matanya
hampir tak bisa mempercayai apa yang tengah dilihatnya. Sepasang nama
terpampang indah di lembar undangan tersebut. Namun yang paling membuat
perasaannya kacau tak menentu adalah nama sang calon mempelai laki-laki; Muammar,
S.Pd.
“Tak
disangka ya, Bu. Saya kira kemarin itu pak Amar ada hati terhadap ibu, tapi
nama di undangan ini justru nama lain.” Tiba-tiba saja Bu Rina, rekan
mengajarnya, sudah berdiri di sampingnya
dan memberikan komentar.
Gelagapan,
cepat-cepat dimasukkannya segera kartu undangan tersebut di dalam tasnya. Hatinya
turut membenarkan ucapan Bu Rina tersebut.
Rasanya
baru kemarin melihat Pak Amar bertandang ke rumahnya membawa maksud tulus
untuknya. Namun sekarang sosok itu nampaknya sudah menemukan tautan hati pada
wanita lain yang telah membuka hati dengan lapang untuknya.
”Maaf
lho Bu, saya tidak bermaksud menyinggung perasaan ibu,” buru-buru Bu Rina
menyambung pembicaraannya karena ia masih juga diam membisu.
Dengan
lembut, ia menggelengkan kepala. Susah payah ia menahan aliran bening yang
berdesakan ingin keluar dari matanya.
‘Qur’atul
Aeni, S.Pd.’ diejanya nama itu dalam hati, nama yang indah. Kembali perasaannya
berkecamuk riuh. Ada sedih, kecewa, cemburu dan juga bahagia. Semuanya
bercampur aduk menjadi satu.
“Bu,
sudah bel!” bu Rina menyentuh pundaknya.
“Iya,
makasih, Bu.”
Nama-nama
yang tertera di undangan tadi, tak pelak mengiringi langkah kakinya menuju
kelas. Nama-nama yang telah mengusap pelangi dalam harapannya kali ini,
* * *
Pagi
yang indah. Matahari pagi masih belum sepenuhnya menurunkan cahayanya ke bumi. Embun
pagi masih menempel di rerumputan dan pepohonan. Kicauan burung di sana-sini membuat
pagi terasa makin semarak.
Rutinitas
pagi kembali bergulir.
“Assalamu
Alaikum,” diedarkannya pandangannya ke seluruh kelas.
“Waalaikum
salam, mom!” serentak para siswa membalas salamnya penuh semangat.
Dan
belum lagi ia duduk di kursinya dengan baik tiba-tiba suara gaduh muncul dari
kursi belakang.
“Dorrr!!!”
Seketika
kelas menjadi gaduh. Dengan cepat ia segera mendatangi sumber keributan di
bangku paling belakang. Dan baru saja ia akan mencapai bangku tersebut, kembali
ia mendengar suara yang sama, “Dorrr!” suara balon meletus, sama seperti suara
keributan pertama tadi.
Hatinya
berubah menjadi galau, “What happened to you all this morning?” suaranya
lantang membahana ke seluruh ruangan.Kelas mendadak berubah diam.
“We
are sorry, mom.” Seorang siswa bersuara sambil mengacungkan tangan. Kemudian
selanjutnya diam.
Sesaat,
matanya memperhatikan siswa tersebut lalu beralih ke seluruh siswa yang
mendadak serentak bergerak ke arahnya dan…
“Happy
birthday, mom!” Suasana kelas berubah riuh tak terkendali ketika satu
persatu siswa menyalaminya seraya mengucapkan ‘happy birthday’
kepadanya.
Ada
keharuan menyeruak tiba-tiba kedalam hatinya. Hari ini ternyata hari ulang
tahunnya. Hari bersejarah baginya. Hari ini seolah memberitahu dirinya bahwa ia
genap berusia dua puluh sembilan tahun. Ya Allah, aku mulai beranjak ke usia tiga
puluh tahun, bisiknya sendiri.
“Thanks
students!!!”
Hanya
itu yang bisa ia ucapkan kepada siswa-siswanya yang telah memberinya kejutan
pagi ini. Kejutan yang sontak mengganggunya dan perlahan menyadarkannya bahwa
sesungguhnya dirinya telah beranjak semakin jauh dari batas usia normal menikah
bagi seorang perempuan di desanya.
Ditatapnya
semua siswa-siswanya yang juga tengah duduk menatapnya. Wajah-wajah muda yang
segar penuh semangat. Alangkah menyenangkan berada di masa-masa seperti itu. Penuh
obsesi, penuh impian, dan penuh warna.
“Give
us some words, mom!” sahut anak-anak serentak. Pandangan mereka semuanya
terarah kepadanya.
Perasaannya
kacau tak menentu, apa yang harus ia katakan pada mereka? Haruskah ia mengutarakan
kegalauan batin yang tiba-tiba saja datang mengusiknya?
“I
have nothing to say to you all for the surprise you give me today. Just two
words 'Thank You’!”
Ditatapnya
mereka kembali wajah-wajah ceria mereka dengan senyum, senyum tulus. Aku juga
pernah seperti kalian. Punya semangat, cita-cita dan impian. Sebagian cita-cita
itu telah aku raih, kecuali satu. Dan tanpa bisa ia cegah, pikirannya melayang
kepada sang bunda di rumah. Sadarkah ibu, bagaimana anakmu ini di usia
menjelang kepala tiga? Sementara engkau masih kukuh dengan pendidirianmu?
***
Dan
resah itu masih senatiasa mengungkungnya.
Mengungkungnya ke dalam perasaan aneh yang sulit ia maknai.
“Assalamu
alaikum, Diani?” suara lembut berasal dari belakangnya. Segera ia toleh ke
pemilik suara tersebut.
“Waalaikum
salam, Fitri? Mau ke mana?”
Fitri,
si pemilik suara itu tersenyum. Seorang bayi laki-laki mungil sedang terlelap
di dalam kehangatannya. Batinnya bergetar menatapnya.
“Ini,
mau membawa Firman ke Posyandu, sekalian pulangnya nanti langsung ke acaranya Nina.
Kan hari ini anaknya juga di-akikah.”
“Oh,
iya ya…aku hampir lupa.” Ucapnya
setengah gelagapan. Sekali lagi ia hampir tak bisa menguasai perasaannya.
Fitri,
sama seperti Nina. Mereka berdua teman sepermainannya dulu. Teman berbagi suka
dan duka. Tapi kini, mereka sudah memiliki kehidupannya masing-masing.
“Aku
menyusul nanti, pulang ke rumah dulu ganti baju. Gerah seharian di sekolah!”
“Kami
tunggu di rumah Nina, ya. Betul lho, Diani. Kita kangen cerita-cerita seperti
dulu lagi.”
Diani
mengangguk tersenyum menatap sahabatnya. Aku juga kangen dengan kalian,
bisiknya dalam hati.
Satu
persatu teman seusianya kini tak lagi menjalani kehidupan mereka sendiri. Mereka
telah memiliki teman berbagi bahkan buah hati, hasil dari kasih sayang diantara
mereka.
Impian-impian
mereka tak lagi hanya tertuju pada diri mereka saja tetapi juga sudah harus
tertuju pada buah hati mereka juga. Sungguh kehidupan yang menggugah rasa
cemburu.
“Diani,
mau ke mana sayang, kamu kan baru pulang, kok mau pergi lagi?” tiba-tiba saja
ibu sudah berdiri di belakangnya.
“Diani
mau ke rumah Nina, bu. Anaknya di-akikah hari ini.” Jawabnya singkat.
“Nina
teman kamu SMA dulu kan? Jadi dia sudah menikah dan punya anak? Siapa
suaminya?”
Pertanyaan
ibu yang beruntun tak ia tanggapi. Rasanya ingin buru-buru sampai ke rumah Nina
saja. Entahlah, rasanya tak ada lagi semangat berbicara dengan ibu jika
topiknya tentang pernikahan dan yang berhubungan dengan itu.
“Diani,
kamu belum menjawab pertanyaan ibu.”
“Ilham,
Bu. Teman kami semasa SMA juga.”
“Ilham
yang masih berstatus pegawai honorer di kantor Kecamatan itu?”
Kalau
sudah begini, ia sudah bisa memastikan ke mana nantinya arah pembicaraan ibu.
Dan pembicaraan seperti inilah yang sebenarnya ingin ia hindari. Jenuh rasanya
mendengarkan hal itu berulang-ulang.
“Padahal
kalau mau, Nina kan bisa memilih laki-laki yang sudah mapan. Bagaimana nanti
masa depan anak-anaknya? Iya kan Diani?”
Didengarkannya
saja kalimat-kalimat ibu dengan sabar meskipun sebenarnya ingin rasanya
menyingkir dari hadapannya saja.
“Itulah
makanya selama ini ibu sangat hati-hati memilihkan calon pendamping yang tepat
untukmu. Masa depanmu tidak boleh ibu putuskan dengan gegabah. Ibu ingin kamu
nanti mendapatkan yang terbaik.”
Kalau
saja bisa, rasanya ia tak ingin lagi mendengar kalimat-kalimat itu. Sungguh
berulangkali ia sudah mendengarnya.
“Bu,
Diani pamit!” Dengan cepat diputusnya kalimat ibu. Kalimat yang membuatnya
semakin hambar.
Kapan
ibu mau membuka pikirannya yang selalu saja mengedepankan materi di atas
segalanya?
“Hati-hati
ya!”
“Iya
bu. Assalamu alaikum.”
Dan
segera dilangkahkannya kakinya keluar dengan tergesa. Keluar sejenak
meninggalkan rumah yang ia rasakan tak lagi membuatnya teduh. Teduh menanti
pelangi yang kerap muncul setelah gerimis.
Ditatapnya
sinar mentari yang mulai meredup. Senja hampir datang. Mungkinkah gerimis akan
segera turun dan menyisakan pelangi di ujung langit?
Namun
satu yang ia dapat pastikan, gerimis di hatinya belum juga berhenti dan masih
setia menanti pelangi.
Titi Haryati Abbas,
tinggal di Sinjai, Sulawesi Selatan