Oleh
Rina Noviana
Judul :
Ibrahim Pernah Atheis
Penulis : Agus Mustofa
Penerbit : PADMA Press
Tebal : 272 halaman
Terbit : Cetakan I, 2013
ISBN : 978-979-1070-46-1
Harga : 55.000
Inti
pelajaran agama berada pada ketauhidannya. Inilah yang membedakan suatu agama
dengan agama lainnya, atau antara orang beragama dengan oarng yang tidak
beragama. Bahkan antar-pengikut agama yang sama, di dalam spiritualitasnya.
Untuk ‘menemukan’ tuhan yang sempurna itu, Ibrahim mengalami fase-fase yang
krusial.
Jumlah
penduduk Bumi dewasa ini sekitar 6,5 milliar manusia. Menurut survey
Ensiclopedia Britannnica tahun 2005, hampir 12 persen diantaranya adalah orang
yang tidak bergama. Dan 2,3 persennya lagi mengaku atheis, alias tidak bertuhan. Jika ditambah
dengan agama yang ‘tidak bertuhan’ seperti Budha dan Konghucu, maka jumlah
manusia yang masuk dalam kategori tidak bertuhan dan tidak beragama itu bisa
mecapai angka 1 miliar (hlm. 16).
Dalam
buku ini juga dikemukakan
bagaimana para penganut atheisme tidak percaya kepada informasi agama, dan lebih memilih sains sebagai petunjuk
kehidupan.
Beberapa
ilmuan atheis yang pemikirannya sering dijadikan rujukan adalah Richard Dawkins
dengan Biologi evolusinya, dan Stephen
Hawking yang berbasis pada Fisika Modernnya (hlm. 26).
Ibrahim
muda pernah atheis. Yakni, saat dia mengingkari berhala-berhala yang disembah
oleh ayahnya dan masyarakat di zaman itu. Akal sehatnya menolak mempertuhan
segala macam berhala, dan dia menyatakan diri ‘kafir’ terhadap agama pagan.
Ibrahim pun lantas mencari Tuhan yang lebih masuk di akal (hlm. 46).
Musuh
terbesar Ibrahim saat melakukan pencarian Tuhan adalah dogmatisme. Ia tidak mau
begitu saja menjalani agama-agama tradisional yang dianuut masyarakatnya secara
ikut-ikutan. Hati dan pikirannya
memberontak. Tak mungkin Tuhan tak masuk akal (hlm. 60).
Tetapi
hatinya yakin tentang adanya ‘sesuatu’ yang Maha Hebat itu. Sesuatu yang
menguasai realitas di langit dan di bumi. Dan segala peristiwa yang terjadi di
dalamnya. Insting ketuhanannya membimbing Ibrahim muda untuk melakukan
pencarian menggunakan akal kecerdasan (hlm.
9).
Ibrahim
beradu logika dengan Raja Namrudz.
Selain menyembah patung dan benda-benda
langit, sebagian
masyarakat pagan waktu itu juga mengagung-agungkan rajanya sebagai titisan
Tuhan (hlm. 94). Ada sub tema yang menjadi
perdebatan antara Ibrahim dan Namrudz. Yang pertma soal hidup dan mati, dan yang kedua soal pergerakan benda
langit, dalam
hal ini terbit dan tenggelamnya matahari (hlm.
95).
Ibrahim
menemukan kebenaran di alam semesta. Seluruh rangakaian fakta yang apa adanya.
Realitas tak pernah berbohong. Dan memang tak bisa berbohong (hlm. 70). Ibrahim telah mengambil pelajaran
yang sangat substansial setelah mengobservasi alam semesta (hlm. 77).
Menurutnya,
Tuhan sudah semestinya Maha Hebat. Karena itu, ketika orang tua dan
masyarakatnya menyembah tuhan patung dan benda-benda langit, Ibrahim menolaknya.
Ia mau bertuhan kepada Sang Penguasa Segala.
Lebih
jauh, proses ketauhidanIbrahim itu bukan hanya dari tidak bertuhan menjadi
bertuhan, melainkan juga bergerak dari keragu-raguan akan kehebatan Tuhan
menjadi keyakinan yang tak tergoyahkan (hlm.
11).
Maka, buku ini menjadi penting bagi siapa
saja yang ingin mengevaluasi kembali pencariannya terhadap Tuhan. Bisa jadi
bagi mereka yang tadinya merasa tidak perlu bertuhan, atau sudah bertuhan tapi
masih ragu-ragu terhadap Tuhannya. Atau orang yang ingin lebih mengenal Tuhan
alam semesta yang benar-benar Tuhan,
karena selama ini merasa hanya bertuhan kepada tuhan yang tuhan-tuhanan.
Rina
Noviana, mahasiswi
Teknik Informatika Universitas Muria Kudus