Cerbung
Edisi 51…
Oleh Sofi Muhammad
Meski
baru pertama kali mendengar istilah itu, namun seolah-olah sudah tahu benar
aku. Di pikiranku langsung saja terbersit seonggok penyakit memalukan yang
bahkan jika hendak dibawa ke rumah sakit pun harus dengan sembunyi-sembunyi
benar.
Segera
setelahnya, usai kudengar penuturan Arya, kurogoh sebuah tissue untuk mengusap bibirku ini. Selelehan bubur candil masih
menempel tadi. Usai kulap, kubuang tissue
itu ke tong sampah yang berada di luar kamar, sebelah pintu.
Baru
sekitar pukul enam pagi, namun jalanan di depan kosku sudah mulai
dihingar-bingari oleh suara knalpot motor yang berkejar-kejaran melawan arus
waktu. Semakin siang semakin pelan rayapannya.
Jika
masih sangat pagi, atau bahkan dini hari, suara knalpot bak palu pemecah
kepingan kaca. Sedangkan jika matahari mulai meninggi, giliran dengungan
kumbang jalanan yang merayapi lautan beraspal.
Sambil
berdiri agak lama di sandaran pintu, kuraih pula saklar dan kumatikan. Biar
gelap saja sekalian. Terang pun, rasanya juga tetap gelap.
“Nggak
ngantor, Ras?” tanya Santi yang sedang meregangkan tubuh di depan kamarnya.
“Nanti.”
“Itu,”
kata Santi sambil melihat ke arah mobil Arya, “dia di sini?”
“Iya.”
Tak
ada komentar lebih dari Santi, hanya senyam-senyum saja dia, sebagai pertanda adanya
sebuah pelecehan terhadapku.
Ha,
ha, pelecehan.
“Manjur
banget dukunnya Arya, ya Ras?” sindir Santi.
“Banget,
San.”
“Ha,
ha.”
“Masih
sayang berat kok, San, he-he.”
Memang
sangat manjur jika saja Arya tak usah mengatakan hal itu tadi. Seakan-akan, pemberitahuannya
barusan itu malah menjadi tanda minus yang sedikit membuatku jadi ilfill. Malah jauh lebih parah dari Mas
Hadi, Rio dan kawan-kawan, Arya itu.
Jika
semisal ada sebuah lampu merah di kota dan kau terobos berulang kali, maka
meski dikira kau sakit, sakit jiwa, itu akan jauh lebih tidak memalukan daripada
yang ini. Uh, bahkan menyebutkannya kala harus masuk ke ruang khusus menghadap
seorang berjas putih pun rasanya tidak semudah saat kau berkata sedang ada
gangguan kulit di sekitar anus.
“Kamu
keberatan, Ras?” tanya Arya ketika aku sudah kembali duduk di dekatnya.
Kusingkirkan
semangkuk bubur candil yang belum habis. Aku memang tak tahu benar seberapa
efeknya itu bagi hubungan kami selanjutnya. Mendengar jenisnya saja, aku sudah
merasa, ya, keberatan.
“Aku
mau mandi dulu ya,” kataku pada Arya tanpa sempat memberikan komentar apapun
padanya.
Kemudian,
kusambar handuk yang bergelantung di belakang pintu. Diam sejenak, kuamati kaos
hitam kami yang baru saja kugantung tadi.
“Nanti
malam, jadi nonton?” tanyaku.
“Jadilah,
Ras,” jawab Arya, “kamu mau membatalkan?”
***
Jarum
jam sudah menunjukkan pukul tujuh kala aku dan Arya bersama-sama menuju mobil
bosnya. Tak sedang hendak naik motor. Capek, pingin agak manja juga
sekali-kali. Toh sedang tak ada job mengantar atau mengambil sesuatu.
Ya,
mungkin hanya bersih-bersih sedikit, atau kalau encoknya Bu Sur kumat lagi, ya
paling dipijit sebentar. Kalau istilah yang sering dipakai para pekerja
kantoran itu, cuma absen begitulah.
Asal
terlihat ada di depan mata Bu Sur, kan di awal bulan bisa dipastikan gajian.
Bu
Sur itu termasuk sosok yang disiplin. Bahkan menyapu pun, tak boleh ada debu
setitik yang boleh tertinggal. Jika sampai ketahuan, bisa dikenai pemotongan
gaji.
Uh,
untung sudah mulai rabun matanya, rabun ayam. Pernah sekali waktu Bu Sur menubruk
daun pintu padahal ya jelas-jelas bukan terbuat dari yang sebening kaca. Sampai
benjol pula keningnya.
Setelah
benjol, bukannya pingsan malah marah-marah. Berhubung yang ada hanya aku
seorang manusia yang ada di dekatnya, akulah yang pada akhirnya menjadi korban
kebengisan aroma jengkol dari mulutnya.
“Hati-hati
ya, Ras,” kata Arya sebelum ia meninggalkanku sendirian di rumah Bu Sur.
Menyindir
sekali Arya itu. Malah senyam-senyum tak jelas lagi. Lha apa Bu Sur dikira
macan atau kuda lumping hingga harus pakai ‘hati-hati’ saat dekat-dekat
dengannya.
“Nanti
dijemput jam berapa?” tanya Arya.
“Sore
saja.”
“Ok,”
Arya kembali mengarahkan pandangannya ke sebundaran stir yang melingkar di
depannya. Seperti hendak ada yang disampaikan namun tidak jadi. Ya sudah,
terserah kalau begitu.
“Laras!”
Bu Sur sudah memanggil dengan lantang dari dalam rumah.
“Iya,
Bu,” jawabku.
Buru-buru
kumembalikkan badan agar bisa mengejar teriakan Bu Sur yang bertubi-tubi. Tapi,
baru sampai di pintu gerbang, kulihat ada seorang lelaki dengan pakaian lusuh
menghentikanku.
Kayak
ninja saja lelaki itu. Tadi belum ada kok ya sudah tiba-tiba muncul di depan
mata. Kontan saja jantungku ini hampir copot saking tak kuatnya menahan
goncangan rem mendadak.
“Cari
siapa, Pak?” tanyaku setengah membentak saking kagetnya.
Bukannya
menjawab tapi dia malah mengawasiku, memutariku.
“Arya,”
teriakku, “sini!”
Untung
saja Arya belum pergi. Maka, buru-buru ia melompat dari mobil dan secepat kilat
sudah mendampingiku.
“Pergi
nggak!” bentak Arya, “tak lempar ini.”
Arya
sudah mengambil batu berpura-pura hendak melempari orang gila itu. Sebelum
benar-benar dilempar, sudah kabur duluan. Uh, beruntung banget. Tapi
setelahnya, malah Arya tertawa terpingkal-pingkal menertawaiku.
“Takut
ya, Ras, ha…ha…”
“Nggak.”
“Bohong
itu, ha…ha…” dia malah tertawa lagi.
Ih,
nyebelin.
Bersambung
Episode 52…