Oleh
Mirawati Uniang
Saat ini, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dan jajaran kabinetnya sedang pontang panting menyelamatkan nilai tukar rupiah
yang terus terpuruk. Rupiah terjun bebas ke titik terendah hingga menyentuh
level Rp. 11.000 per dollarnya. Ini mungkin menjadi kado perayaan 17 Agustus
terburuk bagi SBY menutup dua periode kepemimpinannya.
Menyudahi masa jabatannya sebagai presiden pada
April 2014 mendatang, SBY memang menghadapi banyak masalah dan meninggalkan
sejumlah pe-er untuk presiden selanjutnya. Kado pahit lainnya adalah terus
meningkatnya impor produk pangan. Akibatnya, neraca berjalan terus mengalami defisit
dan ikut berkontribusi terhadap sekaratnya nilai tukar rupiah.
Kondisi ini sekaligus menyisakan sejuta tanya.
Salah satunya, 68 tahun sudah kita merdeka secara yuridis, sudahkah kita
memiliki kedaulatan atau kemerdekaan penuh dalam segala hal? Buktinya, untuk
urusan perut (baca: pangan) saja kita masih bergantung kepada negara lain.
Kedaulatan pangan kita tergadai!
Pada 16 Juli 2013 kemarin, dengan dalih
menstabilkan harga dan stok daging sapi, melalui Badan urusan logistik (Bulog),
pemerintah melakukan impor daging sapi sebanyak 12 ton. Disusul sehari kemudian dengan operasi pasar
di 48 titik di Jakarta. Sesuai rencana Kementerian Perdagangan menargetkan
untuk tahun 2013 ini, kuota tambahan impor daging sapi sebanyak 20 ribu ton.
Selain daging sapi, cabe merah adalah komoditas
berikutnya yang masuk dalam daftar impor pangan pemerintah. Menurut Menteri
Perdagangan, Gita Wirjawan, pemerintah akan segera melakukan impor cabe merah
sebanyak 4.000 ton dan bawang putih sebanyak 16 ribu ton.
Tidak main-main, pemerintah sepertinya jor-joran
melakukan impor komoditas pangan. Tak hanya cabe, bawang putih dan daging saja.
Beberapa bumbu dapur lainnya juga masuk daftar impor, diantaranya cabe rawit,
bawang merah, daging ayam dan beras. Lagi-lagi, alasan pemerintah untuk
menstabilkan harga! Ditengarai, melonjaknya harga komoditas yang akan diimpor
pemerintah tersebut antara lain disebabkan oleh kegagalan panen karena cuaca
ekstrim.
Miris dan ironis! Sungguh rasanya kita tak percaya, negeri yang subur,
dan terkenal dengan keelokan alamnya yang menyimpan begitu banyak sumber daya
alam, ternyata menjadi pengimpor berbagai komoditas yang seyogianya tumbuh
subur di negeri ini. Dulu, kita sering dininabobokkan bahwa negeri kita ini
subur, kaya dan potensial. Jargon itu selalu dimamahbiak mulai dari siswa
sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.
Siapa sangka, kenyataan berbicara lain. Jauh
panggang dari api. Meski sumber alamnya berlimpah, tapi kita hidup dari belas
kasihan bangsa lain. Sejumlah aset dan sumber daya alam kita tergadai ke
tangan asing. Hutang negara kian membengkak, hingga per Maret 2013 menjadi Rp 2.036
triliun. Meski merdeka secara defacto dan de yuridis, kenyataannya kita sangat
bergantung kepada asing, bahkan kita
nyaris tidak memiliki kedaulatan dalam hal pangan sekalipun. Sungguh tragis!
Alasan pemerintah melakukan impor terhadap sejumlah
komoditas pangan pun terasa basi alias klise. Dua alasan yang dikemukakan yakni gagal panen
akibat cuaca ekstrem dan mengendalikan stabilitas harga pangan nasional.
Dalam perspektif masyarakat awam, langkah
pemerintah melakukan impor beberapa komoditas pangan tentu sulit dimengerti. Diperluasnya
keran impor menandakan keberpihakan pemerintah terhadap petani semakin
dipertanyakan. Apakah impor menyelesaikan permasalahan?
Langkah
Instan
Seperti yang sudah diprediksi, kenaikan BBM menjadi
pemicu meroketnya harga semua kebutuhan pokok. Tingginya laju inflasi, membuat
harga sejumlah kebutuhan pokok menjadi tidak terkendali. Sekarang, ditambah
pula kondisi rupiah yang sedang sakit. Meski pemerintah membuat skema
stabilisasi nilai rupiah, nyatanya tak berhasil signifikan. Harga yang tidak
terkendali membuat pemerintah panik dan mengambil langkah instan. Ujung-ujungnya,
impor produk pangan menjadi langkah instan namun dianggap jitu untuk mengatasi
persoalan harga dan kelangkaan pangan.
Sayangnya, langkah impor produk pangan yang
digadang-gadang pemerintah mengatasi kelangkaan stok serta menstabilkan harga,
terlalu prematur bahkan tidak tepat sasaran.
Ibarat sakit kepala, impor hanya mengurangi persoalan tapi tidak
menuntaskan akar masalah yang sesungguhnya. Belum apa-apa, impor sudah bermasalah. Seperti
impor daging sapi yang sampai di Indonesia pertengahan Juli ini, pedagang dan
konsumen banyak yang menolak. Alasannya bermacam-macam, diantaranya daging
impor lebih banyak lemak, banyak air dan kurang bagus jika dibuat produk olahan
seperti bakso.
Sebetulnya, pemerintah –jika mau– masih bisa
menempuh upaya lain untuk mengatasi kelangkaan stok pangan. Jika sumber
permasalahan adalah kurangnya produksi petani akibat cuaca, kenapa tidak
memilih lebih memberdayakan para petani? Banyak dana stimulant dari kementerian
terkait yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian atau
menambah skil mereka. Juga terdapatnya sejumlah lahan tidur yang tidak digarap,
pemberdayaan sarjana pertanian pedesaan dan lain sebagainya. Kenapa harus buru-buru
dengan melakukan impor dalam jumlah besar?
Getolnya pemerintah melakukan impor pangan semakin
menunjukkan tidak adanya keberpihakan pemerintah terhadap nasib petani dan juga
rakyatnya. Pemerintah lebih memilih “menyelamatkan” para pemilik kartel
daripada jutaan nasib rakyat jelata. Tak
bisa dipungkiri, ketidakstabilan harga sejumlah komoditas vital di pasaran, tak
lebih dari permainan para pemilik kartel, yang dengan seenaknya mengkatrol
harga.
Karenanya, membuka peluang impor seluas-luasnya
hanya memberikan keuntungan kepada segelintir pihak tertentu. Pihak-pihak yang
selalu berharap fee dari proyek
tersebut. Masih lekat dalam ingatan, bagaimana kasus daging sapi impor yang
menjerat petinggi sebuah partai politik ke ranah hukum. Patut mengemuka sebuah
tanya, siapa sebenarnya yang diuntungkan dalam masalah impor ini.
Jika dibiarkan terus, maka bukan hanya pemerintah
yang distir oleh kartel yang mirip tengkulak itu, tapi juga kedaulatan pangan
di negeri ini. Maka sebentar lagi pepatah yang mengatakan, ayam mati kelaparan di lumbung padi akan benar-benar menjadi
kenyataan.
Mirawati
Uniang, Freelance Writer, Tinggal
di Padang, Sumbar