Oleh Khoirul Anwar Afa
Sejak awal abad 15 hingga pertengahan abad 20 (kurang lebih 4,5 abad), bumi putera Indonesia dikeruk habis-habisan
oleh bangsa asing. Saat itu, Indonesia dikenal oleh dunia sebagai negara yang
banyak memiliki hasil bumi berupa rempah-rempah yang sangat mahal, setara
dengan harga emas. Menghasilkan
minyak bumi terbanyak hingga mampu memenuhi kebutuhan minyak dunia bahkan
melebihi kebutuhan sampai harus dibakar tanpa guna setiap tahunnya.
Terlebih
saat dimulainya tanampaksa hingga berakhir di tahun 1877, yang disuburkan oleh
air mata, keringat, ratap-tangis
dan darah pribumi, yang, ketika sampai
di negara penjajah (Nederland) segera berubah menjadi air madu surga di sana.
Jutaan demi jutaan gulden mengalir ke dalam kas negara penjajah seperti air
kehidupan menggerakkan kembali perdagangan, pelayaran, dan industri yang hampir
beku.
Negara
penjajah saat itu menjadi sangat kaya raya, sampai 800 juta gulden uang yang
tersisa dalam anggaran negara Nederland berasal dari kekayaan Indonesia.
Pengerukan itu tidak berakhir sampai di situ saja, namun secara terus-menerus selalu
mengalami kenaikan.
Saat itu rakyat Indonesia memang sangat giat
bercocok tanam, mengubah sawah-sawah mereka menjadi kebun-kebun kopi, tebu,
nila dan tembakau. Bahkan, hutan-hutan ditebang dan tanah-tanah gundul dibalik.
Dengan jerih payah rakyat, melimpah ruahlah hasil
kekayaan bumi Indonesia. Namun, semua itu tidak dirasakan oleh rakyat. Nasib
mereka tidak semakin membaik. Kelaparan di mana-mana.
Sampai
saat ini pun, peristiwa itu tidaklah jauh ubahnya. Kolonialisme arogan merampas
hak-hak rakyat dengan nyata memang tidak ada. Tetapi, kapitalismenya masih ada hingga
membuat kemakmuran bumi putera semakin jauh. Semestinya dengan kondisi bumi
yang subur mampu menghasilkan tanaman yang melimpah.
Namun
kenyataan yang ada justru terbalik,
negara Indonesia yang luasnya mencapai 1.919.440
km², dengan kualitas tanah yang
subur, masih tidak mampu memenuhi kebutuhan sendiri dari hasil bumi. Semua hasil bumi yang menjadi
kebutuhan pokok rakyat terus bergantung pada komoditi impor. Indonesia dijuluki
negara agraris yang tidak mampu berdiri sendiri.
Keberadaan dan operasional PT
Freeport Indonesia sejak 1967 hingga kini tak ubahnya mesin pencetak uang bagi
perusahaan induknya, yakni Freeport McMoran di Amerika Serikat. Tambang emas
Indonesia yang tercatat sebagai tambang terbesar dunia tidak memberikankesejahteraan
bagi rakyat Indonesia.
Begitu selamanya yang terjadi di negara kita.
Membeli kebutuhan turahan dari negara orang demi memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Jika disadari, sebenarnya masyarakat hanya sebagai konsumen barang turahan.
Tetapi, mereka semua tidak menghiraukan hal itu. Karena, saking tidak
berdayanya kemampuan untuk mendapatkan kebutuhan pokok tersebut.
Itu sama saja dengan kondisi Indonesia pada
saat menjadi negara jajahan. Yang harus susah payah mendapatkan bahan makanan
sehari-hari. Dan terpaksa memakan makanan basi yang disediakan oleh penjajah,
yang tidak ada nilai sehatnya, bahkan hanya menimbulkan penderitaan rakyat.
Jika itu kenyataannya, Indonesia belum pantas
disebut negara merdeka. Karena penderitaan masyarakat terhadap bahan pangan
masih saja meledak. Secara rasional, mengentaskan masyarakat dari bahan pangan
saja masih tidak pecus, bagaimana mampu bersaing di dunia internasional? Falsafah kemerdekaan hanya menjadi kenangan,
dan tidak lain hanya dokumen pejuang-pejuang dulu. Pemerintah sekarang jauh
dari harapan. Karena warisan orde baru menyebabkan terciptanya tradisi korupsi
di negara kita. Sehingga penderitaan berkepanjangan mencekik leher rakyat. Untuk
itu rakyat dan pemerintah segera harus sadar dan bertindak lebih cerdas lagi,
agar segera mampu memisahkan Indonesia dengan huru-hara yang pelik ini.
Khoirul
Anwar Afa, mahasiswa Perguruan Tinggi
Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta, dan Pegiat di Al-Kitabah Pamulang,
Tangsel