Oleh Mokhamad Abdul Aziz
Kampus adalah sebuah
tempat yang di dalamnya bertempat orang-orang pintar dan cerdas. Ya, kampus
merupakan simbol budaya unggul. Sebab, di dalamnya terdapat civitas akademica yang bersama-sama menciptakan kultur akademis dan budaya
intelektual yang tinggi. Guru besar, dosen, karyawan kampus, dan mahasiswa
adalah manusia-manusia yang dianggap mempunyai kapasitas intelektual lebih
tinggi jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga yang lain, seperti partai
politik, lembaga birokrasi, ormas-ormas, LSM, dan lain sebagainya.
Selain
itu, basis sistem yang digunakan dalam lingkungan kampus adalah sistem meritokrasi.
Menurut Dr. Mohammad Nasih, seorang pakar ilmu politik UI yang juga sangat
peduli dengan dunia pendidikan, meritokrasi adalah sebuah sistem yang menjadikan prestasi sebagai kriteria mengenai
siapa yang layak menjadi aktor dalam mentransformasikan berbagai keunggulan
komparatif di bidang akademik kepada para mahasiswa.
Itu
artinya, yang “boleh” dan “bisa” bertahan di lingkungan kampus sebagai bagian
integral dari masyarakat kampus adalah mereka yang terbaik secara akademik,
bukan yang lain. Dari sinilah, kemudian lahir istilah civitas akademica, yaitu kumpulan
masyarakat kampus, yang mereka semua adalah terdidik. Oleh sebab itu, kampus
menjadi penjaga eksistensi ilmu pengetahuan.
Dalam
konteks ini, ilmu pengetahuan menjadi sumber atau alat untuk menjadikan orang
yang memilikinya bisa menjalani kehidupan yang “terbaik”. Sehingga, kampus diharapkan
dapat memerankan tugas dan fungsinya sebagai penjaga moral bangsa. Sebab, ilmu
pengetahuan akan dapat membantu manusia untuk menentukan mana yang baik dan
mana yang buruk. Sehingga seseorang tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang
harus dijauhi dan ditinggalkan.
Peran
kampus sebagai penjaga moral bangsa sekaligus penjaga eksistensi ilmu pengetahuan
membuat kampus mau tidak mau harus menerapkan budaya akademik secara ketat. Sehingga,
kampus bisa bertahan sebagai lembaga yang sesuai dengan jati dirinya. Jika
dibandingkan dengan partai politk, maka kampus jauh lebih sesuai dengan jati
dirinya. Hal ini disebabkan oleh sistem yang diterapkan dalam partai politik
bukanlah meritokrasi. Peluang kaum medioker (baca: orang yang kapasitasnya
biasa-biasa saja) untuk berkuasa akan sangat terbuka di partai politik.
Oleh
sebab itu, Parpol dianggap sebagai penyebab utama mediokrasi. Artinya, mereka
yang sesungguhnya berkualitas biasa-biasa saja, tetapi justru yang berdaulat.
Dan ini berakibat para negara Indonesia yang saat ini mengalami krisis di
berbagai bidang. Sebab, pemerintahan yang seharusnya dipegang oleh orang-orang
yang berkualitas justru dikuasai oleh manusia-manusia yang sesungguhnya
biasa-biasa saja, tetapi mempunyai uang untuk menggalang dukungan politik.
Karena para pembuat kebijakannya adalah kaum medioker, maka kebijakan yag
dihasilkannya pun tidak bisa memberikan efek maksimal.
Kampus dalam Ancaman
Kaum Medioker
Sesungguhnya,
kampus saat ini juga sedang dalam ancaman kaum medioker. Hanya saja caranya
berbeda. Bahkan, banyak yang tidak menyadari akan acaman ini. Lebih ironisnya
lagi pemerintah tidak tahu bahwa kebijakan yang telah dibuat mempunyai dampak
negatif bagi pendidikan Indonesia. Berangkat dari kebijakan pemerintah, dalam
hal ini Kemendikbud, yang awalnya bermaksud untuk membangun budaya akademik
tinggi, justru menjadi boomerang bagi negara. Apalagi jika tidak biaya
pendidikan yang semakin melangit yang menjadi penyebabnya.
Dengan
biaya pendidikan yang mahal, maka hanya orang-orang kaya-lah yang mendapatkan
akses kepada pendidikan yang lebih tinggi. Hampir bisa dipastikan peluang
kalangan menengah ke bawah untuk mendapatkan pendidikan menjadi “tertutup”. Meskipun
juga ada upaya pemerintah untuk mengantisipasi hal itu, yaitu dengan memberikan
beasiswa kepada “orang miskin” yang mempunyai kualitas akademik yang lebih
baik, namun pada kenyataan hal itu tidak bisa menyelesaikan masalah, bahkan,
menambah masalah. Sebab, pemberian beasiswa kepada mereka yang membutuhkan
tidak maksimal. Dengan kata lain, pemberian beasiswa itu banyak yang salah
sasaran.
Dalam
konteks kampus, syarat formal untuk dapat menjadi dosen atau tenaga akademik
lainnya, kriterianya juga dinaikkan, tidak hanya S1 lagi, tetapi minimal harus
telah lulus S2. Inilah yang menjadi sebab akan tersingkirnya mereka yang tidak
kuat secara finansial. Persoalannya adalah untuk lulus S2 bukan hal yang mudah
bagi kalangan menengah ke bawah, walau sesungguhnya mereka memiliki kapasitas
keilmuan yang memadai sekalipun. Padahal, kampus sesungguhnya sangat membutuhkan
mereka, karena untuk menjaga civitas
akademica agar tidak menurun kualitasnya. Namun, yang terjadi justru
sebaliknya. Yaitu, mereka yang sebenarnya mempunyai kapasitas biasa-biasa saja,
tetapi karena memiliki biaya, maka merekalah yang dapat melanjutkan pendidikan
ke jenjang S2.
Alternatif Solusi
Melihat
permasalahan itu, perguruan tinggi harus melihat hal ini sebagai sebuah
persoalan yang sangat serius. Persyaratan harus lulus S2 memang diperlukan
untuk meningkatkan kualitas pendidikan di kampus. Namun, row material (bahan
mentah) SDM juga harus diperhatikan. Sebab, merekalah yang akan
mentransformasikan budaya akademik dan kultur intelektual di kampus.
Oleh
sebab itu, untuk mencegah ancaman mediokrasi kampus agar tidak semakin
menggurita, maka kampus harus melakukan langkah cepat. Dalam hal ini, kampus
harus bekerjasama dengan negara dalam mengadvokasi kalangan civitas akademica yang memang memiliki keunggulan di bidang akademik yang
baik. Negara menyediakan lebih banyak lagi beasiswa kepada para lulusan S1,
sedangkan kampus berperan sebagai penyaring siapa-siapa yang berprestasi agar
dapat teradvokasi dibutuhkan untuk melanjutkan sistem budaya yang unggul.
Sistem
meritokrasi kampus jangan sampai berganti dengan sistem mediokrasi ala parta
politik. Sebab, jika kampus tetap dikuasai oleh kaum medioker, maka kampus
tidak akan lagi mampu memerankan fungsi, tugas, dan peran sebagai penjaga
eksistensi ilmu pengetahuan sekaligus penjaga moral bangsa. Dengan kata lain, Civitas akademica tidak akan bisa lagi membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk. Jika sudah seperti itu, maka tunggulah kehancurannya. Meritokrasi
harus dikembalikan sebagai asas utama dalam membangun pendidikan. Sebab, dengan
itulah pendidikan akan benar-benar mampu mendidik.
Mokhamad
Abdul Aziz,
Sekretaris of Center for Democracy
and Religious Studies (CDRS) Kota Semarang, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Dakwah IAIN Walisongo Semarang