Jepara-WAWASANews.com
Ibu-ibu sibuk memilih bunga di Pasar Sukodono Foto: WAWASANews.com/Badri |
Ada yang unik tiap
Ramadhan hendak usai di Desa Sukodono, Tahunan, Jepara. Selain masyarakat di
sana mengakhirkan hari raya se-hari dari pengumuman resmi pemerintah, ada
tradisi membeli bunga untuk nyadran (ziarah ke makam leluhur) hingga ratusan
ribu, sekali transaksi.
Pagi buta, Noor (47),
berangkat dari rumah membawa 2 kilogram bunga Kenanga dan Puluhan ikat bunga
Tlasih ke Sukodono. Noor mengaku sehari-hari berprofesi sebagai penjual kain
keliling. Namun, pada Rabu (7/08/2013), ia mencoba mencari peruntungan sehari
sebagai penjual bunga. Modal 75 ribu ia belanjakan bunga Tlasih. Sementara
bunga Kenanga ia unduh sendiri dari kebun depan rumah.
Sukodono dipilih Noor
karena daya beli masyarakatnya terhitung tinggi di akhir Ramadhan. “Di sini
harga bunga Tlasih bisa tiga kali lipat tempat lain, Mas. Bunga Kenanga malah
bisa 10 kali lipat harga normal di luar Ramadhan,” katanya.
Benar juga, harga satu
unting bunga Tlaseh bisa mencapai Rp. 7.500,- sementara bunga Kenanga per
sepuluh biji arganya Rp. 15.000-20.000,-. Harga bunga menjelang lebaran di Sukodono
hampir menyamai harga kebutuhan pokok.
Menurut Koko (28), pemuda yang
ketika itu mengantar Ibunya membeli bunga di Pasar bunga dadakan, mengatakan,
masyarakat Kodono banyak menganut paham Aboge yang masih memiliki tradisi
hormat leluhur tingkat tinggi. “Satu keluarga menyiapkan uang ratusan ribu
untuk membeli bunga,” ujarnya.
Bunga yang dibeli oleh
mereka harus benar-benar terjaga kualitasnya. Ibu-ibu yang mengerubungi Noor ternyata
sibuk memilih bunga Kenanga yang segar dan utuh tangkainya. Bunga Kenanga yang
tangkainya putus satu, tidak diminani pembeli. “Yang dicari tangkainya harus
utuh enam pasang, Mas,” terang Koko.
Inilah yang menguntungkan
para penjual bunga. Berapapun harganya, kalau tangkai Kenanga yang dijual masih
utuh, akan diserbu pembeli. Menurut Koko, kualitas dipilih karena bunga akan
digunakan untuk tabur makam para leluhur yang sudah habis do’a, yakni yang
wafatnya sudah lebih dari 1.000 hari. “Mengirim do’a serta bunga kepada
orangtua harus yang baik dan berkualitas kan, Mas?” tanya Koko yang sebetulnya
menjelaskan.
Leluhur yang sudah
meninggal puluhan tahun lalu, yang makamnya masih terjaga, namun anak-anaknya
sudah meninggal semua, harus dikirim bunga walau jarang dikirim do’a. Tradisi
ini, kata beberapa ibu pemborong bunga, sebagai bagian dari Birrul Walidain
(berbakti kepada orangtua).
“Saya membeli puluhan ikat
Tlaseh ini untuk nyadran 30-an kuburan mbah buyut, mbah canggah dan
saudara-saudara-saudaranya yang sudah meninggal ratusan tahun lalu, yang tidak
pernah sezaman. Saya tidak eman mas karena ini hanya setahun sekali dan ini
sebagai bukti kalau saya berbakti kepada mereka,” kata Lastri, salah satu warga
sekitar.
Lastri, ibu tua berbadan
tambun tersebut membutuhkan waktu setengah hari untuk menyelesaikan tabur
bunga. Akunya, kirim doa semisal membacakan Yasin dan Tahlil kepada leluhur
dilakukan sekali, dikirim bareng kepada arwah para leluhur yang berbeda, namun
tabur bunganya dilakukan satu-satu per satu tiap makam. “Kalau per makam kita
baca Yasin, baru rampung tiga hari, Mas” katanya.
Kenangan dan Tlaseh lebih
dipilih sebagai bunga nyadran warga Kodono karena keduanya lebih tahan, tidak
mudah layu ditaruh di atas makam. Harapannya, bunga-bunga itu akan mendo’akan
empunya makam di alam baka menjelang Idul Fitri tiba, sebelum kering dan layu,
sebagaimana kata Nabi Muhammad SAW: bahwa bunga yang ditabur di atas makam tak
akan berhenti mendoakan mayit hingga ia layu. Demikian kata sesepuh warga yang
ditanya di sekitar pasar bunga dadakan Kodono.
Noor, penjual bunga itu,
pandai memanfaatkan momentum dan kepercayaan warga Kodono yang baru menerima
Islam (dari Budha) 20-an tahun itu. Dari habis Shubuh hingga jam 8 pagi, Noor
mencapai omset Rp. 850 ribu dari Tradisi Nyadran Seribu Bunga warga Kodono,
Jepara. (Badri)