Oleh Sam Edy Yuswanto
Judul
Buku : Apa pun Partainya, Korupsi Hobinya
Penulis : A. Yusrianto Elga
Penerbit : Ircisod, Yogyakarta
Cetakan : I, Maret 2013
Tebal : 176 halaman
ISBN :
978-602-7933-03-9
Fenomena korupsi seakan tak pernah
habis diperbincangan. Sejak tumbangnya rezim Orde Baru, keberadaan partai
politik (parpol) di negeri ini seperti jamur di musim penghujan. Dari puluhan
parpol yang ada, nyaris semua agenda yang dicanangkan memiliki visi misi senada;
mewujudkan pemerintahan bersih (clean government) dan bebas dari
praktik-praktik korupsi. Namun seiring bergulirnya waktu, ketika wacana
demokrasi kian mengemuka, justru kasus-kasus korupsi kian merajalela, mulai
parlemen hingga parpol. Saban hari, nyaris di berbagai media (baik media elektronik
maupun cetak) tak pernah absen mewartakan kasus korupsi yang melilit para elite
politik.
Filsuf Nietzsche pernah berkata, “Naluri
manusia yang tidak pernah padam adalah kehendaknya untuk berkuasa”. Ya,
kekuasaan atau jabatan, memang kerap membuat manusia terpesona dan gelap mata. Kekuasaan
sering dipersepsikan sebagai tempat ‘mencari karier’. Maka, tak heran bila
penyelewengan (korupsi) menjadi sesuatu yang tak terelakkan lagi.
Bila korupsi di masa Orde Baru hanya
terjadi di lingkaran eksekutif, kini praktik busuk itu telah merambah ke
lembaga-lembaga lain, baik di parlemen, lembaga kepolisian, bahkan di tubuh
parpol. Prahara yang melanda Partai Demokrat karena banyak elite parpol yang
didirikan oleh SBY itu terlibat kasus korupsi, misalnya, menjadi bukti paling shahih
bahwa partai politik sangat sulit untuk melepaskan diri dari perangkap bernama
‘korupsi’ (hlm. 9).
Demikian halnya prahara yang melanda
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ketika Luthfi Hasan Ishaaq, presiden PKS yang
merupakan tokoh panutan dalam tubuh partai tersebut, akhirnya ditetapkan sebagai
tersangka oleh KPK dalam kasus penyuapan daging impor. Partai yang konon menganggap
dirinya paling bersih itu, lantas diolok-olok sebagian rakyat negeri ini dengan
sebutan “Partai Korupsi Sapi”. Barangkali, ‘korupsi’ bagi mereka menjadi sebuah
keniscayaan. Karena mereka yang berbuat korup, tak pernah mendapat sanksi
sosial. Berbeda 180 derajat dengan nasib pencuri ayam, misalnya, yang selain
babak belur dihajar massa dan akhirnya mendekam di bui ‘kelas bawah’, juga dikucilkan
masyarakat sekitarnya.
Jika dulu Soekarno membentuk Partai
Nasional Indonesia (PNI) untuk memperjuangkan kemerdekaan, maka kini partai
politik didirikan demi kepentingan pribadi dan golongan. Jika dulu Tan Malaka
mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) untuk menyatukan semangat
nasionalisme di antara kaum intelektual, mahasiswa, dan sarjana yang mengenyam pendidikan
di Belanda, agar persatuan dan kesatuan menuju Republik Indonesia yang merdeka
tercapai, kini partai-partai politik berubah menjadi “lahan bisnis” untuk
mengeruk keuntungan materi sebesar-besarnya (hlm. 11).
Partai politik adalah pilar
demokrasi. Gerak laju sosial-ekonomi-politik bergantung dari dinamika parpol. Itulah
sebabnya, parpol memiliki tugas dan tanggung jawab yang tak sederhana. Masa
depan bangsa berada di tangan parpol. Artinya, jika parpol benar-benar mengawal
bangsa ini menuju perubahan, berarti parpol telah menanamkan benih-benih
demokrasi di negeri ini. Namun kini keberadaan parpol telah jauh berubah.
Parpol tak bisa berkutik dengan kenyataan bahwa kader-kadernya terjerat kasus
korupsi. Ketika parpol menjelma “surga” bagi para koruptor, maka perlahan tapi
pasti, bangunan demokrasi itu akan runtuh, hancur berkeping-keping (hlm 22).
Selama ini, rakyat Indonesia
memiliki harapan besar akan kontribusi partai-partai, baik partai yang
berhaluan kiri atau kanan, baik partai yang berbasis agama maupun sekuler. Yang
diinginkan masyarakat hanyalah kesejahteraan serta keadilan yang kerap
dijadikan ‘jargon’ penguasa sebelum dirinya menduduki singgasana empuk. Tapi
begitulah realita para penguasa negeri ini, mereka adalah sosok-sosok yang
gemar melontar janji manis tanpa bukti. Reformasi yang telah lebih dari satu
dekade ini menjadi saksi sejarah bahwa sebagian penguasa negeri ini tak ubahnya
seperti ‘serigala’ yang setiap saat membutuhkan ‘mangsa’ (hlm. 51-52).
Tak dipungkiri, keberadaan parpol
merupakan musibah yang kian memperparah nasib jutaan rakyat. Parpol telah berubah
menjadi ‘surga’ bagi para korputor yang setiap saat bersiaga menilap uang negara.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah merilis kader-kader parpol yang
terjerat kasus korupsi, baik mereka yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), maupun yang menjabat sebagai menteri
sepanjang taun 2012. Pada bab ini, dipaparkan kader-kader parpol yang terjerat berbagai
kasus korupsi, seperti; Nazaruddin, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Andi
Alfian Malaranggeng, Jacob Purnowo, dll (hlm. 77-164).
“Apa pun partainya, korupsi hobinya”
seolah-olah telah menjadi ‘opini umum’ di benak masyarakat negeri ini. Orientasi
politik ibarat ladang bisnis yang membutakan hati nurani. Di tangan para
pedagang politik, apa pun rela dikorbankan demi mengeruk keuntungan pribadi
maupun golongan.
Sam Edy Yuswanto, penulis lepas bermukim di Kebumen.