Resensi Film
Oleh Selendang Sulaiman
Seseorang menulis dalam
sebuah catatan atau Review Film: Goodbye First Love “Salah satu tolak ukur
dari berhasil atau tidak sebuah film dengan genre drama dan romance bagi saya
adalah apakah film tersebut berhasil mengajak saya untuk ikut merasakan apa yang
karakter rasakan dengan cinta mereka, seolah terpenjara dalam kisah mereka.” (Sumber). Adalah sebuah pernyataan sederhana bagi
seorang penikmat film-film drama dan romance. Sebagaimana yang saya pikirkan
dan pernyataan tadi sudahlah cukup mewakilinya (untuk tidak mengatakan
membenarkan belaka).
Kisah cinta remaja sudahlah
banyak diceritakan oleh para penulis dunia. Dapat disebutkan diantaranya:
Romeo-Juliet, Laila-Qays, Sam peak-Eng Thai, Zainuddin-Hayati, dan masih banyak
lagi dalam bentuk cerita (baik cerita pendek maupun Novel), Puisi, Drama dan
Film. Dalam catatan ini, saya ingin mengabadikan apa yang saya terima dari Film
yang saya tonton yaitu, Goodbye First Love.
Film itu menceritakan sebuah kisah
seorang gadis berusia 15 tahun bernama Camille (Lola Créton), gadis yang
digambarkan cantik dan seksi itu dengan mudah terbakar api cinta dari seorang
lelaki yang kemudian menjadi kekasihnya Sullivan (Sebastian Urzendowsky). Getar
cinta membadai dalam diri Camile sepanjang waktu. Cinta dan kebebasan meluapkan
hasrat terjadi di antara keduanya. Memahami pola percintaan mereka, dapat
dibayangkan bagaimana kebiasaan anak-anak muda di Eropah dalam mengekspresikan
kesenangan memerankan cinta yang tumbuh di usia muda.
Kisah cinta akan bertambah
manis dan tragis diceritakan jika perpisahan terjadi. Dalam film itu-pun,
perpisahan tidak dapak dielakkan terjadi. Berpisah dengan penuh keyakinan
menuruti obsesi. Ya, obsesi seorang lelaki muda yang gemar melakukan perjalanan
melakukan sebuah eksprimen. Sebagaimana Sullivan yang akhirnya memutuskan untuk
pergi ke Amerika Selatan, untuk melanjutkan eksperimennya. Kesedihan Camille
mengantarnya pergi dan untuk setia menanti demi cinta sejati.
Kecerdasan imajinasi si
pencerita di sini akan menentukan kisah Sullivan dengan Camille yang berada di
dua berbeda. Surat menyurat adalah alat komunikasi paling romantis yang
dilakukan oleh sepasang kekasih jarak jauh. Sullivan setia memberi kabar lewat
surat cinta. Untaian pujian dan kerinduan tumpah di atas kertas yang senantiasa
sampai di tangan Camille. Sebuah prangko dari kota-kota di Amerika Selatan
menegaskan keberadaan Sullivan. Dan Camille akan setia memberi tanda pada peta
yang ditempel di dindingnya. Dengan buah-buah peniti warna-warni, ia akan
menancapkannya di titik kota dalam peta, sebagai tanda bahwa Sullivan sedang di
sana.
Penuh
cinta Camille menusukkan peniti pada peta. Matanya mengisyaratkan rindu dan
kebahagiaan. Ia tak pernah peduli dengan godaan Ibunya, yang pernah berkata,
jika Camille masih terlalu belia dan menjadi gila sebab cintanya pada Sulliva.
Tetapi, Ia tak pernah menggubris perkataan Ibunya, Ia
yakin jika keadaan di hati dan pikirannya bukanlah kekacauan melainkan getar
cinta dan rindu yang membadai.
Sampai
tibalah saat-saat menegangkan dalam diri Camille, berhari-hari surat dari
Sullivan tak datang. Kotak surat di sekolahnya tetap tak membuat ia tersenyum.
Kotak surat di rumahnya juga hanya menambah kedihan dalam menanti. Dan yang
terpenting adalah, bagaimana si sutradara hanya menampakkan dalam Film itu
dengan satu adegan: Camille membuka kotak surat di sekolahnya dalam keadaan
kosong setelah pulang ke rumah, ia mencopot peta itu dari dinding. Ia putus
asa. Dan surat tak datang lagi, setelah surat yang terkhir berisi ungkapan
cinta yang memberi pilihan terbaik: If you love, lets me go.
Camille mengerti meski ia tampak sebagai ‘sebuah gelas retak, dan tinggal menunggu waktu untuk pecah’. Hancurlah hatinya, harapan hidupnya, dan tak ada kata
lain selain penderitaan yang disembunyikan dalam dirinya. Janji Sullivan untuk kembali setelah dalam 10 bulan ternyata hanyalah kata untuk menyenangkan hati
Camille. Dan siapa
yang tahu setiap paradoks dalam diri seorang lelaki yang menyinta. Dan siapa
yang dapat melihat segala kepribadian di dalamnya. Sungguh, betapa hati manusia
memang tak dapat diselami kedalamannya.
Adegan
potong rambut yang dilakukan Camille adalah imajinasi paling
lembut untuk menggambarkan keputus-asaan. Empat tahun berlalu dalam
keterpurukan seorang gadis yang mengalami cinta pertama sejak usia 15 tahun.
Sebagaimana luka yang kemungkinan besar dapat sembuh entah dengan waktu
seberapa panjangnya. Camille terbuka mata hati dan pikirannya menjadi normal.
Hidupnya kembali ia bangun sebagaimana sebuah kastil yang tumbuh dari
reruntuhan sejarah kebesaran ersitektur di Eropah.
Camille
memulai hidup barunya di sebuah sekolah arsitektur. Di kelas ia bertemu dengan
seorang dosen yang baik dan bersahaja. Lorenz (Magne-Havard Brekke)
namanya. Kebaikan demi kebaikan dalam pelajaran yang menyenangkan hatinya,
benih-benih perasaan tumbuh lagi di kebun hatinya yang pernah terbakar oleh
cinta seorang lelaki romantis tak bertanggung jawab. Lorenz akhirnya
menjadi pilihannya yang terbaik sebagai pendamping hidupnya. Sampai-sampai Camille
hanya ingin bersama pria yang lembut selembut hasil karyanya. Camille nyaman,
dan Lorenz berhasil memenuhi hal tersebut. Camille seolah tak melihat jika usia
lelaki yang dicintainya jauh lebih tua, sebab si Lorenz jauh lebih bertanggung
jawab terhadap cinta yang ia terima dengan lapang dada. Tanpa bayangan masa
lalu yang membuatnya terpuruk selama empat tahun.
Hari-hari
berlalu dalam kebahagiaan Camille, pembicaraan masalah arsitektur berlanjut
pada percakapan masa depan hidup mereka. Suatu hari, darah mengalir di paha
sampai betis Camille yang halus. Ia keguguran dan Lorenz sedih. Kekuatan cinta
kian besar mengekokohkan kebersamaan keduanya.
Sullivan kembali. Pertemuan dengan Camille
terjadi. Bertemu untuk bertukar kabar, bertemu untuk mengulang cerita cinta
yang pernah menjadi debu di atas dua benua, pertemuan dalam kehangatan yang
rahasia, dan pertemuan gelap yang tak mereka katakan sebagai perselingkuhan.
Dan akhirnya, dengan sebuah topi khas anak-anak bangsawan Eropa yang Zullivan
belikan buat Camille, dibiarkan terbang bersama angin ke arus sungai yang
menyeretnya sampai hilang. Selamat tinggal cinta pertama.
Dalam film
yang saya ceritakan ulang ini sepertinya hanya menggambarkan suatu cerita
dengan bumbu persoalan sebagai konflik yang cukup ringan. Sebagaimana kisah
cinta monyet waktu anak-anak Indonesia di masa remajanya. Apalagi judulnya segamblang
itu, tentu dengan mudah dapat ditebaknya ke mana cerita itu digulirkan oleh si sutradara atau si
pencerita.
Goodbye
First Love dapat disebutkan seolah melukiskan konflik utama dan
konflik yang menjadi pendukung untuk membuat film ini lebih terasa kemudian
berakhir dengan kesan yang tak memuaskan dalam kepuasan yang wah. Biarpun
sesederhana itu isi keseluruhan isi ceritanya, sang sutradara Mia Hansen,
perempuan berusia 31 tahun itu sedikit banyak menjadi magnet untuk melihat film
yang saya tuliskan catatannya ini.
Sang
Sutradara sebenarnya bertahan dalam caranya membungkus film ini dengan baik, cara penyampaian pesan yang dimilikinya tanpa harus memaksakan semua elemen terlalu jauh. Alur cerita
yang cukup lambat dan seolah membosankan tetapi terasa nikmat
itu, sejatinya merupakan
peluang terhadap penonton dalam waktu yang cukup banyak untuk lebih dekat dengan karakter, dan memahami
apa yang dirasakan oleh masing karakter di
dalamnya. Emosinya dimainkan dengan
begitu seksi dan cantik,
dimana kekuatan cinta yang dimiliki oleh dua karakter utama berhasil bertahan
hingga akhir, dan membentuk sebuah kombinasi yang baik dengan suka dan duka
yang disuntikkan.
110
menit kurang lebih durasi film itu, selama itu
penonton semacam dibawa mengembara agar memahami
bagaimana emosi yang kita miliki sesungguhnya tidak sederhana. Bayangkan
bagaimana Camille yang ditampakkan “disia-siakan” oleh Sullivan, ternyata dapat bersahabat kembali dengan keadaan dalam hidup barunya bersama Lorenz. Walaupun pada akhirnya
cinta yang sempat dipadamkan di hatinya bagi Sullivan dapat bangkit lagi sebagai cahaya dalam dirinya setelah delapan tahun berlalu.
Di sini, kisah
Camille dikemas menjadi bagian peran perasaan yang dominan oleh Mia sang sutradara dengan tujuan agar penonton
mampu lebih dalam memahami bagaimana kehadiran dan keberadaan cinta itu diperankan dengan cara yang benar ketika menghinggapi setiap hati manusia, dalam hal ini adalah penonton. Sementara tiga pemeran utama yang ada di dalamnya memang
tampak baik dalam menjalankan
peran dan tugasnya.
Goodbye First Love dapat dikatakan sebagai drama romantik yang cukup menarik. Klasik,
dan bahkan
semacam sudah dapat dipahami ke mana kisah itu akan
berakhir dan bagaimana prosesnya. Walaupun akan ada beberapa kisah yang hadir
tanpa terduga. Dalam beberapa bagian film
ini memang ada yang terkesan membosankan,
lantaran
sebuah kisah yang dijalankan dengan pelan.
Barangkali, bagi sebagian hal, itulah yang menjadi nilai
bahwa film ini masih ada kekurangannya. Kekurangan tersebut akan menjadi fatal
apabila, si penonton masih belum terbiasa dengan film-film yang menghidangkan cerita
semacam ini.
Tetapi,
film yang disutradai Mia Hansen-Løve ini (sekali lagi), memang merupakan film
yang berisi emosional yang cukup tinggi. Jika menontonnya dengan baik dan
benar, maka film itu akan menyisakan sebuah semangat baru dalam cinta, dari
kehancuran yang pernah dialami. Betapa menariknya film ini jika ditonton dengan
baik sebagai pelajaran di luar bangku sekolah dan
bangku kuliah.
Yang
terakhir adalah, catatan ini hanya catatan seorang penonton yang menggandrungi
film-film drama, Romance dan Commedy. Tak lebih dari sebuah kesan sederhana
usai memahami apa yang telah sutradara tawarkan lewat film
Selendang Sulaiman, penikmat dan pengamat film
drama, romance dan komedi. Tinggal di Yogyakarta sebagai Mahasiswa Sejarah dan
Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.