Oleh
Fitria Zulfa
Judul buku :
Melawan Takluk! Perlawanan dari Penjara Century
Penulis :
Mukhamad Misbakhun
Penerbit :
Evolitera, Jakarta
Cetakan :
Pertama, 2012
Tebal buku : 176
halaman
Harga buku :
35.000,-
DUA tahun lalu, ketika kasus bail out Bank Century
heboh dibicarakan di media, tiba-tiba publik dikejutkan berita “miring” tentang
penahanan Misbakhun yang dituduh memiliki letter of credit (LC) di Bank Century.
Padahal, kala itu Misbakhun termasuk anggota DPR yang getol menuntut penuntasan
kasus Century. Bahkan, politisi kelahiran Pasuruan Jawa Timur itu termasuk salah
satu inisiator pansus Century di DPR.
Publik pun heran. Bagaimana Misbakhun yang getol
menuntut penuntasan kasus Bank Century justru jadi tertuduh? Ironisnya, proses
penahanan terhadap Misbakhun terbilang cepat. Dalam waktu dekat, dia
dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan melakukan pemalsuan letter of
credit (LC).
Pada waktu itu, berita yang beredar cenderung menempatkan
Misbakhun pada posisi salah. Dua tahun, Misbakhun menjalani hidup di balik
jeruji besi. Tapi, Misbakhun tidak tinggal diam. Dia melawan, berjuang untuk tak
takluk atau lemah --melawan segala bentuk kedhaliman dan ketidakadilan yang
menimpa dirinya. Sebab, di balik pemenjaraan dirinya, dia merasa telah
diperlakukan tidak adil. Dia melihat ada drama besar yang diskenariokan oleh
kekuasaan.
Melalui buku Melawan Takluk! Perlawanan dari Penjara
Century ini, “skenario” di balik pemenjaraan itu diungkap oleh Misbakhun dengan
tanpa tedeng aling-aling. Dia menceritakan bagaimana proses awal ketika dia dipanggil
ke Bareskrim (kepolisian) lantaran dituduh telah melakukan kejahatan perbankan
–lebih tepatnya pemalsuan letter of credit (LC). Penggunaan LC bodong istilah
awam perbankan.
Di Bareskrim itu, Misbakhun menceritakan bagaimana dia
diperiksa hingga larut malam dan kemudian disodori surat penangkapan. Bahkan,
dia diminta menandatangani surat tersebut. Misbakhun yang merasa tuduhan itu tak
berdasar menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Sebab, dia merasa tak
melakukan apa yang dituduhkan. Tetapi, pihak kepolisian tetap meminta Misbakhun
tanda tangan. Desakan itu membuat Misbakhun tidak bisa berbuat banyak. Hingga akhirnya
dia bersedia menandatangani alasan penangkapan dirinya itu diubah: ditahan
karena saya melawan Susilo Bambang Yudhoyono [SBY] (hlm. 17).
Polisi tidak keberatan. Maka, sejak 26 April 2010, dia
resmi ditahan. Setelah dijebloskan ke penjara, Misbakhun dikira diam, tak
berkutik. Tapi yang terjadi sebaliknya. Dia melawan sebab diperlakukan tak
adil. Dia melihat proses hukum yang dia jalani penuh kejanggalan. Pertama, dia tiba-tiba
ditahan tanpa adanya pemeriksanaan terlebih dulu secara komprehensif --karena
selama ditahan hanya diperiksa satu kali.
Kedua, pasal yang didakwakan pada Misbakun adalah
pasal 263 dan 264 UU Perbankan. Tapi anehnya, Misbakhun tak pernah ditanya soal
pemalsuan dokumen, sementara dia dituduh memalsukan dokumen. Padahal, menurut
Misbakhun, dokumen yang dituduhkan itu dokumen yang dibuat bank. Fakta-faktanya
ada. Tidak salah, kalau Misbakhun bertanya, "Mengapa saya yang mendapat
dakwaan pemalsuan?" (hlm. 74). Jadi, rentetan itu menjadi timpang;
kasusnya lain, tuduhannya lain dan bahkan hukumannya pun lain. Dari awal memang
diskenariokan bagaimana Misbakhun dibuat seolah bersalah. Sebab menurut
Misbakhun, tujuan pemenjaraan dirinya itu hanya satu; bagaimana mendelegitimasi
validitas kasus century (hlm. 165).
Tapi, Misbakhun tak mau menyerah. Dia melawan! Setelah
dipenjara selama dua tahun, akhirnya dalam proses Peninjauan Kembali, MA
menyatakan Misbakhun tak bersalah; terbebas dari segala macam tuduhan. MA juga memerintahkan
agar harkat, martabat, dan kedudukan Misbakhun dikembalikan. Tetapi bagi
Misbakhun, pengabulan PK itu baru awal tersingkapnya sebuah konspirasi besar
nun dahsyat yang dimainkan kekuasaan. Dia sadar bahwa semua itu adalah awal
dari perjuangan panjang yang hendak dia tempuh. Sebab, Misbakhun yakin, pada
saatnya nanti, kebenaran itu akan terungkap!
Dari buku ini, pembaca tidak saja disuguhi catatan
kontemplatif Misbakhun bagaimana dia menjalani kehidupan di balik penjara tapi
juga pelajaran dan hikmah yang didapatkan oleh Misbakhun di balik jeruji besi.
Penjara ternyata tidak membungkam keberanian Misbakhun, sekeluar penjara dia
masih tetap lantang dan kritis. Dia tidak "mati" setelah keluar dari
penjara, dan bahkan berniat melawan ketidakadilan yang pernah dituduhkan
kepadanya. Tak salah, jika buku ini memotret bagaimana ketegaran Misbakhun
tetap terjaga bahkan dia tidak merasa dendam meski dijungkalkan dari jabatan,
dan dijebloskan ke penjara.
Dalam prespektif yang lebih luas, buku ini
menggambarkan dengan jelas bahwa keadilan di negeri ini merupakan barang antik,
yang sulit didapatkan. Kalau ada, harganya mahal. Sebab, penguasa bisa saja
menjebloskan lawan politik yang dianggap kritis, lantang dan bahkan berniat
melawan. Kendati demikian, dengan pengabulan PK Misbakhun, buku ini memberikan
secercah harapan; keadilan dan kebenaran tidak akan bisa dibungkam selamanya.
Fitria Zulfa, alumnus Fak.
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta