Cerbung
Episode ke 55…
Oleh
Sofi Muhammad
Semuanya
memang butuh proses. Untuk Arya, selama apa pun waktunya, aku sepertinya tak
akan berkeberatan. Tinggal butuh sering-sering mengajaknya ke tempat-tempat
keramaian agar semakin mudah buat dia untuk melupakan gairah seksnya itu.
Tidak
harus berubah drastis kok. Namanya juga perjuangan. Sedikit-sedikit asalkan
rutin pasti akan jauh lebih baik hasilnya. Ke taman kota, ke mall, jalan-jalan
tanpa tujuan, atau bagus juga malah kalau ke kebun binatang. Ha, ha, jadi
teringat saat ke kebun binatang dan dibuntuti Rio dulu.
Oh
iya, jadi ingat akan satu hal.
“Apa?”
tanya Arya kaget sekali, “naik gajah?”
“Iya,”
jawabku tanpa ragu.
“Kamu
ini ada-ada deh,” Arya jadi agak mbrengut,
“ngidam kamu, Ras?”
Ngidam?
Ah,
iya ngidam. Apa perlu benar-benar ngidam agar Arya itu mau diajak ke mana-mana.
Tapi KTP. Kapan bisa punya KTP?
Kalau
nekat hamil terus keluar bayi mungil dari liang vaginaku, lha terus bagaimana
nanti. Masa anakku harus terpontang-panting mencari kerja yang aman hanya
karena dia pastinya juga bakalan kerepotan karena tak punya KTP sama seperti
mamanya.
Ah,
membayangkannya saja aku tidak sanggup. Salah-salah, dia malah jadi lady escort kaya mamanya. Uh, tidak
boleh! Iya kalau nanti dia menemukan sedikit keberuntungan seperti aku. Kalau
tidak?
Ya,
kalau anakku cowok sih tak apa. Mau kerja di mana saja aku sih boleh-boleh
saja. Tapi, jika jadi se-playboy Rio
pun aku juga tak suka. Kalau cowok ya harus yang setia seperti papanya, haha.
“Arya,
Sayang, ayolah ke kebun binatang,” rengekku, “naik gajah berdua.”
“Ha,
ha,” dia malah tertawa, “jarang-jarang kamu panggil aku ‘sayang’, Ras.”
“Kan
aku sayang sama kamu,” jawabku semakin menggebu-gebu merayunya, “lha kamu
sayang nggak sama aku?”
“Ya
sayanglah,” jawabnya sambil mencubit penuh sayang di kedua pipiku.
“Lha
makanya, ke kebun binatang ayo.”
“Huh,”
Arya malah tidur lagi.
Benar-benar
itu orang. Kalau ada maunya saja ya harus, pokoknya aku harus menuruti. Tapi,
kalau aku yang mau, dia selalu mengulur-ulur begitu. Lha dikiranya aku ini apa
cuma peralatan dapur yang bisa dipakai seenaknya.
Sudah
begitu, malah tak pernah memasakkan aku makanan lagi. Kalau tidak beli ya beli.
Kapan kita bisa bermesraan di dapur kaya dulu kalau beli terus. Mana di kos ini
dapurnya kecil banget, pengap lagi.
Benar-benar
suasana itu mendukung buat Arya, tapi tidak buatku. Apa memang perlu cari
kontrakan saja biar ada ruang gerak yang cukup luas, begitu. Tapi, malah mahal
nanti uang sewanya.
Gajiku
di rumah Bu Sur, dapat sebulan ya habis sebulan. Kalau gajinya Arya, sama juga
sih sebenarnya, tapi kan dia dapat gratis biaya kuliah sama persenan, alias
uang suap.
Nah
itu, kuliahnya Arya saja tak selesai-selesai. Sudah berapa tahun coba. Malah
sekarang tak pernah masuk lagi. Lha kapan kalau begitu lulusnya. Kalau tidak
lulus-lulus juga, bagaimana mungkin kami bisa dapat hidup yang agak layak di
kontrakan.
Memang
bikin jengkel itu orang.
“Ya
sudah, aku pergi sendiri,” kataku ketus, “kalau ketemu cowok cakep di sana,
ya…” belum sempat kuhabiskan seluruh perkataanku, buru-buru Arya menyambar.
“Eh,
eh, nggak boleh!” katanya, “kita pergi sama-sama!”
“Asik!”
***
Sengaja
kuambil cuti sebenarnya adalah untuk ini. Mengajak Arya sering-sering ke tempat
umum, kata Mbah Google, akan cepat
bisa menormalkan otak Arya yang sudah terlanjur terceko’i oleh pikiran mesum yang merangsakinya sepanjang masa.
“Lima
ribu, Ras?” tanya Arya.
“Iya,”
jawabku, “satu orang lima ribu, Sayang.”
Ha,
ha, dia semakin senang saja kelihatannya kala kupanggil dia dengan sebutan itu.
Memang kami dulunya ya ala kadarnya kalau berhubungan. Sekarang, aku tak mau
lagi jika yang seperti itu.
Sama-sama
berhubungan ya mendingan serius saja sekalian, sepenuh-penuhnya perhatian akan
kucurahkan pada dia seorang. Waduh, malah aku yang jadi kepingin bercinta
sekarang. Gara-gara melihat senyum manis Arya ditambah dia yang memelukku dari
belakang kala kami benar-benar naik gajah di kebun binatang Mangkang.
“Jadi
pingin pulang, Ras,” keluh Arya ketika kami baru dua menit jalan-jalan sambil
menunggangi gajah.
Sudah
seperti artis saja kami ini menjadi tontonan. Benar-benar memalukan karena
beberapa pengunjung yang masih anak-anak malah pada melihati. Saking tidak
tahannya menjadi pusat perhatian, ya aku lebih memilih untuk turun saja.
Turun
tapi bukan berarti langsung pulang. Pokoknya, seharian itu, aku akan mencoba
sekuat tenaga agar kami bisa berlama-lama di tempat yang dikunjungi banyak
orang. Paling tidak, Arya tentu kan ya tak akan memperkosaku di tempat yang
tidak tepat.
“Kapan
aku dimasakin lagi?” tanyaku pada Arya ketika kami makan siang di salah satu
warung makan dalam bonbin.
“Kapan
ya?”
Ah,
dia tidak serius.
“Kapan
Arya?”
“Kamu
ini kenapa sih, mulai aneh,” Arya malah curiga yang tidak-tidak pasti.
“Nggak
papa sih,” jawabku, “cuma kengen masakanmu saja, Arya.”
“Habis
makan pulang, ya?” ajaknya.
Dia
pasti mau gituan lagi di kos. Sudah tak tahan barang kali. Terlihat jelas itu
dari raut wajahnya yang sudah mulai keringatan.
Mau
ditahan beberapa jam lagi kok ya tidak tega. Ya sudah kalau begitu. Namanya
juga baru awal mula percobaan. Besok-besok, ya harus disambung lagi. Toh sudah
lumayan beberapa jam ini. Bayangkan coba jika di kos, sudah dua-tiga kali ronde
pasti.
Tapi
masalahnya, kan pasti tak bisa sering-sering menelateni Arya untuk pergi keluar
bersama. Kalau mau berhenti kerja, rasanya tak enak sama Bu Sur. Kasihan juga
kalau mengingat encoknya kumat sedangkan aku pernah hampir dibuatkannya KTP
meski gagal.
Arya,
dia tak mungkin berhenti juga tentu. Bosnya itu kan sudah banyak mengeluarkan
uang untuk biaya sekolahnya. Lha apa ya tega dia. Terus bagaimana dong?
“Pulang
sekarang?”
“Iya.”
Bersambung…