Esai
Oleh Mulyanah
Kisah
hidup Malala Yousafzai sangat
filmis. Pada tanggal 9 Oktober 2012, Yousafzai ditembak di kepala dan leher
dalam upaya pembunuhan oleh kelompok bersenjata Taliban ketika kembali pulang
di bus sekolah. Ia sempat dirawat di Pakistan sebelum akhirnya diterbangkan ke Inggris
untuk dirawat di rumah sakit di Birmingham.
Ia selamat.
”Malala harus dibungkam karena dia 'menjalankan kampanye untuk memfitnah
upaya Taliban untuk mendirikan sistem Islam di Swat dan tulisan-tulisannya yang
provokatif,” kata seorang Komandan Taliban, Adnan Rasheed, dalam secarik surat.
"Bukan pendidikan, tetapi propaganda Anda adalah masalah, begitu juga apa
yang Anda lakukan sekarang," tulisnya lagi.
Pada awal tahun 2009, pada umur sekitar 11 dan 12, Yousafzai menulis di
blognya di bawah nama samaran untuk BBC
secara mendetail tentang betapa seramnya hidup di bawah pemerintahan Taliban, usaha
mereka untuk menguasai lembah, serta pandangannya sendiri tentang upaya
mempromosikan pendidikan untuk anak perempuan.
Bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke 16, 12 Juli 2013 lalu, Malala
berpidato di depan Forum Majelis Kaum Muda di Markas Besar PBB
di New York,
Amerika Serikat.
Saat ini ia juga memimpin lembaga sosial, Malala Fund.
Happy ending?
Realitas yang mirip-mirip fiksi lainnya datang dari negeri sendiri. Kisah
tragisnya bermula tiga tahun lalu (2010). Dia bekerja sebagai pembantu rumah
tangga (PRT) pada seorang majikan bernama Yeap Seok Pen (60). Sang majikan
kerap memarahi dan memukuli Wilfrida Soik yang saat itu baru berusia 17 tahun. Tak
tahan perlakuan sang majikan, Wilfrida melakukan pembelaan diri. Hari itu, 7
Desember 2010, jelas takkan pernah hilang dari ingatannya. Dia melawan dan
mendorong majikannya hingga terjatuh dan akhirnya meninggal dunia.
Tiga tahun Wilfrida mendekam di Penjara Pangkalan Chepa, Kota Nharu,
Kelantan. Proses persidangan pemberkasan kasusnya di Mahkamah
Majistret Pasir Mas, Kelantan, berjalan sangat lambat dan mengalami penundaan
beberapa kali karena laporan visum et repertum korban dari pihak rumah
sakit tidak kunjung selesai. Awal 2012, kasus Wilfrida akhirnya dilimpahkan ke
Mahkamah Tinggi Kota Bharu sebagai mahkamah tingkat pertama yang berwenang
memeriksa pokok perkara.
Wilfrida diberangkatkan ke Malaysia pada 23 November 2010 melalui jalur
Jakarta-Batam-Johor Baru. Pihak yang memberangkatkan (AP Master & calonya)
memalsukan umur Wilfrida tiga tahun lebih tua. Dalam paspor, tanggal lahir
Wilfrida 8 Juni 1989, padahal menurut surat baptis Gereja Katolik Paroki Roh
Kudus di Belu, NTT, Wilfrida
dilahirkan 12 Oktober 1993.
Wilfrida tengah menanti vonis pengadilan yang mungkin mengakhiri hidupnya.
Ia terancam hukuman mati atas dakwaan pembunuhan dan melanggar Pasal 302 Penal
Code (Kanun Keseksaan) Malaysia. Happy
ending? Semoga.
Dul dan
kekasihnya, Arin, bersama dua temannya, pergi makan malam di Social House, kafe
bernuansa Barat, di Grand Indonesia, Jakarta Pusat (Sabtu, 7/9), sampai sekitar
pukul 23.00 WIB. Waktu semakin larut, dan Arin meminta Dul mengantarkannya ke
kawasan Pondok Indah Mall, untuk menunggu taksi. Terlalu lama mengantre taksi
(hingga pukul 00.00 WIB), akhirnya Dul berkukuh mengantarkan Arin pulang di
salah satu rumahnya di Cibubur, Jakarta Timur.
Malam
itu adalah malam tergelap bagi hidup anak pesohor Ahmad Dhani tersebut. Sehabis
mengantar pacarnya pulang, mobil Mitsubishi Lancer B 80 SAL yang disopiri Dul, ”terbang”
ke arah sebaliknya setelah melaju kencang di KM 8 Tol Jagorawi. Mobil Dul menabrak
secara frontal dua mobil lainnya. Akibat musibah tersebut, 7 orang tewas dan 8
orang lainnya menderita luka-luka.
Dul
sendiri harus melewati perawatan intensif sampai dua minggu lebih. Dia terancam
hukuman enam tahun. Masih belum cukup umur (12 tahun), dilimpahi fasilitas
mewah, namun background keluarganya
jauh dari kata ideal. Orang tuanya yang pasangan selebritis itu cerai. Mereka
jadi bahan gosip. Kecelakaan Dul seperti kutukan. Drama!
Malala,
Wilfrida, Dul, tak sendirian menghadapi dunia nyata layaknya bermain peran
dalam film/sinetron tragedi. Ada Tasripin, bocah 13 tahun dari Banyumas, Jawa
Tengah. Tanpa orang tua, bocah ini terpaksa meninggalkan sekolah demi
menghidupi tiga adiknya. Beruntung, pemberitaan gencar media membantunya keluar
dari kemungkinan nasib lebih buruk.
Perbudakan
buruh di Kabupaten Tangerang yang menggemparkan itu melibatkan anak-anak
remaja. Mereka disekap selama enam bulan, mirip suasana penjajahan di masa
lalu. Anak-anak yang pada umurannya bebas bersikap alay (anak lebay) ini,
bekerja seperti robot sehari semalam, di bawah ancaman majikan dan oknum aparat
keamanan. Mereka digaji janji Rp 600 ribu perbulan. Puluhan anak remaja ini
memang dibebaskan, seperti terbebas dari mimpi buruk. Tapi kisah mereka tanpa ending, karena penyelesaian kasusnya
menguap ke udara.
Di
tayangan televisi saban sore hari, ada banyak anak berjibaku dengan kehidupan. Situasinya
sama, kemiskinan yang dikombinasi keadaan yang semakin menyulitkan, seperti
kecacatan, penyakit, hingga ayah yang pergi tanpa pamit. Mereka sedikit tidak
beruntung karena urung mendapatkan perhatian publik. Kisah mereka tak lebih
dari rutinitas acara televisi. Penonton hanya berharap kemalangan macam apa
lagi yang bisa disaksikan. Terlalu banyak kesedihan membuat sebuah kesedihan
berlalu seperti angin menderu.
Sementara
itu, pemerintah terlihat semakin peduli terhadap nasib anak-anak negeri. Mereka
menyiapkan dana dan kebijakan yang bagus demi mengentaskan anak dari nasib
malang. Pejabat-pejabat pun siap turun tangan langsung. Mereka akan segera
membantu begitu ada pemberitaan kasus menyedihkan yang menimpa seorang anak.
Tapi, perihal ini, kali ini, adalah benar-benar fiksi.
Mulyanah, ibu rumah tangga, tinggal di Weleri, Kendal