Esai
Oleh
Indra KS
Membaca tulisan Edi Romadhon pada salah satu surat kabar di Banyumas
(minggu wage, 9 Juni 2013) sangatlah menarik. Edi Romadhon memaparkan ruang
lain syarat menjadi ronggeng melalui drama Sulasih Sulandana karya Aming
Widiyono yang memenangkan penulisan lakon terbaik nasional tahun 2012.
Pada Sulasih Sulandana, syarat menjadi ronggeng harus perawan
ting-ting. Berbeda dengan Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad
Tohari yang menggambarkan syarat menjadi ronggeng adalah dengan bukak klambu
atau memberikan keperawanan pada laki-laki yang mampu membayar dengan harga
yang paling tinggi.
Seiring dengan perkembangan zaman tentunya
ronggeng/lengger mengalami perubahan baik syarat menjadi ronggeng ataupun tata
cara pementasannya.
Mengulik Bukak
Klambu
Menurut pandangan saya, bukak klambu bisa saja ada ataupun tidak pernah ada
melainkan hanya imajinasi Ahmad Tohari semata. Kalau memang ada, mungkin ritual
bukak klambu berada pada masa Banyumas Primitif, yaitu dimana di Banyumas belum terjamah ajaran Islam.
Jadi masyarakat belum tahu kalau tradisi bukak klambu merupakan
perbuatan yang keliru.
Tradisi bukak klambu juga bisa berada pada satu tempat saja,
mengingat daerah Banyumas yang cukup luas. Seperti halnya tradisi gowokan yang
hanya berada di daerah Kejobong-Purbalingga. Dengan begitu, tidak semua komunitas ronggeng menggunakan syarat bukak
klambu atau bahkan ada yang sama sekali tidak mengetahuinya.
Mengenai RDP yang mengambil setting pada sekitar tahun 1966,
kiranya telah
dijelaskan bahwa Dukuh Paruk merupakan daerah yang terletak di tengah sawah dan
merupakan daerah yang terisolir dari peradaban.
Jadi walaupun hidup pada masa Banyumas yang tidak lagi primitif khusus
untuk Dukuh Paruk, tetap primitif. Itu dapat dibuktikan dengan belum
masuknya Islam sehingga Dukuh Paruk tetap pada animisme dan dinamisme kecuali
Rasus (setelah menjadi tentara) yang telah dapat mengucapkan salam dan shalat.
Selanjutnya Ahmad Tohari juga tidak menyebut ronggeng sebagai lengger pada
novel RDP-nya. Dari pandangan saya, tentunya Ahmad Tohari tahu bahwa istilah yang benar dari
lengger adalah ronggeng karena yang disebut lengger adalah laki-laki yang
didandani seperti ronggeng. Oleh karena itu, judul novelnya Ronggeng Dukuh
Paruk bukan Lengger Dukuh Paruk.
Dari pandangan tersebut tentunya istilah ronggeng lebih dulu lahir di
Banyumas ketimbang lengger. Kalau tidak salah sebutan lengger yang menciptakan
adalah Sunan Kalijaga karena ia ingin mengganti ronggeng yang awalnya dimainkan oleh
perempuan digantikan dengan laki-laki untuk kepentingan dakwah Islam. Tapi
entah bagaimana ceritanya istilah lengger untuk saat ini dipakai untuk
kedua-duanya (laki-laki dan perempuan).
Sulasih Sulandana
vs RDP
Menanggapi apabila Sulasih Sulandana disandingkan dengan film Sang
Penari atau novel RDP. Sekiranya tidak perlu ada yang didiskusikan karena
keduanya berbeda ruang: Sulasih Sulandana pada Banyumas yang tidak lagi
primitif sedangkan RDP pada Banyumas Primitif.
Dengan bergantinya beberapa generasi mungkin saja tradisi bukak klambu
menjadi hilang karena tidak ada yang mau menceritakannya pada anak cucu
dikarenakan hal tersebut merupakan hal yang dapat dikatakan sebagai aib, jadi
tidak pantas apabila diceritakan. Maka dari itu, untuk sekarang ini yang masih
tersisa sebagai syarat menjadi ronggeng adalah mandi kembang setaman di tujuh sumber air dalam satu
malam dan mbarang atau ngamen di tujuh titik.
Itulah yang menjadikan saya mempunyai anggapan bahwa bukak
klambu menjadi hilang di tengah-tengah masyarakat Banyumas. Jika bukak klambu
memang pernah dianggap ada. Jadi wajar saja kalau sekarang penggiat ronggeng
tidak mengetahui adanya tradisi bukak klambu yang pernah menghiasi
peronggengan di Banyumas.
Dan kalau melalui pandangan Edi Romadhon menganggap Sulasih
Sulandana lebih kontroversial dibandingkan RPD itu sah-sah saja. Tapi bagi
saya RDP-lah yang lebih kontroversial karena Ahmad Tohari melalui RDP memotret
sisi lain yang telah hilang dari dunia peronggengan disalah satu tempat di
Banyumas. Jadi Ahmad Tohari memunculkan sesuatu yang tidak biasa pada seorang
ronggeng. Pandangan manusia memang tidak selalu sama, tapi bagi saya yang
terpenting Sulasih Sulandana maupun RDP telah sama-sama mengisi ruang
kesastraan di Banyumas.
Indra KS, lahir di desa Tanggeran pada 5 Oktober 1989. Tulisannya baru terpublikasikan di Banjarmasin Post, Buletin Imla, Lampung Post, Riau Pos, Satelit Post, Suara Merdeka, Majalah Ancas, Majalah Sagang, Majalah Frasa, Metro Riau, Minggu Pagi, WAWASANews.com dan Padang Ekspres. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP). Bergiat di Komunitas Penyair Institute.