Refleksi Hari AIDS Sedunia
Sunat telah dihubungkan dengan penurunan angka kejadian
HIV dan secara kuat melindungi pria HIV-negatif dalam hubungan pasangan discordant (satu HIV-negatif, satu
HIV-positif) dari infeksi. Ini menurut hasil penelitian prospektif yang
diterbitkan pada jurnal AIDS, 20 Oktober 2000.
Untuk menentukan
dampak sunat pada pria dalam pencegahan infeksi HIV, Dr. Ronald H. Gray
dari Johns Hopkins University di Baltimore, AS, dan anggota tim proyek Rakai Project Team, mempelajari
penularan HIV pada 5.507 pria Uganda. Mereka juga menilai infeksi dan penularan
HIV pada pasangan discordant. Ini
melibatkan 187 pria HIV-negatif dengan pasangan yang HIV-positif, dan 223 pria
HIV-positif dengan pasangan HIV-negatif (Reuters Health, 25 Oktober 2000).
Meskipun masih
memerlukan penelitian lebih lanjut, temuan ini menginspirasi kekuatan agama
secara lebih luas dalam memberikan kontribusi pencegahan HIV/AIDS. Utamanya di
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, di mana agama, ajaran-ajaran dan
pemuka-pemukanya memiliki posisi dan status sosial amat menonjol dalam
masyarakat.
Selama ini, posisi agama terlihat minor dalam peperangan
melawan epidemi HIV/AIDS. Bukan terletak pada kemampuannya yang rendah dalam
memengaruhi sikap dan pola pikir pemeluknya, melainkan karena tak cukup
suportif terhadap agenda-agenda pencegahan HIV/AIDS.
Wujud “resistensi” terhadap isu HIV/AIDS mengemuka
sewaktu lontaran penggunaan kondom bagi suami-istri marak pada pertengahan
1990-an. Masdar F. Masudi dari NU sempat berkomentar merasa heran karena
penggunaan kondom untuk alasan KB telah diterima yang bersifat kurang darurat.
Namun penggunaan benda yang sama untuk mencegah penularan virus HIV ditolak
oleh sebagian besar pemuka agama saat itu, padahal persoalan HIV/AIDS jauh
lebih darurat ketimbang KB.
Dalam berbagai kesempatan, sejumlah kalangan selalu
mengedepankan nilai-nilai moral dan keluarga sebagai benteng yang tak (mungkin)
tembus terhadap serangan HIV/AIDS. Posisi ini dipandang kurang realistik. Meskipun
moralitas dan nilai-nilai keluarga amat penting, tetapi memiliki variasi dan
relativitas tinggi di hadapan banyak orang. Yakni bahwa ada memang orang atau
keluarga bermoral dan berakhlak cukup untuk menghindarkan diri dari kemungkinan
penularan HIV/AIDS. Tetapi pun ada pula yang tidak, atau bahkan berkombinasi
dalam satu keluarga.
Mantan Menko
Kesra Azwar Anas mengatakan kompleksitas permasalahan yang ditimbulkan wabah
AIDS menuntut suatu cara penanggulangan di Indonesia dengan pendekatan lain di
samping pendekatan agama. “Diperlukan pendekatan multidimensional,” kata Azwar
Anas, yang juga pernah menjadi ketua KPA (Komisi Nasional Penanggulangan AIDS).
Ia menyebutkan pendekatan kesehatan masyarakat sebagai pendekatan lain itu
Pendekatan
multidimensional memadukan konsep "halal sehat" dengan pendekatan
(A)bstinence, (B)e faithful dan (C)ondom – dikenal sebagai pendekatan ABC–
khusus untuk kasus-kasus tertentu, menyangkut pasangan suami-istri yang, karena
sesuatu hal, salah satu dari mereka mengidap HIV. “Bila pasangan sah mengidap
HIV dan tetap mau menjalin kebahagiaan rumah tangga, maka untuk memenuhi syarat
sehat, pasangan itu melakukan hubungan seks dengan perlindungan kondom,”
katanya.
Pendekatan menurut kacamata agama an sich, masih tidak cukup karena hanya mengurangi faktor risiko
dan tidak benar-benar menjamin seseorang dalam keluarga baik-baik maupun
berakhlak tinggi lepas dari ancaman AIDS. Seorang istri yang alim misalnya,
namun apabila bersuamikan seorang yang suka “jajan”, faktor risikonya menjadi
jauh lebih besar terkena HIV/AIDS dari suaminya itu.
Maka, tanpa pendekatan multidimensional, penguatan
nilai-nilai agama dan keluarga semata bukannya makin memperkuat ketahanan dari
serangan HIV/AIDS, tetapi malahan bisa sebaliknya. Kenapa kemungkinan ini bisa
terjadi tersebab agama bekerja dalam wilayah iman dan keyakinan, sementara
penyebaran HIV/AIDS kini dapat melalui beragam cara (saat ini tren yang terjadi
melalui jarum suntik dalam penyalahgunaan narkoba yang mencapai angka separuh
dari total kasus HIV/AIDS). Iman dan keyakinan itu hanya menjadi moda untuk
menghindari HIV/AIDS, tapi sama sekali tidak membuat seseorang kebal dari
HIV/AIDS.
Peran Tokoh Agama
Peran agama makin urgen bilamana melihat kecenderungan
terakhir berupa peningkatan signifikan penderita HIV/AIDS di Indonesia. Dengan
catatan peran yang terintegrasi dalam kerangka multidimensionalitas tadi. Para
agamawan amat diharapkan tak lagi bersikap apriori maupun over-estimate. Penekanan pada nilai-nilai dan moralitas jangan
sampai menjadi determinan dibanding cara-cara lain yang terbukti mampu mencegah
perluasan epidemi HIV/AIDS.
Perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia sudah sampai
pada tingkat yang mengkhawatirkan. Menurut catatan Ditjen PP & PL
Kementerian Kesehatan, sampai Juni 2013 terdapat 43.667 penderita AIDS dan 108.600
pengidap HIV. Prevalensi HIV/AIDS seperti fenomena gunung es (yang muncul dan
terlihat di permukaan hanya puncaknya), jumlah keseluruhan kasus HIV/AIDS
sebenarnya jauh lebih besar.
Jumlah yang sedemikian besar ini menjadikan setiap orang
Indonesia berada “dalam jangkauan” infeksi HIV/AIDS, atau paling tidak, tak
lagi “berada terlalu jauh darinya”.
Kekuatan agama terletak pada kemampuannya memengaruhi
opini, sikap dan perilaku pemeluk-pemeluknya. Juga pada jaringan dan daya
jangkaunya yang sangat luas. Gambaran ini memperlihatkan beberapa hal. Pertama, pengabaian terhadap potensi
agama berarti mempercumakan daya melawan pandemi HIV/AIDS. Kedua, tanpa menjalin sinergisitas dengan pemuka agama dapat
melahirkan resistensi terhadap program-program pencegahan HIV/AIDS.
Di beberapa negara, khususnya di Afrika, telah diujicoba
pelibatan tokoh-tokoh agama dalam peperangan melawan HIV/AIDS. Di Uganda, ustadz-ustadz
diterjunkan langsung untuk memberi penyuluhan yang menggabungkan informasi
kesehatan dengan ajaran Islam, seperti ajaran yang melarang perzinaan dan
hubungan seks sebelum nikah.
Pemuka agama
Katholik di negara-negara Afrika Selatan, Botswana, Namibia, Lesotho, dan
Swaziland.bergabung bersama pemerintah dan perusahaan farmasi membentuk koalisi
yang dinamakan "Menjamin Masa Depan (Secure
the Future)". Mereka berusaha menemukan jalan keluar yang bisa
mendukung krisis HIV/AIDS, yaitu melalui pelatihan medis dan kesehatan
masyarakat, akses yang lebih luas kepada obat-obat AIDS yang dapat
memperpanjang usia, perbaikan pencegahan AIDS, maupun mendukung para wanita dan
anak-anak.
Indonesia memiliki potensi serupa. Pesantren-pesantren
tersebar ke daerah-daerah terpencil, begitu pula madrasah maupun
sekolah-sekolah agama. Apabila potensi ini dapat diintegrasikan dalam
peperangan melawan HIV/AIDS, kita boleh berharap “daya sebar” HIV/AIDS semakin
melemah di waktu-waktu yang akan datang.
Mulyanah, Ibu rumah tangga,
aktif
mengikuti isu sosial dan perempuan