Puisi
Kaca;
Mata, Indonesia
Masih kuingat harum tubuhmu
Meretaskan merah dan putih
Melilit erat diranting-ranting langit
Yang mengibaskan wewangian pijaran
rindu di dadaku
Bu,
Kulihat tubuhmu yang renta
Pijak
kaki yang dulu tegar
Tak
lagi kulihat rapat
Setelah lewat 45 tahun lalu
Doa doamu adalah sabda
Ketika ibu bercocok tanam siang malam
Berjibaku bambu runcing dan ribuan
misil berkecambah
Menjadi tumbuhan keramat para
peziarah
Bu,
Di sini engkau berdiri tegak
Saat kau ajari aku menapak langit
Merangkaki luas samudera
Lalu kau menancapkannya di dadaku
Saat aku terlahir dari rahimmu
Tapi, ibu
Adalah catatan kecil yang tercuri
waktu,
Yang terkemas rapi: dirak-rak buku
Menjadikanmu dongeng-dongen sebelum
tidur
Sajak kusam yang tak pernah tuntas
aku baca
Entah berapa lama hukum alam terus
terlacuri
Dan ibu kehilangan mimpi
Dari kesuciannya
Bu,
Dongen apalagi yang akan engkau
ceritakan
Dari sabang hingga merauke tak habis
habis terkebiri
Hingga larut bersisa kelam
Dan pagi menjadi benalu dari mimpi
tidurku
Kini harum tubuhmu tak semerbak dahulu
Ulat dan belatung mendaurnya
Melenyapkan sabda luhurmu
Ketika kuingat kau sudah tak suci
Lalu kulihat butir-butir menjadi sampah
Hukum-hukum jadi basi
Dan hakim murni benar salah menjadi
lumrah
Sedang ibu tetap saja membisu batu
Bu,
Masihkah kau dengar jeritan panjang
ditepian kolom
Titisan rahimmu yang kau tinggal
Hasil cerita yang terlacuri ribuan
kali
Ketika namamu kusebut
Berulang-brulang, indonesia
Bragung, 2013
Giwang
Selaka
:buat dana zuni arsih aristiani
Sayang, andai engkau mau
Bisa saja kulumuti tubuhmu dengan
giwang selaka
Kurasupi benang suci dari kota mimpi
Pintalan sutera terindah dari
rinduku.
Masehi kini berlalu
Musim-musim tak pernah letih aku eja
Hingga sunyi mengirimkan nyanyian
rindu
Pada sungai bibirmu yang mengalir
Matahari memeluk senja ke kamar
kesenyapan.
Dan aku terperangkap
Oleh mahram yang kubuat
Menitipkan pelangi melingkari
matahari
Menata garis jemari pada setangkai
janur kuning
Hingga malaikat sangsi mengenalmu.
Ada surat cinta dari tuhan
Saat musim-musim berguguran
Menyegarkan bunga-bunga kasturi
Bersemi pada setangkai embun
Yang hinggap dibibirmu
Sayang, langit lindab pada tiang
kesenyapan
Sesekali melupai waktu
Angin membawa lari sebagian hasratku
Ketika kandas sebelum suramadu.
Waktu makin menawarkan gelisah
Bahkan kita telah kecurian hari
Seperti hari yang kita lipat
Menjadi bingkisan bulan madu
Kado terindah dari tuhan.
Bragung, 2013
Karang
Dalam Debu
Tulislah namamu seindah pelangi
Hingga angin dan burung mengepakkan
sayapnya
Biar matahari membaca ceritamu dalam debu
Meniupkan kepedihan kesetiap blukar
Lalu aku hitung berapa usia hari
Yang kau biarkan lusuh
Kau menumbui lautan air mata bermuka durja
Menjejali krikil-krikil tajam
Yang kau tabur pada limbah
Diantara tebing-tebing
Purnama menyelinap
Bayang ranjamu mewakili suara angin
Membisikan kidung sendu
Dan deru ombak mengikis karang jiwa
Yang kau bangun dengan kebohongan
Kudengar hujan menitipkan rahasia pada
kesunyian
Saat kubawa menepi dalam senyummu
Sebelum jendela menutup kembali keceriaan
Saat tebing mulai membuka cahaya
Menumbuhkan ribuan bunga
Berbicara
diantara rerantingan
Puisi yang kutulis
Mewakili sabda tuhan
Yang kubawa dari cerita pagi
Yang menancapkan selembar keindahan
Pada makna kekosongan
Makhluk kecil yang bernama cinta
Bangun dari tidur sunyi
Dan gurindam suara ketipung
Mengusik rinduku
Terbenam diantara jalan kesetiaan:
Karang dalam debu
Bragung, 2013
Enga’
Sabdamu bermukim dalam gerimis
Lima malaikat berjubah biru
Membawa sayap sejuk pada jiwa
Nafas belantara merangkum
ribuan makna
Diantara malaikat sunyi
Yang membawa firman dalam sujud
Suara tanpa rupa: dunia fana, pencarian
pada ujung semedi
Taqlid yang kutemui semu
Jarak sempit gelap kebodohan
Pulau kosong serupa keyakinan
Yang kita temui pada nafas angin
Bacaan suci berupa
Serupa warna,
Serupa kajian,
Serupa huruf
Dan juga bentuk
Wujud dalam bangunan
Iqro’ yang lenyap dalam raksa
Hanya kuingat kasrah pemulaan bismillah
Fathah awal syahadat: islam agamaku
Saat alquran melahirkan ribuan adam
Cerita hukum dan sejarah yang kuanut
Ketika muhammad cahaya langit
Sebelum bumi menerangi upuk
Pada iqro’ yang kugali
Shalawat-shalawat mengiringi firman
Langit menggelayut kealtar sunyi
Menghantarkan dzikir pada tahyat
Rokaat yang kau panggil
Yang dibawa tuhan ke negeri surga
Riwayat yang kita tanam
Dari inna keinna
Menculas cahaya dalam kabut; barisan dosa
pahala menjadi mesteri
Bragung, 2013
Fathurrahman
Jasuli,
lahir di Bragung Sumenep Madura, 17 Juni 1987. Puisi-puisinya pernah dimuat di Buleti
QhaLam, Virlian, dan beberapa naskah teater: Negeri Di Balik Tirai, Carok
(Teater Akura Pamekasan) dalam pemintasan acara Komunitas Teater Pamekasan (2009), kini alumni dewan penasehat teater AKURA Unira, Universitas Madura, Pamekasan.