Cerbung
Episode ke 52...
Oleh
Sofi Muhammad
Arya
merapatkan bangkunya dengan bangkuku. Sekalian pula ia buang jauh-jauh jarak
yang membentang hingga barang kali malah tinggal satu centi saja adanya. Dengan
sinar lampu yang sama sekali tidak ada, hanya pantulan cahaya dari
gelap-terangnya layar LCD, Arya semakin gencar menggerilyakan tangannya hingga
merembet ke mana-mana.
“Arya,”
desahku.
Namun,
dia tetap tak bergeming.
“Arya,”
keluhku.
Tak
nyaman rupanya aku ini. Jika toh benar-benar di bioskop nasional, ya tidak
apa-apa. Masalahnya kan ini di lingkungan akademik, di dalam kampus, tapi Arya
tetap saja tak bisa menahan agar penisnya itu tetap tiduran saja.
Kurang
lebih setengah jam, ketika Arya sudah mulai kecapaian berusaha dan memang
kurang berhasil mulus, maka ia pun mengajak pulang.
“Kok
pulang,” keluhku lagi, “kan baru dimulai filmnya.”
“Males
ah, filmnya nggak mutu.”
Arya
semakin merengek saja. Padahal, dia sendiri kan tadi yang mengusulkan kami
untuk menonton film, yang ‘tak bermutu’ itu. Huh, mau mencoba hal-hal yang baru
saja susah sekali rasanya.
Tentu
saja hal yang baru karena ini adalah pengalaman pertamaku memasuki wilayah
asing yang bernama ‘kampus’. Sudah begitu, malah enak pula sebenarnya karena
benar-benar bisa mencicipi aroma mahasiswa dengan yang sebenar-benarnya.
Membuat
film sendiri, rasanya itu pasti asik sekali. Berhubung aku juga hobi nonton
FTV, dulu sebelum kerja.
Benar-benar
menyenangkan sekali menjadi mahasiswa, seperti kala aku menjadi siswa dulu. Tak
ada beban, hanya kumpul-kumpul kemudian membicarakan apa pun yang kami sukai,
serta menggosipkan apa pun yang tidak kami sukai.
Yah,
malah Arya ribet sekali.
“Sebentar
lagilah,” kataku.
“Sudah
nggak tahan ini, Ras,” katanya menghiba.
Pada
akhirnya ya mau tidak mau aku mengalah.
Dasar
Arya, kalau dia memang sudah mau ‘begituan’ ya susah sekali untuk dihentikan.
Uh, biar tak marahi habis-habisan kalau sudah sampai di rumah.
Kupukul
bahunya, kubanting tas mungil yang menggelantung di tanganku, serta kudorong ia
saking gemasnya.
“Ih,
nyebelin kamu itu!” kataku.
Bukannya
membalas sebagaimana pukulan yang aku berikan padanya, tapi tentu saja dengan
cara lain. Malah dilumatnya bibirku ini bertubi-tubi hingga aku pun ikut-ikutan
jadi horny sekali.
Ualah,
sudah tak mampu melawanlah jika aku kejatuhan pula virus itu. Ah iya, kelupaan!
“Kondomnya
mana?” tanyaku.
“Aduh,”
Arya menghentikan rabaannya kemudian memegang jidatnya, “belum tak ambil, masih
di kantor.”
“Lha
terus?”
“Pakai
yang kemarin,” jawab Arya, “masih di tong sampah, kan?”
“Ih,
Arya!”
***
Iseng-iseng,
aku tanya-tanya pula pada Santi mengenai kelainan Arya itu. Berhubung dia bukan
ahli dalam bidang kesehatan, dia ngomong tidak tahu-menahu. Ya, sekadar tahu
saja bahwa itu memang sudah tak wajar.
“Aku
juga pernah ke psikiater dulu,” kata Arya beberapa hari sebelum hari ini.
“Apa
katanya?” tanyaku.
“Ya,
bisa sembuh sendiri kalau aku sudah punya istri.”
Ah,
bukannya saat ini dia sudah punya aku, istrinya, tapi nyatanya kok ya tak
sembuh-sembuh juga. Semakin hari malah semakin holot saja dia. Bahkan jika sehari saja aku ini menstruasi, sudah
bukan main lagi ngambeknya.
Disuruh
makan pil KB malahan. Ya aku jelas tidak mau. Memangnya mau membiarkan
peranakanku ini kering begitu. Tidak, tidak. Begini-begini, bayang-bayang
membelai rambut lembut bayi, bayi mungilku dengan Arya, ya tetap masih ada.
Kalau
kebanyakan menelan pil, kata orang-orang kan ya bisa bikin mandul. Alah, tak
mau aku jika mandul. Kebangetan itu Arya jika menginginkan aku mandul. Mbak
Dian saja, gara-gara belum punya anak padahal sudah hampir satu tahun menikah,
malah bingung sendiri dia. Pakai ke dukun pijat segala.
Mau
tidak mau, daripada penasaran setengah mati, maka kuberanikan diri untuk
meminta bantuan Santi lagi yang mana juga meminjami laptop beserta modemnya
sekalian. Ya, buat tanya-tanya Mbah
Google yang kata Santi memang bisa menjawab segala pertanyaan dalam sekali
klik.
“Hiperseks
ya, Ras?”
“Kata
Arya begitu.”
Santi
mulai mengetikkan beberapa huruf di layar laptopnya. Hiperseks saja begitu, dan
langsunglah muncul berderet-deret tulisan yang memunculkan, menebalkan kata
kunci dari kata yang diketikkan oleh Santi tadi.
“Em,
yang ini coba,” kata Santi mengeklik sebuah link.
Aku
hanya ikut mengamatinya saja dari samping. Kemudian, ikut-ikutan membaca
tulisan-tulisannya yang disisipi gambar-gambar lelaki setengah telanjang sambil
tangannya menutupi selangkangannya.
“Gambarnya
mendukung, Ras,” ujar Santi.
“Iya.”
Tak
sangat keras, tapi Santi membacanya hingga kami berdua bisa mendengar
bacaannya. Bukannya aku sudah lupa bagaimana caranya membaca, tapi memang
karena Santi ternyata juga besar sekali rasa ingin tahunya.
“Kegilaan
pada seks yang berlebihan, Ras,” kata Santi menyimpulkan.
“Benar
Arya itu.”
“Lanjut,
ya,” kata Santi, “hal itu disebabkan oleh karena…”
Ya,
setidaknya, aku jadi semakin percaya pada keperjakaan Arya tempo lalu itu.
Benar-benar bakalan semakin menggebu-gebu orang itu jika telalu lama menahan
apa-apa yang sangat dia inginkan.
Tapi,
dadaku ini rasanya berdegup kencang sekali menahan kekhawatiran.
Artikel-artikel itu menyebutkan bahwa pecandu seks itu cenderung untuk
mengabaikan hal-hal lain. Satu-satunya hal yang melingkar di ubun-ubun hanyalah
satu.
“Seks
saja, Ras.”
Bersambung
Episode ke 53…