Oleh Mirawati
Uniang
Untuk pertama kalinya Indonesia didaulat menjadi tuan rumah penyelenggaraan
kontes kecantikan Miss World yang ke-63. Sayang, perhelatan ratu kecantikan
sejagat itu menuai pro dan kontra serta memantik pertikaian horizontal dan
vertikal.
Sempat menggelinding bagai
bola liar, kemudian mengendap, lalu kini mencuat kembali menyusul keluarnya keputusan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
melarang penyelenggaraan kontes kecantikan tersebut. Bahkan Front Pembela Islam
(FPI) juga mengeluarkan ancaman akan melakukan demo besar-besaran jika panitia
tetap menyelenggarakan kontes kecantikan yang akan diikuti perwakilan 130 negara
itu.
Di tengah derasnya
penolakan, Minggu (8/9) pembukaan yang berlangsung di Nusa Dua Bali terlihat
meriah dan dihadiri sejumlah pesohor negeri ini. Cuma, seperti yang dikatakan
Menko Kesra Agung Laksono, acara puncak di Sentul pada 28 September mendatang,
ditiadakan. Seluruh rangkaian acara akan dilokalisir di Pulau Dewata Bali.
Di sisi lain, fatwa yang
dikeluarkan MUI dirasa sangat terlambat bila menilik waktu penyelenggaraan yang
semakin mepet. Disinyalir, fatwa MUI
hanya formalitas belaka, sekedar menjawab dan menenangkan hati umat. Jika
memang serius, seharusnya dari dulu MUI dengan tegas melarang kontes tersebut. Demikian
juga dengan ancaman FPI dan ormas Islam lainnya.
Terlepas dari itu, bicara
Miss World memang serba rumit. Sama rumitnya berdiri di posisi manapun, baik di
pihak yang pro, apalagi kontra. Perlu sikap bijak dan analisa yang fair untuk
memberikan pendapat.
Sekarang, mari kita lihat!
Yang menjadi benang merah tuntutan MUI dan ormas Islam adalah bahwa Miss World
tidak sesuai dengan budaya bangsa, merendahkan martabat perempuan serta
mengeksploitasi aurat perempuan secara vulgar kepada publik. Pendek kata, Miss
World merupakan ajang maksiat menabur dosa, penuh mudharat namun minus manfaat.
Sampai di sini, kita
sepakat. Sebab, meski mengusung format penjurian 3b (brain, beauty, behaviour), namun kecantikan lahiriah (fisik) tetap
menjadi fokus utama. Tidak mungkin Miss World akan menerima peserta bertubuh
gendut atau cacat fisik lainnya. Belum lagi penggunaan bikini two piece yang membuat para kontestan
benar-benar seperti –maaf– telanjang.
Karena itu, dengan dalih
menghormati budaya Indonesia, panitia bersedia mengeliminasi sesi bikini dan
menggantinya dengan sarung. Namun yang agak mengherankan, muncul pernyataan
dari sejumlah ormas, meski sesi bikini dihilangkan bahkan jika peserta
menggunakan cadar sekalipun, maka Miss World tetap haram dan dilarang.
Timbul pertanyaan, apa
sebetulnya esensi dan substansi larangan dan penolakan tersebut? Kini, mari kita bandingkan dengan kondisi
kekinian di negeri ini! Jika Miss World dilarang, bagaimana dengan
kontes-kontes kecantikan lainnya. Sebut saja misalnya Putri Indonesia, Miss
Indonesia atau yang berskala lokal seperti Abang None dan pemilihan putri-putri
lainnya mulai dari kecamatan, kabupaten/kota hingga provinsi dan nasional.
Dengan dalih memajukan
pariwisata dan mendongkrak daya saing daerah, sejumlah kontes kecantikan
digelar. Bahkan sangat nyata keterlibatan pemerintah daerah, baik sebagai
penyandang dana maupun penyelenggara. Sekali
merangkul dayung dua tiga pulau terlampaui. Dengan event bertajuk putri-putrian
ini, terjadi perputaran roda perekonomian sekaligus mengundang investor dan
wisatawan.
Hebatnya, tidak pernah
diprotes, kan? Padahal, dari kontes kecantikan di tingkat lokal atau provinsi
inilah cikal bakal kontes bertaraf nasional dan internasional diselenggarakan. Ambil
contoh, Miss World yang pesertanya berasal dari perwakilan/pemenang serupa di
negara masing-masing. Indonesia memiliki Miss Indonesia yang dikirim ke
pemilihan Miss World dan Putri Indonesia yang diikutsertakan dalam ajang Miss
Universe.
Format acara juga sama.
Para pemenang kontes akan diikutkan pada ajang yang lebih besar dan menjadi
komoditas bisnis di dunia entertainment. Mau tidak mau mereka juga akan
menjadi bagian dari pelaku industri hiburan di negeri ini.
Lebih dari itu, lihatlah
tayangan televisi kita setiap hari. Banyak tayangan yang mempertontonkan bahkan
mengeksploitasi aurat perempuan secara vulgar tanpa sensor. Salah satunya
tayangan musik yang menjadi primadona setiap stasiun televisi. Dimulai dari
pagi, hingga kembali ke pagi lagi, program musik di televisi lebih banyak
mengedepankan sensualitas dan pornoaksi. Tak hanya goyangan yang seronok, tapi juga
pakaian mereka yang –maaf– lagi-lagi nyaris telanjang.
Bila kontes kecantikan
mengeksploitasi tubuh perempuan dan menjadikannya komoditas bisnis, maka para
perempuan di dunia hiburan, khususnya televisi, juga tak ada bedanya.
Perlu digarisbawahi,
tulisan ini tidak bermaksud membela –apalagi membenarkan– diselenggarakan
kontes Miss World. Namun mengajak kita semua untuk berfikir dan menganalisa
secara jernih, tanpa keberpihakan. Massifnya penolakan Miss World yang disusul
fatwa telat MUI memunculkan sejumlah praduga, untuk siapa sebenarnya larangan
itu ditujukan?
Jika MUI dan para ulama –termasuk
FPI juga FUI– ingin melindungi kaum hawa di negeri ini dari segala bentuk
pelecehan dan eksploitasi aurat, maka sejatinya harus mensweeping
seluruh program televisi yang mengumbar aurat dan goyangan sensual, prostitusi
terselubung berkedok kontes kecantikan dan pornografi serta pornoaksi dunia
maya yang kian mencemaskan. Jangan hanya terfokus kepada satu kontes kecantikan
yang digelar satu kali setahun, tapi abai terhadap kemaksiatan yang berlangsung
setiap hari bahkan setiap menit.
Batu
Loncatan
Mengikuti kontes
kecantikan baik skala lokal, nasional apalagi internasional bagi sebagian –bahkan
hampir semua– remaja putri di negeri ini
adalah ibarat menggantung mimpi di langit tinggi. Banyak remaja yang terobesesi
mengikuti berbagai kontes kecantikan dengan beragam motif. Yang paling menonjol
adalah motif ekonomi. Siapa yang tidak tergiur dengan hadiah uang puluhan juta,
apartemen mewah dan popularitas dalam genggaman?
Ibarat menaiki anak tangga,
kontes kecantikan –termasuk Miss World– merupakan pijakan alias anak tangga pertama
untuk meloncat ke jenjang berikutnya. Lihat saja, berapa banyak jebolan kontes
kecantikan yang berhasil menaklukkan kerasnya industri hiburan, dunia usaha
bahkan dunia politik. Berbekal popularitas dan gelimang materi, maka kesuksesan
pun dengan mudah diraih. Sekulerisme yang
bersumbu dari hedonisme memang tak
terelakkan.
Siapa yang tidak
tertarik? Di saat kemiskinan menjadi
momok yang sangat mengerikan dan para pejabat negara berpesta pora menjarah
uang rakyat, maka mengikuti kontes kecantikan menjadi alternatif mengubah nasib
bagi jutaan remaja di negeri ini.
Persoalannya kini, dimana
pemerintah? Masyarakat berharap ketegasan pemerintah, bukan saling lempar tanggung
jawab. Kementerian Agama menyebut, pihaknya tetap mengacu kepada keputusan MUI
dan menghimbau agar panitia penyelenggara menghormati keputusan MUI tersebut.
Seharusnya, jika MUI sudah
mengeluarkan putusan, pemerintah melalui kementerian terkait harus secepatnya
melakukan eksekusi. Bukan membiarkan masalah mengambang seperti sekarang. Sementara konflik antara ormas dan
penyelenggara semakin memanas. Bahkan mulai bergeser ke ranah politik.
Mirawati Uniang,
pemerhati Masalah Sosial & Perempuan, tinggal di
Padang, Sumbar