Esai
Oleh Miftkhul Anam, S.Sos, I.
Beberapa
hari setelah satu Syawal, seorang teman bercerita tentang tragis dan indahnya
lebaran. Tanggal 28 Ramadlan, dua hari sebelum lebaran, di dompetnya cuma ada
dua lembar uang seratusan ribu dan dua puluhan ribu. Hanya cukup untuk zakat
fitrah lima nyawa di rumah kontrakannya yang bertarif Rp 600. 000 setahunya.
Semua stoples masih kosong, tidak ada kue-kue khas lebaran.
Sehari
kemudian, dia tersenyum kecut. Apa pasal? Seratusan ribunya tidak lagi
berbekas. Seorang perempuan datang ke rumahnya sambil menangis, menceritakan
keadaan diri dan keluargnya yang merana. Datang dari luar pulau yang jauh,
bersama suami dan seorang anaknya. Berbekal uang hasil penjualan rumah yang
lumayan, dalam rangka ikhtiar ke ‘orang pintar’ untuk mengatasi
hutang-hutanmgnya. Ditipu, bekal habis. masih juga disuruh membayar penginapan
dan makan selama dua bulan, oleh yang menipu. Dan sekarang, anaknya yang masih
kecil menangis minta baju lebaran.
Si
teman bukannya orang berada, juga tidak merasa dermawan, seorang mantan pencuri
dan pembunuh, sudah lima tahun pensiun setelah keluar dari jeruji besi yang
memasungnya selama hampir sepuluh tahun. Tapi tangannya tidak kuasa untuk
mengambil seratusan ribu di dompetnya dan menyerahkan kepada si Ibu. Kini,
tidak usah berpikir tentang kue-kue yang enak, untuk fitrah saja dia tidak
berpikir, karena tidak punya, dan karenanya tidak wajib. Dia malah terlalu
sibuk dengan nasib si Ibu.
Benar.
Dia benar-benar tidak memikirkan bagaiman esok bisa berlebaran selayaknya,
minimnal ada kue-kue kering untuk tamu. Tidak. Malam hari, dia khusuk mendoakan si Ibu sekeluarga yang merana itu.
Agar nasibnya membaik, dikasih jalan terang, bisa tersenyum di hari lebaran,
dan bla bla. Perduli amat dengan dirinya (tapi sebenarnya dia sedih juga, ada
anak istri di sampingnya). Tapi Tuhan mungkin juga terharu, Dia kirimkan
malaikat berwujud manusia. Sebelum waktu sholat id, seseorang memberinya satu
kardus besar berisi kue-kue yang cukup memenuhi meja tamunya, plus uang seratus
ribu dalam amplop. Si Ibu tersenyum, teman saya terbahak-bahak.
Sebuah
pembukaan yang terlalu panjang untuk tulisan pendek ini. Bukan maksud saya
untuk menggurui, tapi biarlah pembaca mengolah dan menafsirkan sendiri kisah
diatas.
Lebaran
kali ini berdekatan dengan HUT bangsa kita. Dua momentum yang merujuk kepada
‘kemerdekaan’, afiliasinya:
kebebasan. Kata terakhir ini benar-benar terimplementasi dengan baik di sekitar
kita, positif dan terutama negatifnya.
Selama
ramadlan, kegiatan peribadatan sungguh meningkat tajam. Masjid dan surau-surau
tiba-tiba menjadi ramai, tadarusan nyaris tidak pernah berhenti, kegiatan
sosial mudah saja kita temui. Di mana-mana banyak orang memberi. Lebaran tiba,
semuanya nyaris terhenti. Merdeka, kita telah bebas dari dosa-dosa, kita telah
bersih dari noda, dan karenanya kita merdeka dari beribadah!
Ciptakan
musuh untuk menyatukan bangsa ini. Ini nampaknya tidak salah. Ramai-ramai orang
menghujat Malaysia
saat rasa nasionalisme kita digelitik. Saat padam, ramai-ramai kita menghujat
tetangga kanan-kiri. Karena itulah, Jakarta tidak pernah terlepas dari berita
tawuran warganya. Indahnya persatuan satu bangsa, sepertinya lebih terasa saat
orang asing ‘membantu’ kita untuk saling menjaga dan menyayangi.
Karena
itu, lebaran dan ‘tujuh belasan’ yang nyaris bersamaan ini, adalah waktu yang
tepat untuk menghabiskan uang yang dikumpulkan selama setahun lalu. Hadirilah
lokasi-lokasi wisata yang bertebaran, datangi konser musik dan tawuran yang
menyertainya. Jangan lupa, panti pijat sudah beroperasi sejak bedug maghrib
hari puasa terakhir, menyambut lebaran dan HUT RI ke-68.
Makna
kemerdekaan baik dalam konteks HUT bangsa kita maupun lebaran, sungguh teramat
dangkal jika hanya diuraikan dengan bahasa tulisan. Dan saya sungguh malas menguraikannya,
karena saya khawatir teman saya itu akan bertanya macam-macam jika membacanya
(kekhawatiran yang tidak beralasan mengingat dia buta internet). Saya yakin,
dia telah berhasil merasakan makna kemerdekaan, jauh lebih dalam dari kita.
Apalagi saya, yang masih bertanya-tanya kapan hutang saya lunas? MERDEKA!
Miftkhul Anam, S.Sos, I.,
santri Kanjeng Sultan Hasanuddin