Cerbung Episode 48...
Oleh Sofi Muhammad
Ketika
tiba waktunya bagi kami untuk berpisah, pertengkaran demi pertengkaran
berhamburan. Memang parah itu Arya. Tiap kali hendak pergi, dia selalu saja
mengasingkan diri.
Di
pojok kamar, di sudut kasur, juga bahkan pergi entah ke mana, yang pada intinya
hanya untuk menunjukkan kemarahannya kepadaku. Makin lama, aku semakin tak kuat
jika dia terus begitu.
Dikira
aku wanita bertenaga kuda yang sampai kapan pun tak boleh mengeluh lelah. Sudah
begitu, makan pun harus mencari sendiri lagi. Arya sudah berubah. Dulu, dia tak
pernah membuatku sedemikian merana sedikit pun.
Seolah-olah,
sudah hilang segala bebatuan yang menggunung di dasar gunung. Kala memuntahkan
lahar panasnya, sama sekali sudah tak menyimpan bahkan sedikit pun kerikil yang
keluar berhamburan bersama kucuran panasnya yang meleleh lembek.
Jika
keterusan bersamanya, bukannya bahagia sebagaimana yang sempat kubayangkan dulu
kala. Tapi, justru setahap demi setahap dagingku ini akan tergerogoti karena
kekurangan jam tidur setiap hari.
“Tak
usah,” kataku pada Arya yang hendak memasuki kamar kosku.
“Kamu
kenapa, sih?” tanyanya dengan raut wajah kebinguangan.
“Kamu
itu yang kenapa.”
“Lho,
kok aku.”
Biarlah
mengering ia ditimpa guyuran empat puluh derajat radiasi matahari. Jika hujan
lebat datang pun, aku tak hendak lagi merasa kasihan. Dia yang tak pandai
mengasihiku, buat apa aku harus repot-repot begini.
Dari
dalam kamar, kukunci rapat-rapat dan tak kusisakan lagi sedikit pun kesempatan
bagi Arya. Tak hanya pintu tapi juga seluruh jendela di bungalau hatiku ini.
Biar sempit hingga benar-benar tak ada sekelebat tiupan Arya yang bisa masuk ke
dalamnya.
“Memangnya
kenapa, Ras?” tanya Santi kala kami hanya berdua saja dalam kamar kosku.
Udara
yang pengap lantaran pintu dan jendela yang masih kututup rapat membuat
kepalaku sendiri akhirnya pun jadi pusing.
“Aku
bosan, San.”
“Kok
bosan?!”
“Arya
itu, dia tidak seperti yang dulu.”
Beberapa
kendaraan berseliweran, berkejar-kejaran dengan angin ribut yang hendak
mendatangkan hujan. Memang belum pergi musim hujan di musim ini. Padahal sudah
bosan kehujanan, hujan batin, hujan air mata.
“Kalau
bosan ya sudah,” ujar Santi sedikit cuek.
Ah,
dia sih tak bisa merasakan sakitnya ini. Bahkan, mencintai seseorang dengan
sangat besar pun sepertinya tidak pernah. Makanya, ya tak bisa segalau aku ini.
Kalau begitu, apa harus seperti Santi saja biar tak usah menderita?!
“Menurutmu,
dia itu wajar nggak sih, San?”
“Ya
nggak tahu juga.”
“Kamu
nggak pernah menjumpai yang seperti Arya?”
“Sejauh
ini sih, belum.”
Tuh,
kan.
***
Jika
lagi-lagi Arya datang untuk menyodorkan birahinya, aku memang tegas hendak
berhenti. Kebetulan belum ada benih juga maka aku berani setegas ini. Syukur
banget deh tukang KTP itu keburu mati sebelum aku memiliki keberanian untuk
bermimpi lebih jauh lagi dengan Arya.
Tahu
begini, harusnya, ya, memang tak perlu terlalu termakan oleh mimpi aku ini.
Bisri yang sedemikian baik malah aku curigai. Sedangkan Arya, begini inikah
lelaki yang aku minta.
Sudah
kubilang capek berkali-kali tapi dia tetap saja tidak mengerti. Beberapa hari
terakhir ini, sakit pinggang Bu Sur memang semakin parah. Karena dia sudah tak
punya siapa-siapa, ya tentu saja merasa berhak untuk menuntut haknya
terhadapku.
Tak
kenal waktu, baik pagi, siang, sore, bahkan malam; kapan pun encoknya kumat,
mau tidak mau aku harus bersedia mengantarkannya ke klinik atau sekadar
menggenjoti kulit tebalnya itu dengan sepasang barbell yang telah tersedia.
Setibanya
di kos, tinggal keletihanku saja. Begitu hendak memejamkan mata, Arya lagi-lagi
datang. Jika datang dengan pijatan tangannya, aku tentu mau-mau saja. Tapi
kedatangannya itu justru malah hendak menambahi pegal-pegal di badanku.
Apa
lebih baik sendiri saja barang kali. Toh selama ini aku juga bisa makan, bisa
tetap hidup meski bertahun-tahun tak ada Arya di sisiku. Kalau dia memang tak
bisa bersabar hingga menunggu keadaannya membaik, silakan saja cari yang lain.
“Kamu
ini kenapa, Ras?” tanya Arya lagi yang memang belum terima dengan kengambekanku
ini.
“Aku
males sama kamu!”
Tidak,
sudah cukuplah semua. Dari pada lama-lama aku mati berada di tangannya, maka
memang akan terasa lebih baik mati sendiri. Sekalian saja biar dibuang di tong
sampah jika tak ada yang bersedia mengubur.
Meski
mati pun tapi toh jiwaku akan terus menggentayangi, mengganggui para manusia
bernasib baik yang tak pernah peduli kepadaku.
“Ras,”
Arya masih mencoba dengan sejuta dalih, “bajuku masih ketinggalan.”
Namun,
sia-sia saja karena memang kulempar beberapa potong bajunya melalui jendela.
“Laptopku,
Ras.”
Menyebalkan.
Memang Arya itu menyebalkan sekali. Tapi, jika dia bisa, maka aku pun jauh
lebih bisa untuk menjadi orang yang sangat lebih menyebalkan lagi dari padanya.
“Besok
saja biar kutitipkan pada Santi,” kataku, “aku mau tidur. Capek!”
Dan
selanjutnya, biar sampai mati pun dia menunggu di depan pintu, aku tak kan mau
peduli.
Arya,
jika bukan karena aku sangat mencintaimu, sangat dalam mencintaimu, maka aku
tak akan mungkin sejahat ini. Terlalu besar barang kali harapanku hingga ketika
ia mematahkannya, benar-benar sakit rasanya.
Jika,
jika kegelapan itu memang sebuah kewajaran, maka harusnya sang siang pun
menyusul kemudian. Tapi Arya, kegelapan duniamu justru semakin menghilangkan
setitik sinar yang dulu sempat menerangiku. Tak hanya gelap, tapi denganmu,
duniaku malah menjadi semakin gulita tiada tara.
Bersambung
Episode 49…