Cerbung
Episode ke 50…
Oleh Sofi Muhammad
Beberapa
foto yang tertempel di dinding kamar kuturunkan, beberapa potong baju
kusingkirkan, serta gelas tempat kopi pun kusisisihkan pula dari pandangan.
Sedikit saja benda yang ‘berbau’ Arya lebih baik kujauhkan.
Usai
meletakkannya dalam satu kardus mie
instant, aku menaruhnya di gudang umum bersama barang bekas teman kos yang
lain.
Hari
itu masih pukul lima pagi dan jelas belum ada yang sempat membuka mata pada jam
yang sesubuh itu. Kurapikan kamarku sendiri sambil mendengarkan kumpulan lagu
pop modern yang ada dalam HP.
Sambil
menunggu jam tujuh untuk mandi lalu berangkat kerja, masih dalam bayang-bayang
Arya. Serasa tak bisa lepas.
Jujur,
rasanya pun masih menginginkan Arya kembali. Tapi, dia saja tidak meminta maaf
lagi, kan. Harusnya minta maaf terus sampai aku luluh. Malahan, benar-benar
pulang kembali ke kosnya dan mungkin malah sudah bercinta dengan wanita lain.
“Bubur,
bubur,” teriak tukang bubur dari arah luar.
Aku
bergegas keluar dan gantian berteriak, “Bubur, Pak.”
Setelah
mengambil dompet, aku keluar dengan mengenakan jaket. Iya, meski itu adalah
jaket Arya yang ketinggalan belum kumasukkan dalam kardus, tapi kupakai juga.
Masih sehangat yang dulu kok.
Tak
sengaja, saat kuberdiri di samping gerobag bubur, kulihat, jika dugaanku ini
benar, ada mobil bosnya Arya yang terparkir dua puluh lima meter dari arahku
berdiri. Tapi, baik pintu maupun jendela, semuanya tertutup sangat rapat. Jadi
tak bisa benar-benar memastikan apakah dugaan ini benar atau salah.
“Makasih,
Pak.”
Kuambil
seplastik bubur candil dari Pak Bubur dan pelan-pelan sambil sesekali menoleh
ke belakang, aku kembali ke kamar.
Karena
penasarannya, kunekat mengirim SMS pada Arya.
Usai
kuketik beberapa huruf, langsung saja kukirimkan pesan itu tanpa harus menunggu
matahari terbit dari Barat, atau lautan mengering berganti garam yang bercampur
pasir.
Arya…
***
Selang
dua puluh lima detik, gayung pun bersambut. Tak hanya pesan yang datang tapi
Arya sendiri membuktikan bahwa tadi itu memang benar-benar mobil bosnya yang
terparkir tak jauh di sana.
“Aku
boleh masuk, Ras?” tanyanya yang berdiri di ambang pintu.
“Boleh,”
jawabku singkat.
Begitu
kami telah berada dalam kamar, Arya segera membuka tasnya yang sedari tadi ia
sisihkan di samping pinggang.
“Aku
bawa ini buat kamu, Ras,” katanya sambil menyodorkan kaos hitam bergambar logo Elkasinematografi.
“Ini
apa?”
“Itu,
temanku dari IKIP ada yang ikut ekstra per-film-an,” jawab Arya, “nanti malam
ada premier film ‘Mengejar PNS’ dari Elka.
Kita nonton bareng ya,” ajaknya.
“Kok
namanya Arya, bukan namaku di belakang sini.”
“Ah,
biar romantislah, Ras,” kata Arya, “lihat ini.”
Arya
mengambil satu kaos lagi dengan warna dan gambar yang sama. Bedanya, jika di
punggung yang punyaku bertuliskan nama Arya, di kaosnya Arya tertuliskan
namaku.
“Kamu
so sweet banget, Arya.”
Berkata
seperti itu, sambil kupeluk Arya erat sekali. Arya memang pandai sekali
memilihkan benda-benda romantis semacam kaos itu.
“Foto
kita di mana, Ras?” tanyanya usai mengitarkan pandangan ke sekeliling dinding.
“Dah
tak masukin gudang,” jawabku dengan menyesal sekali.
“Kok
gitu sih?!”
“Nanti
tak ambil lagi kok.”
Kugantung
kaos kami dengan hanger yang
terpampang di belakang pintu. Setelah itu, kubuka seplastik bubur candil yang
kubeli dari Pak Bubur tadi. Kutuang dalam mangkuk lalu aku kembali duduk di
samping Arya yang sedang rebahan di atas kasur.
“Kamu
sudah sarapan?” tanyaku.
Arya
menggeleng.
“Ras…”
katanya.
Aku
menatapnya.
“Jangan
marah lagi, ya.”
Aku
tersenyum kemudian kukecup bibir yang sekali pun tak pernah dimasuki sebatang
rokok itu.
Dalam
keadaan tertentu, aku memang sangat bersyukur telah memiliki Arya. Ya, entahlah
apa nama perasaan kami ini. Tapi, berdua dengannya, aku seolah mampu untuk
hidup meski tak memiliki satu tetangga pun.
Bagiku,
satu Arya saja sudah cukup.
Seakan-akan,
kerumitan di ruang Gedung DPR sana jadi tak berpengaruh sama sekali. Korupsi
besar-besaran pun tak ada gunanya untuk dibahas, demonstrasi super akbar pun
terasa kecil bagi kami, apalagi banjir yang menggenangi sepanjang Kota
Semarang, sudah tentu tak ngefek sama sekali.
“Ras,”
sapanya, “ada sesuatu dari diriku yang kamu belum tahu.”
Aku
terkesiap dan menghentikan mengunyah bubur candil yang telah lumer.
“Apa?”
Bersambung
Episode 51…