Oleh Fachry
Uciha
Blusukan Jokowi |
Istilah
blusukan dipopulerkan oleh Jokowi saat Pilgub Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Blusukan adalah aktifitas politik turun langsung ke kampung-kampung untuk menemui warga dalam rangka mencari
suara.
Dalam masa kampanye, blusukan memang
efektif untuk mendongkrak rating elektabilitas. Kemenangan Jokowi atas Fauzi
Bowo adalah sebuah bukti. Bahwa seorang pendatang baru yang sederhana, mampu
mengalahkan Incumbent yang sudah punya nama dan lebih dahulu memiliki
garis “’start” politik. Cara blusukan memang terbilang “nyleneh”, tapi justru
sebab itu, nama Jokowi bisa melejit karena dikenal banyak warga.
Metode
ini dinilai sangat efektif untuk merebut hati masyarakat. Sebab selama
ini, sangat jarang pemimpin kaliber turun ke bawah hanya
untuk mendengarkan keluh-kesah. Awalnya memang aktifitas politik, namun lebih
dari itu, blusukan nampaknya memberikan pengetahuan terhadap calon pemimpin
atas kondisi riil sebagai bahan proyeksi kepemimpinan ke depan. Hal ini tentu
akan mempengaruhi arah kebijakan yang akan ditetapkan, agar tepat sasaran.
Setelah terpilih menjadi Gubernur,
blusukan berubah fungsi menjadi metode pendekatan interaktif atas kebijakan
yang akan Jokowi ambil. Ini bertujuan agar kebijakan yang diterapkan tidak
sepihak dan menimbulkan banyak konflik. Seperti relokasi PKL Tanah abang,
revitalisasi waduk Pluit, penertiban rumah kumuh dan segala hal mengenai
problematika Jakarta, Jokowi selalu mengedapankan sikap “salam-sapa”.
Singkatnya, aktifitas blusukan terlihat telah menghancurkan bangunan kelas
sosial “atas-bawah”, antara otoritas dan masyarakat.
Blusukan kian “cetar membahana” saat
trik ini dipraktekan juga oleh para politisi yang ingin naik “kursi”. Salah
satunya adalah Cagub Jatim, Khofifah. Cagub yang berkali-kali kalah kompetisi
ini melakukan blusukan ke pemukiman warga untuk menggalang dukungan (13/08/13).
Belajar dari Jokowi dalam Pilgub Jakarta, Khofifah tentu tak ingin menelan
kekalahan kesekian kali. Oleh karena itu, ia menggunakan trik yang sama dengan
harapan hasil yang sama pula. Jelang tahun politik 2014, blusukan sudah menjadi
trend wajib. Meski nasib keberhasilan mereka belum tentu secemerlang Jokowi,
yang jelas blusukan telah menjadi “primadona” bagi setiap kalangan yang haus
kekuasaan.
Behind Blusukan
Politik adalah bagaimana cara agar menjadi juara dalam perhelatan
perebutan kekuasaan. Dalam rangka tersebut, manufer-manufer brilian selalu
diterapkan agar bisa keluar sebagai pemenang. Dan fakta membuktikan, bahwa
blusukan adalah alat politik yang lebih canggih dari “mesin pencari suara”.
Sebab, blusukan merupakan pendekatan kultural yang mencitrakan pelakunya
sebagai sosok yang bersahabat dengan masyarakat. Citra inilah yang menjadikan seseorang
dipilih menjadi pemimpin oleh masyarakat.
Namun, politik tetaplah politik.
Aktifitas blusukan adalah simbol kemunafikan. Blusukan adalah revolusi dari
janji-janji gombal politisi, modus lama dalam balutan yang ideal. Sebab, banyak sekali pejabat yang
tiba-tiba mendadak ramah-tamah dan basa-basi dengan masyarakat, meminta
dukungan untuk menjadi seorang pemimpin. Namun setelah mendapat dukungan,
justru tidak mendukung kesejahteraan rakyat dan tiba-tiba menghilang bak
ditelan bumi. Meski blusukan memberikan informasi riil di lapangan, namun pada
dasarnya blusukan hanya politik sesaat yang sesat.
Kalaupun blusukan tetap dilakukan saat masa
kepemimpinan, itu tak lebih dari proyeksi kontiunitas politik ke depan, guna
mendongkrak elektabilitas untuk kepentingan lanjutan. Apalagi Pilpres 2014 kian
dekat, “blusak-blusuk” pun kian marak dilakukan untuk membangun kekuatan.
Dinamika perpolitikan bangsa ini memang lucu, suka munafik bila hadir tahun
politik. Tahun 2014 adalah tahun para
pejabat untuk menjadi “manusia sok baik” dalam kenyataan masyarakat yang
semakin tercekik, dengan kinerja pejabat yang tak kunjung membaik.
Jika membaca sejarah Islam, terdapat kisah masyhur tentang
keasketisan Umar bin Khattab. Umar adalah “Presiden” Arab yang gencar blusukan
malam diam-diam, untuk mengetahui kondisi rakyat yang sebenarnya. Dalam
ekspansi tersebut, Umar banyak menemui warganya yang masih miskin-kelaparan.
Dengan tanpa memperdulikan statusnya, Umar rela menggotong karung gandum dari
gudang Negara untuk dibagikan kepada warganya
Dari kisah diatas dapat disimpulkan,
bahwa blusukan haruslah dengan hati nurani, tulus dengan orientasi memperbaiki
kondisi. Bukan karena nafsu jabatan tinggi, kepentingan dan tanpa solusi.
Kerinduan masyarakat akan pemimpin yang idealis-realistis harusnya diobati
dengan pembuktian yang nyata, bukan hanya dengan “blusak-blusuk” saja.
Pemilu
yang Lebih Baik
Standar pemilu berkualitas bisa diukur dari kualitas pemimpin yang
dihasilkan. Jika disepakati pemimpin yang baik melahirkan kondisi yang baik.
Maka Indonesia adalah representasi dari hasil kepemimpinan yang buruk. Sebab,
kondisi di segala dimensi belum juga membaik seiring silih bergantinya
pemimpin, sejak Orde lama sampai Reformasi.
Pemilu selama ini terlalu banyak
diwarnai dengan trik-trik egois jangka pendek, salah satu contohnya adalah
blusukan. Politisinya bermental
“kuasa-materi” dan terlihat tak peduli. Buktinya, banyak politisi yang
berkali-kali mencalonkan diri sebagai pejabat tinggi, meskipun berkali-kali
gagal. Padahal, dana untuk mencalonkan diri sebagai pejabat tinggi itu tidak
sedikit. Alangkah baiknya bila dana tersebut digunakan untuk kepentingan rakyat
yang membutuhkan. Menghambur-hamburkan uang hanya untuk jabatan bukanlah cermin
pemimpin yang ideal.
Pilpres 2014 akan segera dihelat,
mengharap aktivitas blusukan tidak hanya sekedar misi pencitraan. Melainkan panggilan hati yang terdalam
sebagai bentuk rasa kepedulian. Oleh karena itu, blusukan harusnya tidak
dilakukan saat ada kepentingan pencalonan saja, melainkan dijadikan rutinitas
kemanusiaan agar masyarakat merasa dianggap sebagai bagian yang harus
dipertimbangkan dalam mengambil kebijakan. Jangan habis manis sepah dibuang.
Fachry Uciha,
peneliti muda di LPM IDEA UIN
Walisongo Semarang