Oleh Mohammad Sholihul Wafi
Seorang
orientalis terkemuka, Joseph Schact pernah mengatakan, Islam lebih dari sekedar
agama, ia mencerminkan teori perundang-undangan dan politik. Pendapat tersebut
diperkuat oleh pernyataan V. Joseph (seorang orientalis) dalam bukunya Mohammedian Law, “Islam atau agama yang
dibawa Muhammad bukan semata agama (a religion), namun juga sebuah sistem
politik (a political system)”.
Adalah
benar pendapat yang diungkapkan orientalis itu. Sebab, kehadiran Muhammad tidak
hanya sebagai utusan Allah penyebar Islam, namun juga sebagai pemimpin politik
tertinggi. Kepemimpinannya dalam politik pertama kali mendapat legitimasi publik
setelah Nabi berhijrah ke Madinah dan dijadikan sebagai mediator yang
diharapkan dapat mempersatukan suku-suku di sana, yang sebelumnya terlibat
konflik saling membunuh. Dan sesuai harapan, Nabi Muhammad mampu menjadikan Madinah
sebagai negara yang damai serta tertata dengan baik.
Nabi
Muhammad menunjukkan kepiawaiannya sebagai politikus dan negarawan yang sukses.
Dilihat dari segi praksis dan variabel-variabel sistem politik modern, sistem
politik yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dapat dikatakan sebagai sistem
politik yang par excellence. Namun
juga tidak disangkal jika dikatakan sebagai sistem religius karena dilihat dari
segi motif-motif, tujuan-tujuan, dan fundamental maknawi sistem itu berpijak. Praktek
politik yang dijalankan Nabi sangat memenuhi syarat sebagai negara berperadaban
tinggi (baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafuur). Kesuksesannya sebagai negarawan dan politikus dapat dilihat dalam
berbagai aspek.
Pertama, profesional dalam melaksanakan
fungsi sebagai pemimpin politik tertinggi. Nabi merupakan pemimpin yang lengkap
dengan kualitas-kualitas kepemimpinan, baik dalam konteks keilmuan,
kebijaksanan, dan tindakan nyata. Nabi Muhammad tidak hanya sekedar pemimpin
yang pandai beretorika, namun juga melaksanakan apa yang telah dikatakan dalam
kehidupan sehari-hari dengan penuh kebijaksanaan. Hal ini menunjukkan betapa
luhur budi yang dimiliki oleh Nabi Muhammad. Karena keluhuran budinya, nabi dijuluki dengan “al-Amiin” yang artinya
dapat dipercaya. Serta banyak orang yang kemudian menjadi pengikutnya. Baik
memeluk islam, atau hanya sekedar tunduk dengan kepemimpinan politiknya. Nabi
memberikan pelayanan pada setiap elemen masyarakat dengan pelayanan yang
terbaik.
Kedua, menjalankan pola hidup asketik
(sederhana). Nabi Muhammad sebagai pemimpin politik tertinggi, menjalankan
segala aktivitas politiknya bukan untuk memperkaya diri sendiri, keluarga dan
orang terdekatnya. Melainkan untuk menata masyarakat serta mewujudkan perbaikan
dalam segala lini kehidupan. Dan untuk itu, Nabi Muhammad sering melakukan
perjuangan besar. Mengorbankan harta benda, bahkan juga nyawa-nya demi
perbaikan masyarakat islam. Sehingga, kehidupannya sebagai pemimpin politik
tertinggi sangat jauh dari keglamoran dan perilaku koruptif.
Ketiga, mahir membangun konsensus. Nabi
selalu mengedepankan cara damai dalam setiap penyelesaian masalah. Untuk
mengantisipasi terjadinya kekacauan, Nabi memimpin kelompok-kelompok di Madinah
membuat kesepakatan atau konsensus. Sebagai upaya menjaga dan mempertahankan
Madinah sebagai negara yang utuh dan berdaulat. Yang pada akhirnya, consensus
itu dikenal dengan piagam madinah.
Keempat, memiliki kepercayaan diri yang
tinggi dengan mengedepankan cara-cara damai. Seorang pemimpin itu dituntut
mempunyai kepercayaan diri yang tinggi di hadapan pemimpin-pemimpin lain dalam konteks
pergaulan dunia. Sebab, negara akan dilecehkan oleh bangsa lain jika
pemimpinnya seorang yang rendah diri. Nabi Muhammad memilikinya. Beliau yang
pada saat itu sebagai pemimpin baru Madinah tak canggung melakukan komunikasi
dengan pemimpin politik sekitar yang telah lama berkuasa. Dengan percaya diri Nabi
berkirim surat mengajak pemimpin-pemimpin sekitar untuk memeluk agama islam.
Kemudian
respon merekalah yang menentukan sikap Nabi. Kepada mereka yang mau memeluk Islam,
menerima dakwah itu secara baik, Nabi dengan senang hati menerimanya. Kepada
mereka yang tidak menerima Islam, namun menghormati Islam dengan membalas
suratnya secara baik, Nabi menjalin hubungan baik dengan negaranya. Akan
tetapi, kepada pemimpin yang tidak menerima Islam, tidak mau membalas surat,
dan membuka pintu permusuhan, Nabi menyikapinya dengan melakukan tindakan
tegas.
Oleh
sebab itu, jika ada yang mengatakan bahwa Islam disebarkan dengan jalur pedang
adalah sebuah kekeliruan yang amat fatal. Islam disebarkan dengan penuh cinta
dan kasih sayang, untuk menyelamatkan umat manusia dari kesesatan dan
kebiadaban.
Kelima, membangun paradigma keberagaman
sebagai hukum alam. Nabi Muhammad tidak pernah membedakan pengikutnya yang
muslim ataupun non muslim. Yang satu suku dengan Nabi ataupun tidak. Mereka
semua mendapat perlakuan yang sama istemawanya di mata Nabi, negara dan
pemerintahan. Nabi tak pernah membeda-bedakan derajat masyarakat pengikutnya. Semangat
tidak membeda-bedakan ini tercermin dalam perkataan beliau,”Jika Fathimah binti
Muhammad mencuri, Aku sendirilah yang akan memotong tangannya”.
Keenam, membangun sistem pemerintahan
meri-tokrasi. Nabi Muhammad tidak membangun kerajaan sebagaimana
penguasa-penguasa lain yang berkuasa saat itu. Nabi Muhammad tidak pernah
berwasiat ihwal kepada siapa tongkat estafet pemerintahan akan diberikan pasca
meninggalnya beliau. Pemimpin politik dipilih sendiri oleh umat Islam dengan
melakukan baiat kepada Abu Bakar. Begitu juga pemimpin politik sepeninggal Abu
Bakar. Khalifah Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib
dipilih dan dibaiat oleh umat Islam sendiri.
Begitu
agung praktik politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, sang Insan Kamil. Tak
sedikitpun ditemukan kecacatan politik. Kehidupan politik yang dipraktekkan
Rasulullah sangat jauh dari unsur KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Hal ini
sangat berkebalikan dengan sistem politik pemerintahan yang ada di negeri kita ini.
Praktek KKN marak terjadi di berbagai lembaga pemerintahan. Para pejabat yang
menduduki kursi pemerintahan cenderung memperkaya diri. Orasi anti-korupsi
disorak-sorakkan, namun dia sendiri terjerat kasus korupsi. Para pemimpin
politik negeri hanya pandai beretorika, tak ubahnya sama dengan tong kosong.
Mohammad Sholihul Wafi, aktivis HMI UIN Sunan Kalijaga
dan Peserta Sekolah Poltik di Al-Qadiriyyah Yogyakarta