Oleh
Mirawati Uniang
Apakah perempuan harus dikhitan (disunat)?
Bagaimana hukum khitan perempuan, apakah ada dalil agamanya atau sekedar ritual
adat belaka?
Itu segelintir pertanyaan
yang sering kita dengar seputar sunat atau khitan terhadap perempuan.
Belakangan, khitan perempuan kembali menjadi kontroversi. Hal tersebut
dikarenakan tarik ulur dan maju mundurnya aturan mengenai khitan tersebut. Tahun
2006 silam, kementerian terkait mengeluarkan surat edaran yang melarang khitan
perempuan.
Namun tahun 2010, keluar
pula Permenkes No.
1636/Menkes/Per/2010 Tentang Sunat
Perempuan. Permenkes tersebut mengizinkan khitan perempuan asalkan
dilakukan oleh tenaga medis yang professional.
Sempat menjadi polemik dan mendapat kecaman keras dari sejumlah aktivis
perempuan dan pegiat HAM. Setelah terkatung-katung hampir satu tahun lamanya,
pemerintah urung mencabut permenkes tersebut.
Kini,
dengan dasar aturan itu, Kementerian Kesehatan yang dinakhodai Nafsiah Mboi
kembali memperbolehkan khitan perempuan. Meski dari sisi medis, Menkes yang sempat
menuai kritik soal kondom itu mengatakan, tidak bermanfaat sama sekali, namun
pihaknya tidak bisa melarang jika ada masyarakat yang minta dikhitan, baik di
rumah sakit maupun klinik kesehatan.
Pada
saat yang bersamaan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah ormas Islam
lainnya juga mendesak untuk diperbolehkannya khitan perempuan. Bahkan MUI telah
mengeluarkan Fatwa Nomor tentang Sunat Perempuan Nomor 9A Tahun 2008
yang berbunyi: "Khitan bagi
laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Dan khitan
terhadap perempuan adalah makrumah”.
Di awal tahun 2013 ini, khitan perempuan kembali menghangat dan
memancing reaksi sejumlah aktivis perempuan. Seperti yang dikatakan Komisioner
Bidang Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan, Ninik Rahayu. Dikatakan
Ninik, khitan perempuan adalah diskriminasi terhadap reproduksi perempuan. Ia
juga mempertanyakan kredibilitas Kementerian Kesehatan sebagai institusi negara
yang bisa disetir oleh MUI yang hanya organisasi massa (ormas).
Dalam
perspektif aktivis perempuan dan feminisme radikal, sunat perempuan merupakan
bentuk diksriminasi atau pelabelan secara stereotype
terhadap perempuan, pengebirian, kekerasan terhadap perempuan, pelanggaran
hak asasi manusia bahkan pelecehan secara seksual. Karenanya kelompok ini
sangat menentang keras sunat perempuan dan mengkampanyekan agar para orangtua
tidak menyunat atau mengizinkan bayi perempuannya untuk disunat.
Di
lain pihak, khitan perempuan juga dipertanyakan dari sisi dalil atau hukum
agamanya, khususnya Agama Islam. Sebab, dalam prakteknya terutama di Indonesia,
sunat baik perempuan maupun laki-laki selalu dikaitkan dengan ritual Agama
Islam.
Meskipun
MUI sudah mengeluarkan fatwa terkait khitan perempuan, namun sejauh ini, para
ulama pun masih memperdebatkan hukum khitan perempuan. Dan mereka sepakat bahwa
sunnah atau hadist mengenai keberadaan sunat perempuan adalah dha’if
alias lemah, karena diriwayatkan oleh periwayat hadist yang tidak dikenal.
Menurut
Syaikh Musthafa al-'Adawi, "Apa yang dipaparkan mengenai masalah
khitan/sunat tersebut tidak terdapat dalil yang shahih dan sharih
(secara terang-terangan) yang mewajibkan wanita berkhitan. Karena itu, siapa di
antara mereka yang melakukannya, maka itu adalah haknya dan bila tidak juga
tidak ada masalah” (Sumber: Jami' Ahkam
An-Nisa' karya Syaikh Mushthafa al-'Adawi, Juz I, hal.17-23).
Sejarah Khitan Perempuan
Jika
demikian, bagaimana asal muasal sunat perempuan? Dilihat dari aspek sosial
budaya, praktek khitan terhadap perempuan sudah berlangsung semenjak 4000 tahun
sebelum masehi. Bermula dari tradisi di kawasan Benua Afrika, berlanjut ke
Jazirah Arab dan Timur Tengah hingga akhirnya menyebar ke berbagai kawasan
Asia, termasuk Indonesia.
Konon,
sunat perempuan yang dilakukan masyarakat di banyak negara Benua Afrika
tergolong sadis, yakni dengan cara melakukan pemotongan klitoris sebagian atau
bahkan keseluruhan. Perempuan yang akan disunat terlebih dahulu ditambatkan di
batang pohon. Cara ini sangat menyakitkan sehingga media radikal menggambarkan
bahwa sunat perempuan itu sadis dan tak berprikemanusiaan.
Dalam
perkembangan selanjutnya, khitan perempuan lebih banyak dipengaruhi dan
didominasi oleh budaya patriarkhi
serta adat istiadat masyarakat setempat.
Tak
terkecuali di Indonesia, sunat pada perempuan banyak dipengaruhi oleh budaya
dengan bersandar pada ritual keagamaan.
Khitan menjadi “agenda wajib” ketika menyambut kelahiran anak perempuan.
Biasanya, sunat dilakukan oleh dukun beranak atau dukun kampung. Namun
belakangan, masyarakat pun lebih mempercayakannya pada rumah sakit atau tenaga
medis lainnya.
Begitulah
sunat perempuan, ia diwajibkan karena tradisi dan dilegalisasi dengan dalil
agama serta dibenarkan oleh budaya patriarkhi, tanpa dirinci dengan jelas
manfaatnya. Sampai disini, bisa dikatakan sunat perempuan hanyalah sekedar
ritual yang dilakukan secara turun temurun dan menjadi tradisi satu etnis atau
kaum.
Disisi
lain, reaksi penolakan kaum feminisme radikal ternyata tak membuat praktek
sunat perempuan menjadi hilang. Sebaliknya, tumbuh subur hampir di seluruh
wilayah di tanah air.
Sementara
itu, menurut Peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas YARSI, Jurnalis Udin
seperti yang dikutip dari buku “Khitan Perempuan:
Dari Sudut Pandang Sosial, Budaya, dan kesehatan Serta Agama”,
dikatakannya, berdasarkan penelitian yang luas, khitan perempuan tak memiliki
manfaat, tapi malah mengancam kesehatan bahkan jiwa mereka (perempuan, red).
Sebetulnya,
para aktivis atau organisasi perempuan yang kontra, tidak perlu risau
menanggapi peraturan menteri kesehatan tersebut. Sebab, klausul dalam Permenkes
tersebut menyatakan bahwa pemerintah tidak mewajibkan perempuan untuk disunat.
Kalaupun ada bayi perempuan yang akan disunat maka harus seizin orangtua atau
walinya. Intinya, pemerintah melalui Permenkes tersebut tidak melarang dan
tidak pula menganjurkan. Namun, jika ada orangtua yang ingin mengkhitan anak
perempuannya, maka Permenkes tersebut menjadi acuan bagi kalangan medis untuk
melakukannya.
Sekarang
terpulang kepada pribadi masing – masing. Jika ada etnis yang menganggap sunat
perempuan adalah “wajib” karena merupakan tradisi yang diwariskan secara turun
temurun, hal tersebut sah–sah saja. Sebaliknya, jika ada pihak yang kontra dan
merasa tidak bermanfaat, tidak ada pula aturan yang melarangnya untuk tidak
melakukan sunat tersebut. Seperti yang dikatakan Syaikh Musthafa Al’adawi,
sunat perempuan merupakan pilihan dan hak setiap orang, boleh dilakukan. Namun
bila tidak, juga tidak menjadi masalah.
Mirawati
Uniang, pemerhati masalah
Sosial dan Perempuan,
tinggal di Padang, Sumbar.