Oleh Abdul Aziz Rasjid
Pernah
aku membayangkan, di dalam kamar sempit yang menjadi ruang luas bagi bergumul-bergulatnya
imajinasi, seorang penyair bernama Nirdawat, tekun merangkai dawat hitam kata-kata
dari puak kegelisahan. Pada waktu senja mulai menyepuhkan samar sinarnya pada
segala hal di luar rumah, Nirdawat melakukan serangkaian pembacaan ulang
sembari menimbang bunyi dan diksi ―mungkin juga nyanyi, sebelum mencoret
baris-baris puisinya dengan sehimpun rasa kesal.
Kerap
pula aku menduga-duga: di malam hari, Nirdawat akan membakar puisinya,
mengeluhkan keadaan dengan rasa nyeri yang ia tanggung sendiri. Di satu sisi,
ia dihadapkan pada kenyataan bahwa kata-kata tak seratus persen dapat menjadi
transkripsi sebuah momen aktual (testimoni) sekaligus interpretasi (kognisi) atas
realitas yang tak sepenuhnya tembus pandang. Di lain sisi, ia tak dapat
menampik bahwa status puisi dari pra sampai pasca penciptaan bisa saja lempang-tertunda-bahkan
gagal sebab dalam proses penjadiannya, puisi tak dapat dielakkan tergantung
pada manusia yang punya alam pikiran dan suasana hati berlapis, juga sialnya kerap
berubah-ubah.
Dari
membaca salah satu surat Chairil Anwar kepada H.B Jassin misalnya (terkumpul
dalam Aku Ini Binatang Jalang.
Cet-21. 2009), aku mendapati fakta bahwa penyair yang di masa silam menyarankan
untuk menulis puisi sampai ke putih sunsum tulang ini, dalam perjalanannya di
Jawa Timur pada 11 Maret 1944 pernah mengeluh tentang nasib buruk manusia
(penyair) yang terkungkung pada labirin pikiran dan emosi yang secara mutlak tak
lagi dapat sepenuhnya dijadikan kompas untuk memahami identitas. “Jassin, Kubaca sajak-sajakku semua. Kesal
aku, sekesalnya…, jiwaku tiap menit bertukar warna, sehingga tak tahu aku apa
aku sebenarnya…” (hlm. 97). Begitulah, surat Chairil ditulis dari posisi penyair
sebagai subjek yang mengalami kekaburan mengenal “aku”, justru ketika ia
sebagai pencipta menengok kembali kediriannya lewat objek ciptaannya (puisi).
Dalam
konteks itulah, puisi yang idealnya menguarkan tanggapan si penyair terhadap
sesuatu pada suatu waktu, berpotensi gagal memenuhi nubuatnya sendiri dalam
waktu yang terus bergerak maju. Karena itu, bolehlah kita menerima dengan wajar,
bila Chairil kerap mengubah puisi-puisi yang ia tulis: dari merevisi, menggabungkan,
mungkin pula menyesuaikan dengan perkembangan-perkembangan pengalaman
subjektifnya dalam mereguk tuntas kehidupan zamannya. Tapi kita pun tetap
berkesempatan mencoba menelusuri suatu gejala mengapa puisi tak memiliki
kehadiran yang ajeg dan stabil di mata seorang penyair yang alam pikirannya
terus berkembang. Dan aku kira, puisi bertajuk “Diponegoro” (ditulis pada
Februari 1943), punya kisah yang menarik untuk menjelaskan perihal ini.
Bila
banyak pembaca mengaitkan antara puisi “Diponegoro” dengan keberhasilan Chairil
menggambarkan biografi perlawanan rakyat terhadap kolonialisme yang menyatu dengan
perhatian seorang penyair terhadap perjuangan anak bangsa “…lawan banyaknya seratus kali/ Pedang di kanan, keris di kiri/
Berselempang semangat yang tak bisa mati”. Surat Charil pada Jassin yang
bertanda tanggal 10 Maret 1944, justru berbicara tentang episode dari hidup
seorang penyair yang enggan atau telah merasa “gagal” menulis sajak berunsur kepahlawanan:
“Jassin, Begini keadaan jiwaku sekarang,
untuk menulis sajak keperwiraan seperti “Diponegoro” tidak lagi. Menurut
oom-ku, sajak itu pun tidak baik!” (ibid. hlm. 96).
Keengganan
Chairil menulis puisi berunsur kepahlawanan, jika kita kaitkan dengan kata-kata
Chairil sendiri jelas terpengaruh oleh kesertaan penilaian orang lain, yang ia
sebut sebagai oom-ku. Mengingat riwayat
Chairil, mungkin saja yang dimaksud oom-ku
adalah Sutan Sjahrir (1909-1966), perdana menteri Indonesia pertama yang punya pertalian
keluarga dengan penyair pelopor angkatan 45 ini. Mungkin saja, isi kritik yang diungkapkan oleh Sjahrir tak
jauh berbeda dengan pembacaan Arief Budiman terhadap puisi-puisi Charil yang menurutnya
baru bicara tentang kemerdekaan dalam arti bebas
dari, bukan atau belum jelas dia bicara tentang kemerdekaan dalam arti bebas untuk (Chairil Anwar Sebuah Pertemuan. 2007. hlm. 29). Kita pun tahu,
Sjahrir punya pandangan bahwa kemerdekaan bukan tujuan akhir, kemerdekaan
nasional tidaklah final, tujuan akhir perjuangan politik adalah terbukanya
ruang bagi rakyat untuk merealisasi dirinya, untuk memunculkan bakatnya secara
bebas. Tentu saja puisi “Diponegoro” belum mencapai pemikiran yang diharapkan
Sjahrir itu, sebab Chairil baru bicara tentang gelora perjuaangan rakyat terlepas
dari kolonialisme Belanda.
Disebabkan
terpengaruh oleh dugaan kritik Sjahrir itulah, timbul asumsi, bahwa mekanisme Chairil menimbang
kembali nilai puisi yang telah ia tulis bukan seratus persen berpangkal dari
capaian pikiran yang bersifat mandiri melainkan dipengaruhi oleh wacana
seseorang bahkan mungkin dimainkan oleh kekuasaan, kelompok sosial lewat media
(buku, surat kabar, komunitas, pendidikan) tertentu sebelum dilestarikan
terhadap penyair yang lain. Dalam situasi ini, penyair lalu mem/mereproduksi
wacana ganda, yang dibawa dalam karya sastra dan bergerak di luar karya sastra.
Dalam sejarah sastra (berbahasa) Indonesia, kita tahu, wacana ganda semacam ini
pernah bergerak dalam rupa perseteruan literer antara “realisme sosial” dan
“humanisme universal” yang memuat kepentingan-kepentingan ideologis sekaligus
politis.
Nirdawat,
meski ia seorang penyair yang waktu kelahirannya punya jarak cukup panjang
dengan masa ketika perseteruan literer pada akhirnya menyisakan kisah totaliter
bahkan represi, tetap tak menutup kemungkinan ikut terombang-ambing oleh dua
konsepsi yang menjadi pangkal perseteruan. Di satu sisi, Nirdawat tahu,
perseteruan literer itu telah membuat realitas yang ada dalam karya sastra
menjadi terkucil, sebab pengklaiman bahwa sebuah karya yang merefleksikan
situasi aktual atau mewakili suara kemanusian lebih ditentukan oleh
standarisasi-standarisasi tertentu yang disusun oleh kelompok-kelompok yang
memenangkan pertarungan gagasan dan selanjutnya memiliki kuasa untuk
mendominasi gagasan. Di sisi lain Nirdawat juga mulai mengerti, ketika ia mencoret-coret
puisinya, perseteruan literer berhasil meyakinkannya bahwa tak ada puisi yang
lahir dari puak kata-kata murni.
Nirdawat
pun mulai mengidentifikasi kepenyairannya dengan melakukan kritik terhadap alam
pikirnya sendiri. Dalam usahanya itu, Nirdawat memang baru sampai pada beberapa
kemungkinan. Toh, Nirdawat memang senyampang cerita dari kemungkinan patologi seorang
penyair di Indonesia.
Abdul Aziz Rasjid,
Esais. Tinggal di Bantarsari, Cilacap