Oleh Lutfiyah
Nurzain
Patut diakui bahwa peran media saat ini adalah
yang paling urgen dalam membentuk opini publik. Jika diamati secara mendalam,
medialah yang memegang kunci perubahan. Sebab, media sangat dekat dengan
masyarakat. Medialah yang senantiasa mempublikasikan hal-hal yang terjadi di
dalam kehidupan sosial-masyarakat.
Keberadaan
negara kita saat ini pun tidak lepas dari tangan media. Sejarah negara kita ada
itu juga berkat media. Bila tidak ada media, bagaimana sejarah bangsa kita terekam?
Kita tentu masih ingat akan perjuangan awak media di era pra-kemerdakaan.
Bahkan jauh sebelum bangsa kita mencanangkan diri untuk menjadi bangsa yang
merdeka, tepatnya masa kolonial Belanda.
Perjuangan awak media lokal kala itu
benar-benar getir dan seringkali mendapat ancaman, bahkan penutupan perusahaan.
Hal itu akibat media zaman itu murni bergerak atas dasar perjuangan untuk
keadilan, yaitu kemerdekaan. Media, contohnya koran, merupakan konsumsi sehari-hari masyarakat.
Saat
Jepang takluk setelah kota Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh bom dahsyat
pihak sekutu, media efektif menggerakkan massa. Kabar bahwa Jepang kalah dari
sekutu diketahui melalui berita koran yang diedarkan secara diam-diam.
Lihatlah, sungguh luar biasa peran media masa itu! Media memiliki sepak terjang
yang nyata. Bahkan, mempunyai kekuatan atau semacam sistem pengendali
masyarakat.
Fungsi
media tempo dulu tentu tidak berbeda dengan media sekarang, yaitu memberitakan
atau menginformasikan kepada khalayak tentang suatu kejadian. Pada hakikatnya,
media harus berdiri di atas panggung yang “merdeka”, tidak ada intervensi
apapun atau dari pihak manapun. Namun, realitasnya ada satu hal yang tidak dapat
terpisahkan dari jubah media, yaitu unsur politik.
Bila era perjuangan merebut kemerdekaan, media
dinaungi oleh politik positif. Artinya, media digerakkan oleh penguasa berdasar
kepentingan politik demi kemaslahatan bersama, yaitu untuk kebebasan atau
kemerdekaan bangsa dari penjajahan.
Lain
halnya dengan masa sekarang ini. Hampir semua media, entah itu media
elektronik, cetak, maupun online dimiliki oleh orang-orang yang bermodal besar.
Parahnya, mereka yang telah mendapatkan kuasa tersebut justru memanfaatkan
popularitas demi kepentingan politik.
Salah
satu contoh media yang begitu merasakan pengaruh politik adalah televisi. Media
elektronik itu seolah sudah menyatu dengan masyarakat dari berbagai kalangan
dan usia. Beragam feature baru nan lengkap serta menarik, ditambah lagi
harganya yang terjangkau dan
berkualitas menyebabkan televisi sangat mudah diperoleh masyarakat. Tanpa
disadari, seiring meningkatnya kebutuhan akan televisi, meninggi pula
kecenderungan masyarakat terhipnotis olehnya.
Setelah berhasil mendapatkan hati di
masyarakat, pemilik perusahaan media yang kini berbentuk perusahaan
multinasional pun memanfaatkan peluang itu. Misalnya saja, negara kita tak lama
lagi akan menggelar pesta demokrasi untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden
periode selanjutnya. Nah, kelompok orang yang berkepentingan dengan suksesi
pemilihan umum (pemilu) mendatang menggunakan media sebagai senjata paling
ampuh.
Metode yang dipilih ialah melalui tayangan
komersil atau iklan. Contohnya saja, kita sering menyaksikan Prabowo Subiyanto
dalam iklan. Apa tujuannya? Bukan hanya mendulang popularitas. Tetapi inilah
cara terjitu sekaligus tercepat yang dapat ditempuh partai politik (parpol)
untuk mencapai misi partai. Saya pikir, misi tersebut tidak lain adalah menyukseskan orang terpilih dari parpol (Prabowo)
untuk maju ke bursa pencalonan Presiden. Durasi iklan memang tidak begitu lama.
Namun, intensitas kemunculan iklan tersebut sering sekali. Alhasil, masyarakat
seperti kita menjadi familiar dengan wajah
punggawa Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu.
Metode serupa juga diterapkan oleh kelompok
parpol yang lain. Bahkan, kali ini yang bertindak adalah pemilik dari
perusahaan stasiun televisi itu sendiri. Anda pasti sudah mengenal Aburizal
Bakrie, Hary Tanoesoedibjo, Surya Paloh, dan Khoirul Tanjung, bukan? Ya, mereka
adalah orang-orang besar di negeri ini. Mereka berkuasa atas stasiun televisi
terkemuka di tanah air.
Kita bisa menyaksikan begitu kuat dan besarnya
media yang digagas Hary Tanoesoedibjo. Multinasional Coorporation TV
atau yang kita kenal MNCTV adalah miliknya. Bayangkan saja!
Perusahaan stasiun televisi (MNC) itu memayungi anak-anak perusahaan lainnya
seperti Global TV, RCTI, MNCTV, beberapa
stasiun TV lokal yang tersebar di Jakarta (TV group) dan Jawa Tengah
(ProTV), koran SINDO, Radio Trijaya FM, serta masih banyak lagi yang
bergerak di cyber net.
Jelas saja Hary Tanoesoedibjo menguasai
jaringan media massa. Nah, kekuatan Hary itulah yang meyakinkannya untuk ikut nimbrung
mencari peruntungan di kancah perpolitikan Indonesia, khususnya lewat
parpol Hanura (Hati Nurani Rakyat) yang mengusungnya. Hary sudah lama menayangkan
iklan parpol di stasiun televisi miliknya yang besar, MNC group.
Sama halnya dengan Aburizal Bakrie dengan ANTV
dan TVOne, Surya Paloh dengan Metro TV, dan Khoirul Tanjung dengan TransCorp.nya
yang menguasai media massa hingga merambah ke dunia maya. Ke-empat pemilik
stasiun televisi itu merasa mampu mengendalikan mindset masyarakat,
terutama masyarakat awam.
Meminjam
slogan mantan Presiden RI wanita, Ibu Megawati Soekarno Putri, bergerak atas
nama “wong cilik”, dasar perjuangan itulah yang mendorong Hary rela
mengorbankan masyarakat melalui kekuatannya dalam menguasai media massa.
Padahal, media semestinya berdiri independent atau merdeka. Artinya,
tidak boleh ada intervensi dari pihak mana pun, termasuk si empunya stasiun televisi.
Media massa kita saat ini sudah begitu parah.
Saya sebagai generasi muda merasa miris tatkala disuguhkan tayangan-tayangan
yang sama sekali tidak mendidik. Stasiun televisi kita sekarang cenderung
menuruti selera masyarakat daripada memperhatikan sisi edukasi dan aspek
kualitas lainnya.
Masyarakat sebagai konsumen yang tidak tahu
apa-apa tentu menelan begitu saja hidangan yang disajikan di layar kaca.
Apalagi, banyak masyarakat kita yang masih awam. Mereka cenderung lebih senang
menonton acara televisi yang sifatnya menghibur dan menarik, daripada tontonan
yang edukatif. Misalnya saja, ibu-ibu rumah tangga. Mereka cenderung suka
menonton entertainment atau gossip.
Melihat selera masyarakat yang demikian, pihak
media semestinya tidak lantas menuruti selera masyarakat. Tidak kemudian
berlomba-lomba menciptakan program semacam itu demi “citra”. Media yang ada
semestinya menyajikan tayangan yang sehat dan bermanfaat. Jadi, fungsi media
seharusnya “hanya” menginformasikan, memberitakan, mempublikasikan, menghibur,
dan mendidik, bukan untuk memenuhi hasrat atas kepentingan politik. Media yang
sudah berlabel “kurang” dalam aspek mendidik moral bangsa, jangan ditambah lagi
dengan label “kepentingan penguasa dan politik”. Mau jadi apa bangsa ini bila
media tidak lagi independen? Yang ada, masyarakat jadi taruhan.
Lutfiyah Nurzain, mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Tadris Matematika, IAIN Walisongo
Semarang