Cerbung
Episode ke 53…
Oleh
Sofi Muhammad
Pagi
yang cukup cerah memancarkan sinaran mentari hingga menyilaukan mataku kala
kubuka kamar kos. Sambil menutup mulut kala menguap, aku pun berpikir.
Kupandangi
sejenak lelaki yang masih terlelap di belakang tempatku berdiri ini. Tubuhnya
itu meringkuk karena mungkin merasa setengah kedinginan gara-gara selimutnya
telah berhamburan sampai ke mana-mana.
Di
pikiranku muncul sebuah ide yang ya bisa kubilang brilian. Jika dia dulu itu
sendirian saja pergi ke psikiater, kini aku yang mendampinginya. Paling tidak,
orang sakit itu kan butuh dukungan mental dari yang sembuh untuk menajamkan
indranya dalam memenuhi anjuran dokter.
Jika
Arya hanya sendirian saja, mungkin semua yang telah dilontarkan sang psikiater
itu hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Buktinya, dia tetap saja
begitu meski sudah katanya, ya sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu
hipernya.
Tentu
saja benar semua apa-apa yang dikatakan oleh Mbah Google itu dalam artikelnya. Lantaran keasyikan membenamkan
diri dalam kepuasannya sendiri, Arya jadi tak pernah lagi melontarkan
harapannya untuk jadi pemilik restoran, atau sekadar ingin punya rumah sendiri
bagi kami nanti.
“Jam
berapa, Ras?”
Arya
sudah bangun.
“Jam
enam,” jawabku.
Arya
menggeliatkan badannya dan meraih kaos putih yang baru kemarin aku belikan.
Meski belum sempat kucuci, sudah tak sabar ia pakai. Ya, masih agak bau toko
sih.
“Kamu
nggak kerja?” tanyanya lagi.
“Cuti.”
“Cuti?”
Sudah
ceria sekali wajahnya mendengarku cuti. Dikiranya bakalan kuhabiskan sesiangan
sampai sesorean suntuk untuk bercinta dengannya.
“Aku
mau kita ke psikiater,” kataku.
“Buat
apa?”
“Arya,
kamu itu ada masalah, kelainan,” kataku dengan lembut sekali.
“Males,
ah.”
“Kok
males sih?!”
Arya
malah kembali tidur lagi. Malah semakin rapat ia menarik selimut hingga tak
kelihatan sama sekali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Uh,
bikin sebal saja orang itu.
“Arya,”
kupukul tubuh Arya yang tengah bersembunyi di balik gundukan selimut itu. Sudah
sekuat tenaga kucobai untuk memukul, tapi malah dia tetap cuek dan justru
semakin erat menggenggam selimutnya agar aku tak bisa mendapatkan wajahnya.
“Arya!”
tetap tak ada respon.
“Ih,
nyebelin!”
***
Satu-satunya
jalan yang ingin kulakukan adalah browsing
lagi. Semakin banyak membaca artikel mengenai itu, semakin haus pulalah aku
hendak mengetahui yang lebih banyak lagi.
Ya,
pada mulanya kupikir hanya Arya. Ternyata, di luar sana pun banyak orang yang
mengalaminya. Takut, malu, itu dulu. Sekarang, bagiku, ya pada intinya, aku
tetaplah mencintainya.
Awalnya
memang aku masih dituntun Santi jika hendak mencari, namun kini aku sudah bisa
sendiri. Kasihan juga jika terus kuganggu waktu senggangnya yang rupanya kini
sudah agak serius dengan Rio itu.
Oho,
ternyata tak sia-sia kujodohkan mereka berdua. Biar keduanya bisa sama-sama
menjalani kehidupan sebagaimana yang mereka kehendaki.
Sejak
bisa mendapatkan penghasilan sendiri, Santi bilang, sekali pun ia tak pernah
pulang ke rumah. Malah lebih sering mengasingkan diri dengan sebanyak-banyaknya
menghindari perjumpaan dengan kakak lelakinya.
Beneran
binatang tuh orang. Tak peduli adik atau kakak, tetap saja disambar
sekehendak birahinya. Jika Santi kini
menjadi seperti itu, satu-satunya binatang yang patut disalahkan adalah kakak
yang tak pernah Santi mau untuk menyebutkan namanya itu.
“Lancar,
Ras?” tanya Santi iseng-iseng menanyai koneksi internet sambil mengenakan
BH-nya sehabis mandi.
Katanya,
mau kencan sama Rio dia. Ah, malah Birsi yang mulanya hendak dijodohkan
denganku itu akhirnya tidak jadi.
Jadi
tahulah aku sekarang. Lelaki atau perempuan yang terlalu baik pun nyatanya juga
bakalan sangat susah mendapatkan pasangan yang sederajat. Tentu saja bukan
karena mereka yang salah, tapi karena supply
orang-orang baik di dunia ini memang sudah menipis.
Ya,
selamat menikmati pencarianmu, Bisri, ha,ha.
“Sudah
cantik apa belum, Ras?” tanya Santi sambil memamerkan wajahnya ke arahku.
Uh,
dia tidak dandan saja, bulu matanya yang lentik itu sudah bisa membuatku iri.
Apa lagi, kelopak mawar yang diberi pemanis, serta pipi ranumnya yang
tipis-tipis ia bedaki untuk menutupi minyak di wajahnya, ya sudah.
“Super-duper
cantik, San,” jawabku.
“Ah,
kamu!”
“San,
Rio sering bilang kamu cantik nggak?”
“Sering
banget, Ras, kenapa?”
Uh,
dasar gombal darat. Tapi, tentu saja tak kubilang bahwa dulu Rio pun sering
bilang itu padaku. Bisa-bisa, Santi malah salah sangka dan aku tak jadi melihat
mereka kencan berdua, bercinta berdua.
“Nggak
papa,” jawabku, “kalian cocok banget, San!”
Memang
tak pernah tahu secara jelas apa maknanya. Sedari kecil, tak pernah kudapatkan
pendidikan cinta selain dari pada yang kudapatkan dari Arya. Hingga akhirnya
kini, aku benar-benar hendak membalas seluruh perhatian yang dia berikan padaku
dulu.
Begitulah
aku mencintainya, mencintai apa adanya dirinya dengan syarat sebuah perubahan
demi agar bisa semakin melanggengkan cinta kami berdua. Syarat lain; harta,
pangkat, jabatan, ketampanan, atau keturunan, itu bisa diabaikan.
Sebagaimana
halnya kelopak mawar yang merekah merah tanpa pernah menuntut kumbang tertentu
untuk menghisap madunya, asal terpenuhi kadar mutualismenya, maka akan
tercapailah sebuah kemekaran yang sempurna.
Begitu
pula dengan ini. Jika toh sudah tertancap sebusur panah Ragosar hingga masuk ke dalam hatiku, maka aku sudah tak bisa
berbuat apa-apa lagi selain dari pada hanya mencintainya, sepenuh-penuhku bisa mencintainya.
Bersambung
Edisi 55...