Oleh Adefira Lestari
Bonaro?
Aku mohon jangan tanyakan dia padaku, Aime. Sungguh, aku tidak tahu di mana dia
berada. Bonaro hanya bagian dari kisah lalu yang sulit kuurai kembali dari
ingatanku. Jangan paksa aku, Aime. Biarkan ini menjadi cerita senja yang akan
ikut terbenam bersama sisa usia kita.
Gaota? Oh, Aime. Mengapa kau tak percaya
padaku. Baik Bonaro maupun Gaota, aku tak tahu menahu. Percayalah, Aime. Mereka
tak akan membawa pengaruh apapun atas pernikahan kita. Mengapa kau merisaukan
keberadaan mereka? Sudahlah, Sayang. Pejamkan matamu. Kita nikmati saja sajian
malam tanpa bulan dalam iringan lagu angin yang merindukan sepi ini.
***
Menjelang
tengah malam, gerimis tiba-tiba menyapu pelataran rumahku. Saat ini, aku tak lagi
bersama Aime. Ia telah pergi beberapa jam lalu saat aku berkilah menceritakan
tentang Bonaro dan Gaota, dua sahabatku yang lenyap begitu saja. Memang sulit
melupakan kenangan tentang mereka. Bonaro dan Gaota adalah sahabat karibku,
kukira sudah seperti saudara. Pun Aime menganggapnya demikian. Maka dari itu, tak
salah juga jika Aime menanyakan kealpaan mereka mendekati hari pernikahan kami.
Rintik air berduyun jatuh ke bumi. Ingatanku
tentang keduanya kembali terburai. Tanpa kawan, kupandangi titik-titik air hujan
di balik jendela kaca yang mengembun karena napasku. Ya, seingatku, aku masih
bisa berjumpa dengan Bonaro dan Gaota sebelum hujan. Namun, kala hujan telah
reda, mereka pun ikut tiada.
Aime, sebenarnya aku ingin jujur padamu.
Akan tetapi, aku takut jika kau beralih membenci aku, Bonaro, dan Gaota. Bukan.
Lebih tepatnya kau akan membenciku, Sayang.
***
Satu
setengah bulan yang lalu, aku masih sempat bertemu Bonaro. Malam itu, kami diguyur
hujan ketika hendak pulang dari konser band di alun-alun kota. Kami mengendarai
motor vespa terbitan 70’an milik Bonaro. Sayang, vespa kebanggaan Bonaro itu tak
bisa mengantarkan kami untuk segera sampai ke tempat berteduh. Kami basah kuyup.
Tak ada Gaota waktu itu, dia sedang ada keperluan lain. Hanya aku dan Bonaro.
Kembali
ke cerita malam itu. Sesampainya di tempat berteduh pada sebuah losmen, aku dan
Bonaro langsung melucuti pakaian masing-masing. Kami sama-sama telanjang. Kulihat
tubuh Bonaro lebih berisi. Kulitnya bersih untuk ukuran laki-laki. Lebih dari
itu, bibirnya tetap merah meski sering menghabiskan rokok hingga lima bungkus
perhari. Ah, iya. Lubang tindik di kedua telinganya yang dulu kubuat itu rupanya
telah selebar lingkaran cincin, tak berbeda denganku. Mataku terus saja
berkutat memperhatikannya. Bonaro juga tak enyah memandangi badanku yang lebih
kurus darinya. Aku dan dia hanya memakai celana dalam basah. Masih mending
daripada telanjang bulat. Kami bertukar pandang, saling menertawakan lantaran
ungkapan Bonaro yang menyebut kami sebagai Tarzan Modern bervespa biru.
Malam
itu, aku dan Bonaro berniat tidur di sana.
“Biar
aku yang bayar,” begitu kata Bonaro.
Aku
pun mengiyakan. Gelap semakin larut. Aku dan Bonaro bergumul dalam satu ranjang
di dalam selimut abu-abu. Namun, ada sesuatu yang tak wajar. Aku merasakan
keanehan timbul dari diri Bonaro. Dia memeluk punggungku. Awalnya aku biasa
saja karena kukira Bonaro hanya mencari kehangatan. Untuk selanjutnya, aku merasa
geli saat Bonaro mengendus-ngendus leherku.
Mataku
terbelalak. Ada apa dengan Bonaro? Aku berjingkat. Sepertinya memang ada yang
tidak beres. Kuperhatikan dia sekali lagi. Barangkali ia sedang mimpi basah.
Tidak. Ini bukan mimpi basah. Wajah Bonaro sedang dikuasai birahi. Nafasnya
naik turun seperti mengumpat sesuatu.
Bonaro
mengejarku. Lalu, dahinya kulempar gelas kaca. Ia mengaduh beberapa kali.
“Bangsat
kau, Yodha. Kembali kau!”
Jidatnya
berdarah. Aku tak peduli. Setelah membawa pakaian yang tak sempat kukenakan,
kutinggalkan Bonaro di sana. Meski begitu, Bonaro tetap mengejarku.
“Argh!”
Aku
terjatuh. Kali ini kaki kananku terjepit pintu. Aku tak dapat berlari lebih
jauh lagi. Kakiku tertahan dan aku rasa telapak kakiku telah retak.
Bonaro
mendorong pintu menahan kakiku. Aku benar-benar terjebak dalam suasana itu.
Tawanya begitu lebar. Seketika, kutemukan korek api di saku celanaku dan segera
kulemparkan ke matanya. Ia mengaduh lagi. Saat ia lalai, segera kupakai
celanaku dan aku lekas kabur dari losmen itu.
Setelah
beberapa waktu, kuhentikan pelarianku pada sebuah tempat minum. Gemerlap lampu
warna warni di tempat itu masih terang menyala bergantian. Seorang perempuan
menawariku minum, tanpa basa-basi langsung kuteguk minuman semerah darah yang
membuat tenggorokanku panas.
“Sejak
kapan Bonaro jadi seperti itu?” pekikku.
Gerimis
di luar belum juga reda. Kala aku larut dalam pikiran tentang tingkah laku
Bonaro, seorang laki-laki tiba-tiba saja duduk di samping kiriku. Bau parfumnya
seperti…
“Bonaro?”
aku membeliak.
Bonaro
telah duduk di sampingku. Secepat kilat, ia menggandengku keluar dari tempat
itu. Bonaro membawaku hujan-hujanan di jalanan sepi. Dia mendorong tubuhku.
Hampir saja aku terjatuh. Dia berkata sesuatu, tapi gendang telingaku tak mampu
menangkap seruan suaranya yang bercampur dengan air.
Bonaro
mengeluarkan pisau lipat dari saku celananya. Dia mendekatkannya padaku.
Jantungku berdegub sangat cepat. Desiran darahku mengalir memburu desah nafasku
yang sulit kukendalikan. Dengan mengacungkan pisaunya, Bonaro pelan-pelan
menyergahku. Wajah birahi yang kutemui beberapa waktu lalu itu telah berganti
menjadi wajah garang.
Kilatan
petir membangunkan malam yang hampir tertidur. Bonaro terkapar. Di balik tirai
hujan, kukaitkan Bonaro pada seutas tali tampar yang kutemukan di dekat tempat
minum. Aku meningggalkan Bonaro di cabang pohon mahoni. Aku tak peduli meski dada
kirinya terus menerus mengeluarkan cairan merah segar serupa minuman yang
kutenggak beberapa waktu lalu.
***
Sebulan
setelah peristiwa itu, aku selalu diburu perasaan gelisah. Keinginan Gaota
mencari Bonaro tak pernah surut. Gaota adalah orang paling khawatir atas
hilangnya Bonaro. Berkali-kali dia menghubungi polisi dan selalu berakhir
dengan kekecewaan.
Pada
suatu malam yang basah, Gaota menelponku. Dia memintaku untuk ke rumahnya.
Katanya, ada hal penting yang ingin dia bicarakan padaku. Mataku bergerak-gerak
tak menentu. Untuk menghindari kecurigaannya, aku pun setuju.
Setengah
jam kemudian, aku sudah sampai di rumah Gaota. Sepi. Di meja tengah ruangan
kutemukan beberapa botol bir yang dua di antaranya telah kosong. Gaota mabuk.
Ia telentang di sofa abu-abu. Mulutnya ternganga.
Kudekati
Gaota. Ia telah bangun ketika tanganku tak sengaja menyenggol salah satu botol yang
berjajar di meja. Matanya memicing karena silauan cahaya lampu. Gaota berdiri, berjalan
ke arahku dan aku melangkah mundur. Wajahnya mirip dengan wajah Bonaro saat
menginginkanku malam itu. Ah, kenapa pula Gaota ini?
“Yodha,
aku sudah beberapa minggu mencari Bonaro untuk melepaskan kepenatanku. Tapi,
sampai sekarang dia tak juga kembali. Yodha, bantulah aku melepasnya.
Setidaknya sampai Bonaro kembali kepelukanku. Kemarilah!” ucap Gaota seperti
orang mengigau.
Bonaro
dan Gaota? Mereka?
Sebelum
Gaota berhasil mendapatkanku, aku memilih untuk segera pergi dari rumahnya. Tak
peduli pada hujan yang akan membasahiku. Namun, layaknya Bonaro, Gaota tak
membiarkanku lari begitu saja. Ia memburuku sampai ke sebuah gudang beras di
tengah persawahan. Gaota menyudutkanku setelah mememarkan kedua pipiku. Dia
mencumbuiku seperti yang dilakukan Bonaro dulu. Leherku terasa amat geli oleh
kumis tipisnya. Ia bertelanjang dada, memperlihatkan luka bekas jahitan
sepanjang jari telunjuk di perut kirinya.
“Aish.
Gila!”
Teriakanku
membuat mata Gaota menyala. Tangannya mengepal dan siap menyerangku. Aku
menangkis sergahannya. Tubuh Gaota kuputar. Posisi kami bergantian, aku berada
di tempat Gaota dan Gaota berada di tempatku semula. Naas. Punggungnya
tertancap besi penyangga karung beras yang semula terpancang di belakangku.
Perasaanku
saat itu persis seperti ketika Bonaro mengalami hal yang sama. Tanpa pikir
panjang pula, kulilitkan tali tampar ke lehernya kemudian kujuraikan Gaota di
pohon rambutan depan gudang.
Tiga
tahun bersama mereka, bagaimana bisa aku tidak tahu kalau mereka punya hubungan
tak wajar?
***
Keesokan
harinya menjelang senja, kekasihku, Aime berhambur ke pelukanku. Dia menangis
sesegukan.
“Kenapa,
Aime?”
Aime
tak menjawab bisikanku. Ia semakin merengkuh tubuhku. Aku mengerti, ada sesuatu
yang diumpatkan Aime. Entahlah. Aku tak tahu. Kueratkan lingkar tanganku ke
tubuh Aime, karena itulah yang ia perlukan saat itu.
***
Hujan
kembali mengguyur. Tampaknya, untuk beberapa bulan ini bumi memang akan sering
basah. Entah menggambarkan kesedihan, kesenduan, keharuan, atau bahkan
kebahagiaan. Tak berbeda dengan kekalutan yang kurasakan malam ini. Aime,
kekasih yang sangat kucintai, tiba-tiba saja memutuskan untuk membatalkan
pernikahan kami.
“Kau
tak boleh begitu, Aime?”
Aime
masih sesegukan. Tangannya telah lepas dari tubuhku. Pipi merona yang selalu
kucium itu basah oleh air matanya. Tanpa berkata sesuatu apapun, Aime
menggandengku ke luar rumah menuju pohon mangga yang tumbuh rindang di depan
rumahku.
Untuk
kesekian kalinya, aku membeliak. Aime mengeluarkan belati dan seutas tali tampar
dari dalam tasnya. Dia memberikan tali tampar itu untukku, sedangkan belati
sepanjang sendok itu telah mengacung ke dadanya.
“Aime!!!”
“Aku
sudah tahu tentang ketiadaan Bonaro dan Gaota. Sekarang, aku mengajakmu untuk
menyusul mereka. Kau tak tahu perasaanku, Yodha. Aku sepi meski ada kau. Bonaro
dan Gaota lebih tahu yang kuinginkan. Mereka saling bergantian menghangatkanku.
Bagiku, ketiadaan mereka juga ketiadaanku dan ketiadaanmu,” terang Aime sebelum
titik demi titik cairan merah dari dada kirinya menitik ke rumput teki. Menguar
menembus tanah kala hujan serupa tirai kristal terpampang di depan mataku. Kakiku
masih terpatri di sana. Akan kuapakan tampar ini?
Adefira Lestari, mahasiswi IKIP PGRI Semarang