Cerpen
Oleh Dodi
Saputra
Hari ini genap enam puluh delapan tahun
usia tanah ini. Jika ia seorang manusia, barangkali sudah tinggal menghitung
hari saja.
Hei, ada apa ini? mengapa kalian begitu
layu tak berseri? Bukankah mereka telah mengakrabimu dengan kerendahan hati?
Tanah tetap saja berdiam seribu bahasa.
Murung. Ia semakin panas dan bertambah-tambah. Sedari lahir, ternyata ia telah
disapih oleh mata air. Sebab, air kini telah menguning, berbau anyir, terkandung
cairan darah dari rahim manusia di atas sana. Tak jarang pula bercampur lumuran
kotoran sampah dari kota.
Pinggiran kota kali ini memang tidak
begitu asri. Tak sesegar aroma pucuk-pucuk ranum masa lalu. Dulu, hanya tegak
rumah kami bertiga yang ada. Sekeliling kami terhampar pohon-pohon hijau,
ladang-ladang jagung, berpuluh hektar sawah, kebun-kebun pengisi pagi hingga
senja hari. Perlahan mulai menggerah di siangnya, terlampau dingin untuk malam
musim hujan. Apalagi, hanya berdiri tiga rumah seadanya. Tanpa pagar, tiada
keangkuhan sedikit pun di luar atau di dalamnya. Keseharian dilalui begitu
saja. Terlihat masih berusaha menghijau merekah oleh lima belas penghuni dalam
tiga rumah. Mereka bercocok tanam, berkebun sayur-sayuran, palawija. Ternak
ayam di pekarangan belakang rumah terus menuai hasil lebih dari lainnya. Ayam
petelur dan ayam potong yang kerap mendatangkan suatu keniscayaan untuk
menghidupi istri dan anak-anak mereka. Sedikit memang. Hanya tiga kepala
keluarga dengan istri dan anak-anaknya.
Dahulunya
terhampar sawah yang berundak-undak. Dihidupkan dengan beternak. Kakek dan
nenek mengajarkan kami bertahan hidup. Sayang, itu tak bertahan lama. Sejak
nenek telah mangkat, Ibulah tempat kami bersanding, berlindung dari pahitnya hari-hari,
dan getirnya perjalanan nanti. Sama saja, hanya bertahan sebentar saja. Manusia
harus menemui kodratnya. Takdir
yang telah menggariskan catatan perjalanan hidup dan kapan mengakhirinya telah
ada di batang pohon yang daunnya tidak ada yang tahu kapan masanya akan gugur. Tiba
jua masa itu. Sungguh pilu.
Kini, anaknya harus mengurus rumah-rumah dan
sisa kebun yang hanya tinggal sepetak sawah di belakang rumah. Itulah aku dan
separuh napasku. Halaman depan rumah telah terhampar aspal, berasap ketika
siang menjelang, membayang wajah-wajah kakek, nenek, juga ibu di kepulannya.
Mereka hendak menggapaiku, aku turut menyertai memagut mereka. Percuma. Tetap
saja tak bisa. Tenanglah kau di alam sana, biarkan anak-anakmu ini yang
menghadang zaman penuh mesin itu. Kami tiada gentar demi tanah kita. Tanah
nenek moyang dahulu yang bersusah-susah mengurus restu dan telah mendapat
keterangan untuk hidup sepanjang umur di sana dari gubernur.
Tiga masa lelah berlalu sudah. Kami meniti
setiap larik palawija, menyiangi rerumput yang menjalar riang sesamanya,
memetik beberapa buah untuk direbus nanti siang. Juga persediaan malam yang
terkadang harus mengepulkan dapur-dapur kami di musim penghujan. Sebab, itulah
penawar dingin yang merasuk, demikianlah aroma dapur dari buah-buah yang kami
dapati siang ini. Suatu pemandangan yang baru-baru ini kami temui. Ayam-ayam
kami mulai gelisah melihat sejawatnya yang mati mendadak. Bukan hanya satu,
tapi berantai satu demi satu bergelimpangan setiap harinya. Penyakit apa ini?
aku tak mengerti. Inikah kutukan dari tangan-tangan tanah ini kepada kami yang
lupa diri. Tapi, apa yang telah aku lakukan pada ayam-ayam itu? Setiap hari
kami beri mereka makan dan minum, kubebaskan mereka mencari makan di kebun.
Senja hari mereka pulang berjamaah. Akur. Juga pada ternak kambing kami yang
sakit-sakitan. Ah, semakin sempit saja tanah ini. Hanya tinggal beberapa meter saja tanah
bebas di sini. Selebihnya semen-semen dan aspal pemusnah rerumputan yang
menghijau semasa kecil dulu. Bertubi-tubi masalah timbul di generasi ketiga
ini. Kami merindukanmu ibu,
ayah, kakek dan nenek tanpa keluh. Sungguh.
***
Terlintas olehku cerita malam itu, saat Ibu menidurkan kami. Ia bercerita tentang
masa kecilnya. Tahun seribu sembilan ratusan, gubernur menandatangani surat keterangan
kepemilikan tanah ini. Pertama kali diterima surat itu baik-baik oleh Nenek. Ia
begitu baik pada penduduk tanah ini. Satu
bulan sekali ia mendatangi rumah-rumah dan menyalami tangan-tangan kasar para
petani. Bukan hanya itu, banyak karung-karung beras dan lauk pauk yang beliau
bawa dari ibukota. Itu semua dibagikan di setiap rumah. Ditanyakan kabar kami
semua. Jika ada yang sakit, langsung diberikan obat penawarnya. Jika ada rumah
warga yang bocor, ia berikan beberapa lembar uang untuk membeli atap. Jika ada
yang tidak punya baju ganti, ia kumpulkan baju-baju dari tengah kota dan
diberikan kepada kami. Ia juga tak malu berjalan di pematang sawah, menilik
kemuning padi, memakan pemberian kami. Ya, buah-buah yang kami rawat dari hasil
perasan keringat itu, kami persembahkan untuknya. Ia memakan begitu saja layaknya
manusia biasa tanpa ada gengsi atau tinggi hati. Oh, sungguh mulia hatinya. Berbahagialah
hingga akhir hayatnya. Begitulah, banyak warga yang mendoakannya. Sayang, ia
tak berumur panjang.
Berlanjut pula waktu pada Ibu. Waktu
itu enam tahun usiaku. Kalimat yang digaungkan saat itu adalah yang disebut
pesta rakyat. Pemilihan umum para pejabat tanah ini, berjejeran foto-foto dengan senyum
manis dan wajahnya yang bersih. Bukan seperti wajah kami yang susah mengukir
senyum, apalagi sebersih di foto yang terpajang di depan rumah kami.
Kata-katanya sungguh indah, semua mengajak untuk memajukan kesejahteraan tanah
ini, membangun rencana besar, merubah tanah ini menjadi tanah yang lebih baik.
Demikianlah lebih kurang tertera jelas melekat
di sebelah nama mereka yang berpangkat-pangkat. Aku ikut Ibu menuju kotak suara
hingga menanti pengumuman hasil perolehan suara. Terpilihlah pasangan yang
ternyata gambar wajahnya ada di baliho besar depan rumah kami. Kami mulai
bahagia mendengar hal itu. Siapapun pemenangnya, yang penting bisa membawa perubahan lebih baik bagi tanah
ini. Demikian kalimat dari mulut Ibu yang masih kuingat sampai kini. Ibu tidak
sempat melihat alamku setelah itu, sebab Ibu telah mendahului kami. Melebur
dengan tanah. Menyubur dan menanti buah-buah yang merekah.
***
Masa mengabarkan bahwa akulah manusia terakhir
pewaris tanah ini. Lain generasi lain pula kompetisi. Akulah manusia zaman ini.
Tinggal bersama istri dan ketiga anaku. Juga dua rumah berhuni sepuluh kepala
di sebelah kami. Ada-ada saja ketidaknyamanan padaku. Apalagi menerima selembar
surat dari pejabat itu. Rumah kami minggu depan akan digusur. Begitu ujarnya.
Mengguntur di kepalaku.
Membentur di benakku.
Berdebur dalam dadaku. Sepanjang satu kilometer pejalan kaki sepertiku berlalu
lalang menyaksikan papan plang yang bertuliskan “tanah ini milik kota tua”.
Sebenarnya bukan itu yang kami takutkan,
melainkan surat peringatan yang telah terlayang satu pekan lalu. Berita
penggusuran. Pemimpin kota tua itu meminta tiga keluarga angkat kaki. Ada apa
ini? Bukankah tanah ini telah bersurat dari gubernur masa nenek dulu? Ataukah
pejabat baru tanah ini yang tidak tahu nasib kami? Oh, Tuhan, sungguh tak mungkin aku bertanya pada ibu
atau nenek. Aku hanya bisa berharap. Tolong tunjukkan hitam dan putih tanah
ini. Terlalu indah kami berpisah dengan tanah
ini. Terlalu cepat dibanding kepergian nenek dan ibu kami. Semoga mereka
merestui.
***
Pagi ini aku menuntaskan mengambil ketela
dan pucuk singkong di kebun belakang rumah hingga fajar menyingsing. Satu ikat
daun ubi, tiga ketela pohon telah kudapat dan satu karung sayuran untuk kujual nanti
sore. Dan tanah yang telah kusiangi dari rumput-rumput liar. Berjalanlah aku
dengan topi sawah di kepalaku. Siang ini sungguh terik, terpaksa kukerutkan
sedikit kening dan menekan sedikit alis menahan sinaran penguasa siang.
Mengucur jualah keringat dari kening, turun setibanya di rambut-rambut alis dan
jatuh setibanya di pipi kanan dan kiri. Ah, tak seperti biasanya keringatku
sebanyak ini. Ada
yang tidak beres dengan hari ini. Aku mulai tidak nyaman. Sebotol air dan bekal
dari rumah tadi setidaknya bisa mengganjal dahaga dan perut ini. Setengah hari telah berlalu, itu
mengisyaratkan padaku untuk segera pulang ke rumah. Ya, seperti hari-hari
biasa, kami menggelar sajadah dan berjamaah.
***
Tiga puluhan meter mendekati rumah,
alangkah terperanjatnya aku. Di sana, tepat di halaman rumah kami kulihat ibu-ibu
yang menggendong anaknya. Mereka menghadang ratusan aparat yang siap membobol
rumah. Sejenak kukenali salah satunya adalah istriku yang membawa balok-balok
kayu. Mudah saja menandainya. Ia yang berjilbab sedikit panjang hingga ke bawah
dada, berkaos kaki, dan bersarung tangan. Sementara anakku menangis ketakutan
dan memegang erat selendang yang terikat di dadanya. Zahid kecil hanya bisa
menangis dan terus menyembunyikan wajah di balik jilbab istriku.
“Aarrrggghhh.”
Suara jerit berhasil kuciptakan.
Aku mulai geram. Berlari sekencang yang aku bisa. Melompati bandar-bandar dan
putri malu yang durinya tak terasa lagi olehku. Melindungi istri dan anakku.
Sungguh istriku ini, wanita yang tangguh, gagah berani menghadang pasukan itu.
Tanpa mau menggangguku sedikitpun mencari nafkah di ladang gerah. Entah berapa
lama ia dan tetangga kami berdiri di hari yang terik ini. Aku yakin, tadi ia
sudah menyiapkan air untuk mandiku, menyiapkan sarung dan kopiah serta sajadah
kecil buat si Zahid yang lucu dan menggemaskan. Semua itu tertahan sudah oleh siang
yang menegangkan urat sarafku. Ada benarnya juga keringat yang jatuh di pipi
tadi. Di hadapan kami telah terpajang lima ratus kepala pemusnah, menghadang
dan mendekat bersama dua buldozer dan eskavator yang meraung-raung dan mengepul.
Siap meratakan bangunan dengan tanah. Padahal hanya lima belas orang saja yang
akan mereka hadapi. Ya, lima laki-laki paruh baya, lima ibu-ibu menyusui, dan
lima anak-anak yang beranjak remaja. Hanya itu.
Ketiga kepala keluarga, termasuk aku
mencoba mempertahankan rumah dari kekuatan mereka, buldozer dan eskavator. Mendorong
dengan sisa-sisa tenaga siang ini. Peluh yang tadi mengering, kembali
berlumuran bersama wajah, kulit yang memerah, dan otot-otot penat yang mengurat.
Usaha ini tak berbuah hasil. Aku mengambil ban dari sudut rumah dan
membakarnya. Sengaja kubuat agar mereka tak mendekat. Baru saja hidup api, puluhan
rentak sepatu berdatangan. Mereka menerjang, memukuli ban itu dan langsung memukulku
hingga berdarah. Darah mengucur dari kepala dan mengalir di kelopak mata.
Pandanganku mulai buyar, tak seimbang. Tapi masih tampak orang-orang yang
berdiri di sana. Syukur telingaku yang masih berfungsi normal.
“Hahaha... rasakan pukulan kami. Mau angkat
kaki atau berdarah-darah oleh kami, ha?” Salah seorang ketua rombongan itu dengan
santai menertawai kami.
Datanglah satu orang mencoba melerai, Fatah
ternyata. Suami Siti. Apalah
daya. Pasukan perata tanah terlalu kekar baginya. Terlalu tinggi kalau hanya
sekedar memukul kepalanya. Terlalu berat jika hanya ingin mendorongnya. Sekepal
tinju mendarat sudah di hidungnya. Darah tak diminta pun meleleh dengan
sendirinya. Hantaman pentungan-pentungan mendarat di kepalanya hingga bocor. Basahlah
rambut hitamnya dengan cucuran darah dari kulit kepala yang tercabik. Ia
terduduk mengaduh kesakitan. Luka memar pun bertambah saat tendangan menerjang
dahinya. Ia tersungkur mundur. Tendangan
dari kaki bersepatu super keras melesat di dada mudanya. Tumbang dan terbuang bersama
pagar yang menjulang. Rebah dan tiada daya. Hanya mata yang setengah redup,
setengah menyala menahan lintasan darah dari keningnya sambil menggapai-gapai
bersama lima jari tangannya. Terlalu
banyak darah yang mengucur di dahi, menamatkan riwayat suami Siti.
Kaki yang sedari tadi mencoba menopang
raga itu, akhirnya menyerah jua dan tumbang untuk kedua kalinya. Kini, aku
meronta dalam dada menyaksikan rumah dan kandang ternak digusur, dibakar di
hadapan kami, diberi garis kuning pembatas pertanda api lilin kehidupan telah
ditutup erat oleh setangkup gelas putih tapi mematikan setiap kehidupan di
dalamnya. Bahkan binatang-binatang kecil pun menyertai kematian nurani peminum
kekuasaan di tanah itu.
“Kamu tahu tidak? Ini perintah
pimpinan, harus dilaksanakan!”
“Ya,
kami tahu itu perintah pimpinan, tapi lihatlah mereka yang di sana, mereka
menangis, mengiba, hanya bisa memohon pada Tuhannya. Tanpa tahu kapan dan di mana akan berteduh dari muntahan penguasa
siang dan hembusan angin malam yang menusuk tulang mereka setiap hari. Apa
kalian merasakan hal itu, hah?” Emosiku meledak sesaat.
Seharusnya aku mengucap berkali-kali
agar setan tidak menguasai pikiranku. Terus aku menggeleng. Demi perintah
atasan, mereka rela diperintah. Mau saja
menuruti kemauan tuannya. Perintah Tuhannya bagaimana? Manusia telah jauh
ditakuti daripada perintah tuhannya sendiri. Bukankah Tuhan mengajarkan kepada
makhluknya untuk saling berkasih sayang. Sekarang, dimana kasih sayang itu?
Malahan yang ada hanya perpecahan silih berganti. Kami yang selalu membasuh
telapak tangan hingga kaki, rutin lima kali sehari, juga membaca kalam-kalam
yang tersurat dari pendahulu kami. Akur sesama kami. Kini kami, tiga keluarga
menanti keadilan di tenda pembaringan. Baiklah, boleh jadi di pengadilan dunia
kami kalah, tapi nanti lihatlah pengadilan yang sesungguhnya. Lihatlah!
***
Ayam pun bermenung melihat sesamanya,
bulu-bulunya kisut, tampak kulit-kulit kemerahan di sela bulunya. Melihat
kandangnya hancur di lalap jago merah. Aku dan keluargaku, kami yang ada di
tenda ini harus banyak-banyak belajar bersabar. Sadar dengan hidup yang hanya
sebentar lagi. Sisa umur juga tidak ada yang pasti. Tidak ada yang tahu kapan
ajal menjelang. Tua, muda, kecil, dewasa, laki-laki, wanita semua pasti
menemui. Akankah mereka tetap menutup mata dan terus tertawa di atas ratapan
orang-orang kecil? Tanah ini juga masih mau menerima kehadirannya. Untung saja
tanah ini masih berbaik hati, sebab jika tidak, tanah ini tidak segan-segan
meluapkan kemarahannya, menggoncang sekuat-kuatnya, menyemburkan api yang
menyala-nyala dari dalam perutnya, ia buka mulutnya lebar-lebar dan langsung
dengan mudah menelan setiap yang memijaknya. Oh, sungguh mengerikan suasana
kala itu nanti.
Bisa saja detik ini mereka berjaya
dengan deruan mesin-mesin di tangannya. Sesuka hati memeras keringat tanpa tahu
berucap terima kasih pada leluhur mereka. Bukan mengharap imbalan atau apa pun
namanya, melainkan mulut mereka yang telah disumpali gemerlap tanah ini. Aku
menguatkan kaki, menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
Terasa aliran air mengguyur wajah hingga telapak kaki. Barangkali sedang
mengeja hari-hari para peladang yang terbuang oleh hentakan mesin-mesin ilusi
masa ini.
Aku menghilang bersama mereka dan tak
akan kembali di dunia penuh sesak ini. Tanah
kota tua yang kami pijaki selama ini akan berpindah dan tampak indah. Suatu
saat nanti, di tanah yang berbeda di masa yang berbeda, kita akan temukan
tanah-tanah lapang. Di sana kita bisa menghirup udara segar sebebas-bebasnya,
memetik buah dari hasil panen kita, meminum mata air yang memancar dari bukit-bukit,
membuat rumah-rumah. Rumah yang kekal selama-lamanya. (Padang, 2013)
______________________________
Dodi Saputra. Lahir di Mahakarya,
25 September 1990, Pasaman
Barat, Sumatera Barat.
Mahasiswa Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat. Menulis cerpen, cerber,
opini, puisi, essai, berita,
resensi dan novel. Tulisannya
dimuat di Harian Umum Independen Singgalang,
Harian
Umum
Rakyat Sumbar, Harian Umum Haluan, Lampung Post, Riau Pos,
dan
Radar Bromo. Kini
bergiat di Forum Lingkar Pena Sumatera Barat dan
Sanggar Menulis Rumahkayu Padang.