Cerbung
Episode ke 49….
Oleh Sofi Muhammad
Sehari
setelahnya, aku tak lagi menemukan batang hidung Arya lagi. Memang tumben tidak
kelihatan. Pikirku, mungkin dia sudah mulai bosan, dan ternyata benar.
Berhari-hari
ke depannya, dia benar-benar tak pernah lagi datang. Awalnya lumayan tenang karena
dia sudah mulai mampu menerima kenyataan. Bahkan, jika ia hendak mencari simpanan
lain, aku pun juga sudah berbesar hati melepaskannya.
“Sudah
lega?” tanya Santi.
“Lumayan,
San.”
“Kok
lumayan,” sergah Santi, “harusnya ya lega banget.”
Ternyata
ya tidak secepat itu. Tentu saja aku butuh waktu untuk bisa selega banget
seperti yang dituntut Santi. Bukan lantaran tidak lega setelah berpisah, hanya
memang terkadang sulit menghapus tinta pena dari pensil.
Kala
menekuni pekerjaan di rumah Bu Sur, aku memiliki lebih banyak waktu longgar.
Andaikan disuruh menemani yang lagi kumat encoknya, aku juga tak terlalu
kepikiran karena sudah tak ditunggui orang di rumah.
“Sampai
besok ya Ras,” kata Bu Sur, “kalau malam itu encokku parah.”
“Iya,
Bu.”
“Eh,
lha uang kos yang di UNDIP sudah ditarik?”
“Sudah,
Bu.”
“Beres?”
“Ada
satu anak yang kebetulan pulang kampung. Katanya, kakaknya menikah. Jadi, yang
satu itu belum.”
“Oh,
tapi hati-hati dengan orang itu. Bisa-bisa, malah melarikan diri dia.”
“Iya,
Bu.”
Sebenarnya
tidak terlalu berat. Jika Bu Sur sedang tak ingin ke mana-mana, tugasku hanya
sekadar nonton TV di ruang tengah. Kalau mau makan ya bisa ambil sendiri di
kulkas. Meski agak ngeri saat melihat Bu Sur makan ubi madu, tapi terkadang aku
mencicipi juga.
Semanis
madu rasanya.
Tapi,
yang lebih sering kunikmati adalah buah apel. Suka sekali aku. Dengan daging
buah yang tak selembek durian, serta tak sekeras bengkuang, bagiku apel adalah
yang paling pas.
Sayangnya,
Bu Sur kurang suka buah. Alhasil, meski repot-repot ia beli ketika kami pergi
ke pasar, tapi kebanyakan malah aku sendiri yang menghabiskan. Iseng-iseng,
terkadang kubawa pulang juga.
Selain
apel, ada juga semangka yang juga sama-sama aku suka. Daging merah segarnya itu
yang bikin aku selalu tak tahan. Sudah manis yang tak terlalu manis, serta banyak
sekali kandungan airnya.
Bahkan,
sampai bosan itu Arya jika melihatku maniak sekali menyantap apel dan semangka.
Tapi, Arya.
Huft.
Terkadang, aku masih lupa juga jika Arya sudah tak tinggal lagi bersamaku.
Entah pergi ke manakah dia. Brengsek sekali perasaanku ini. Hanya dengan
melihati buah semangka saja, aku sudah bisa merindukannya.
***
“Giliran
yang mana, Ras?” tanya Bu Sur.
“UNNES,
Bu.”
“Nanti
malam antar aku ke klinik lagi, ya.”
“Iya,
Bu. Jam berapa?”
“Jam
tujuh.”
Motorku
pun melaju dengan sedikit lebih kencang dari pada biasanya. Memang sedang
kubutuhkan kecepatan itu untuk menerbangkan segala pikiran buntuku. Jika
disertai angin nan kencang, sudah pasti kabur dia.
Ketika
berhenti di lampu merah, rasanya memang gatal sekali tangan ini hendak membuka
HP. Namun, kemudian kuurungkan karena kutahu bahwa Arya sudah tak akan mungkin
mengirimiku SMS lagi.
Iya,
baru awal, Ras, batinku menenangkan diriku sendiri.
Motorku
kembali melaju namun tak lagi secepat yang tadi. Usai melihat orang srempetan
persis di depan mata, bulu kudukku merinding. Selain itu, mendadak leukemia
jadinya, lemas tak berdaya.
Sekadar
menyetir motor saja hampir tak kuat saat teringat darah yang berceceran di atas
aspal. Memang kepala korban, yang anak SMA itu, terserempet badan truk ketika
dia hampir menyalip sementara jalanan terlalu sempit.
Beruntung
karena motor yang dinaikinya tak langsung ambruk dan masuk ke bawah badan truk.
Jika begitu, bisa kelindas sekalian kepala beserta seluruh anggota badannya. Tanganku
yang lemas dan hampir tak kuat nyetir ini bahkan masih terhitung efek terkecil.
Kalau
sedang makan saja, bawaannya pasti mau muntah ingat kejadian itu. Seolah-olah,
ceceran darah itu seperti saus yang membanjir di atas piring. Jika hendak ke
kamar mandi, ya kaya ada tangan-tangan asing yang tiba-tiba menepuk bahu.
Belum
lagi saat tidur. Jika biasanya kamarku terasa biasa saja, kala sehabis melihat
yang demikian, tentulah berubah luar biasa. Seolah-olah, si korban, apalagi
yang tewas, seperti duduk atau berdiri di pojok kamar, menungguiku.
Kupikir
sebagian orang juga begitu. Santi malah lebih parah lagi. Ketika dia dulu
menjengkuk ibunya yang berada di rumah sakit karena pendarahan, bahkan sekadar
memasuki toilet rumah sakit pun dia tak berani.
Aku
sediri memang tak pernah seumur-umur masuk rumah sakit, dan semoga tidak pernah
sama sekali.
Tak
hanya sekadar memasuki toilet, masuk ke dalam lift saja, Santi juga tak berani.
Hal itu disebabkan karena dia pernah melihat mayat yang ditarik dengan kasur
ber-roda dari lantai dua dan dibawa turun melalui lift.
Kepala
mayat wanita yang kelihatannya habis melahirkan itu sempat mengintip sedikit
dari balik selubung putihnya. Seolah-olah, iya menyampaikan goodbye untuk Santi. Saking
mendramatisir keadaan, sampai-sampai, botol Aqua yang baru saja dibelinya di
kantin, jatuh ke lantai lantaran tangannya terlalu lemas hingga tak bisa
menjadi seratus persen.
“Setelah
itu, Ras,” kata Santi, “meski ruangan ibukku ada di lantai dua, ya aku
bolak-balik naik tangga kalau disuruh apa-apa.”
Akh,
sudah.
Terlalu
lama membayangkan malah bisa merusak konsentrasi berkendara. Malah semakin gawat
kan kalau aku sendiri yang celaka terus dibawa ke rumah sakit. Sudah tak suka
dengan tempatnya, sudah tentu tak ada yang mengunjungi pula.
Ketika
korban srempetan tadi sudah dievakuasi, aku sempat merogoh HP di saku jaket.
Hasrat berceritaku ini memang tinggi. Begitu mendapati kejadian yang tak biasa
di depan mata, langsung aku tergiur untuk berbagi cerita. Tapi, kuurungkan niat
itu setelah ingat bahwa Arya sudah barang tentu tak lagi mau mendengarkanku.
Bersambung
Episode ke 50…