Cerbung
Episode ke 47...
Oleh Sofi Muhammad
Langit masih semu memerah kala kutinggalkan
plataran rumah Bu Sur untuk kembali ke kos. Namun, sebelum benar-benar sempat
pergi, Bu Sur memanggilku lagi.
“Antar
aku ke klinik,” katanya, “pinggangku sakit sekali, Ras.”
Kuamati
tubuh gimbal milik Bu Sur itu. Daster yang jika kupakai sudah pasti kedodoran,
namun masih juga hampir tak muat untuk menyembunyikan lekuk-lekuk tak indah
dari perut Bu Sur yang telah menggelembreh.
“Kurang
olah raga kali, Bu,” ujarku.
“Bukan,”
jawabnya, “habis makan pecel kangkung.”
Ya,
mau tidak mau, aku pun harus mau. Biar bagaimana pun, Bu Sur itu majikanku.
Sebagaimana perjanjian yang kami sepakati dulu, aku memang harus mau bekerja
apa saja sesuai dengan permintaannya.
Jika
dilihat-lihat, sebenarnya belum sangat tua juga Bu Sur itu. Keriput tipis di
wajahnya membuatku menerka-nerka, mungkin masih sekitaran empat puluh lima
usianya. Memang hanya sial saja dia. Seusia itu tapi harus hidup sendiri.
Oalah,
aku semakin pingin punya anak ini. Setidaknya, ketika suamiku, Aryaku selingkuh
dengan wanita lain, kan aku masih punya anak yang bisa kusuruh mengantar ke
Apotek untuk sekadar beli racun serangga.
Jadi
tidak tega rasanya. Sebawel-bawelnya Bu Sur, toh dia sudah bersusah payah
mengusahakan KTP-ku yang meskipun memang gagal karena pihak yang diharapkan
justru terlebih dulu tewas kelindas truk.
Tak
tahulah KTP itu. Jika aku ditakdirkan untuk tidak memiliki selamanya, mungkin
aku juga tidak akan berani untuk punya anak selamanya.
Di
jalan, sambil kuboncengkan overload-nya
tubuh Bu Sur yang menghempas di motor matic, aku sempat intip layar HP. Benar
saja, ada satu pesan masuk di dalamnya.
Tentu
saja tidak langsung kubuka karena kami ini masih di jalan raya. Jika nekat
kubuka pun, pastilah malah diambil paksa HP-ku kemudian dibuang oleh Bu Sur ke
tong sampah yang berjejer rapi di sepanjang jalan.
“Kliniknya
sebelah mana, Bu?”
“Itu
lurus saja, nanti belok kiri,” jawabnya.
Saat
telah tiba pada klinik yang dimaksud Bu Sur, kuparkirkan motor di depan sebelah
kanan kemudian kubimbing Bu Sur yang masih memegangi pinggangnya itu untuk
duduk di kursi. Sambil menungguinya mengantre, aku pun cepat-cepat membuka
inbox.
“Sampai
di mana, Ras?” dari Arya.
“Lagi
nganter Bu Sur ke klinik.”
Sudah
hampir jam enam dan baru selesai antrean hingga sampai ke tempatnya Bu Sur.
Oleh karena memang sudah semakin loyo Bu Sur berjalan, mau tidak mau aku ya
harus menuntunnya lagi seperti tadi.
Baru
pada titik itulah aku benar-benar menyadari keuntunganku dicetak seperti ini.
Padahal, jika ditelisik dari segi jumlah makanan, toh banyak juga orang kurus
yang banyak makan. Tapi, masalah terlalu subur atau tidak, barangkali itu
memang untung-untungan.
Alhasil,
karena saking sibuknya, baru pada pukul sembilan malam aku baru bisa sampai ke
kos; tentu saja setelah memijit Bu Sur sejenak di rumahnya usai berobat.
***
Kutanggalkan
jaket yang kurasakan sudah agak bau karena kupakai bolak-balik tadi; terkena
keringat yang bercampur dengan debu jalanan di sepanjang jalan Semarang.
Setelah itu, kugantungkan ia di belakang pintu kamar.
Kurebahkan
badanku yang pegal ke atas kasur. Belum sempat bernafas sedetik, tapi Arya
sudah sigap mulai mencumbuiku selayaknya kegiatan kami sehari-hari begitu aku
pulang kerja.
“Aku
capek, Arya,” kataku sambil menghentikan ciumannya. Kemudian, kumiringkan
badanku untuk melakukan penolakan yang nyata.
“Tapi,
aku sudah nunggu dari tadi, Ras.”
“Ya
tapi aku capek.”
“Sebentar
saja…”
Tak
kugubris dia dengan masih tetap memiringkan tubuhku membelakanginya. Entah mau
marah ya terserah. Memang aku lagi capek kok. Minta dipijitin saja dia tidak
mau. Sudah capek, ngantuk lagi.
Ya
sudah, kutinggal tidur saja dia. Memang pegal-pegal kok. Ketularan Bu Sur barangkali.
Asal tidak ketularan gendutnya saja, ha, ha. Ah, malah berpikir yang
macam-macam. Sudah tahu capek malah sempat-sempatnya menggerutui orang,
menggerutui bos yang lagi kekusahan!
Jahat
sekali rupanya aku ini.
Memang
susah ternyata. Bahkan tadi itu tidak sengaja lho. Tahu-tahu, ya sudah bisa
dihitung dosa, kan.
Lama-lama,
kantukku semakin tak bisa ditoleransi lagi. Benar-benar langsung pulas bahkan walau
belum sempat mandi. Biar bau, kusut, kusam, aku sudah tidak sempat untuk
peduli.
Barulah
kala kudengar suara motor Arya yang mulai meninggalkan halaman kos, aku
tiba-tiba terbangun. Mungkin sudah dapat panggilan dari bosnya kali. Ya
memangnya mau pergi ke mana lagi jika sama perek saja, berkali-kali ia bilang,
ia sangat tidak suka.
Ketika
kuintip jam dari layar HP, sudah menunjukkan pukul dua pagi. Maka iya
benar-benar ke sana pasti. Tapi, jika Arya sekali-kali coba dengan PSK,
kira-kira bagaimana perasaanku.
Ah,
biar sajalah. Paling-paling nanti juga tak tahan lagi untuk balikan lagi
denganku. Bukannya sombong tapi memang kenyataannya juga begitu. Buktinya, dia
bahkan rela meninggalkan ceweknya demi aku.
Sudah.
Aku sudah sangat mengerti akan jalan pikiran Arya. Aku juga menyakini setiap
ucapannya yang terlanjur termagneti oleh setiap kenangan masa lalu kami yang
memang tak bakal bisa dan mau mengulang lagi.
Tinggal
melanjutkan saja apa yang sudah ada.
Ah,
jadi kangen ini sama Arya. Padahal, baru sedetik lalu ditinggal pergi tapi
malah sudah serindu ini. Pantes saja tadi dia marah sekali karena memang sudah
menungguku sangat lama pastinya.
Akh,
mulutku menguap lagi.
Kutarik
selimut tebal yang tanpa sadar kupancal-pancal sendiri kala tubuhku bergerak ke
kanan-kiri kala tidur tadi. Agak dingin memang jika tak ada Arya.
Ya
sabarlah. Tinggal menunggu besok pagi kalau kami memang masih sempat bertemu
sebelum aku berangkat kerja. Tidur lagi dulu deh.