Cerpen
Oleh Slem Reog
Sore ini hujan tak
kunjung datang. Seperti biasanya, di waktu yang sama cahaya matahari yang sama,
dan bersamaanya dengan adzan maghrib biasanya, hujan itu datang. Tetapi kali
ini hujan benar-benar tidak datang. Sedangkan jendela kamar masih terbuka entah
mengapa aku malas untuk menutupnya. Namun aku tetap mecoba untuk bangkit dari
tempat dudukku menutup jendela itu sebelum kemarahan Ayah mengusik ketenangan.
Sampai sekarang aku masih penasaran, beliau pasti marah jikalau aku terlupa menutup
jendela. Hingga detik ini aku tidak tahu apa penyebabnya. Dan aku memang
sengaja untuk tidak mau tahu. Itu hanya akan menambah beban pikiranku saja.
Sesaat sebelum kututup
jendela itu tiba-tiba Fitri muncul sambil melempar senyumnya yang ramah padaku.
“Fatwa, apa aku boleh
masuk ke kamarmu?” tanya Fitri seraya menatap kedua bola mataku yang
cokelat.
Seketika pikiranku
tertuju pada masalah yang sedang menggelutiku. Hanya Fitri satu-satunya sahabat
yang tulus mendengar segala keluh kesah hidupku. Di saat matahari terbenam
inilah waktu yang tepat untuk menceritakan penat yang menyayat hatiku.
“Emangnya kamu ngak mau
sholat dulu? Kan udah adzan maghrib…”
“Aku lagi tidak bisa
sholat Fat…”
“Oke…tapi masuk dari
pintu depan ya...”
Aku memang takut
menjalani hari di luar atau bahkan menyimpan masa depan. Karena bagiku masa
depan adalah bayang-bayang yang sangat menakutkan. Bahkan hari ini bagiku
adalah ketakutan yang mencekam dan menjijikkan. Dan jikalau sudah seperti
ini aku akan melayangkan imajinasi dan pikiranku jauh untuk mencari
jalan keluar masalah yang diam seperti tidak ada apa apa.
“Dasar masalah!” Gerutuku
dalam hati.
“Fatwa kamu harus berani
membuka masalah ini pada keluargamu” tegas sahabatku yang memiliki mata
empat ini.
“Apa….? Menceritakan
semuanya pada keluargaku?....” seruku sambil mengerutkan kening yang sudah
basah daritadi oleh keringat.
“Iya, kamu jangan terlalu
larut pada ketakutan dan bayang-bayang itu Fat…,” kata Fitri sambil memeluknya
dari samping.
“Aku tidak bisa fit.
Lagipula ini bukan masalah kecil ini masalah besar. Aku takut membayangkan hal
yang terjadi jika Ayahku tahu masalah ini…,” ucapku pasrah.
“Tapi kamu harus memilih
diantaranya. Sebelum semuanya terlambat. Semakin lama persoalan akan semakin
rumit dan kamu tidak akan pernah mendapatkan jawabannya”.
Aku membisu mendengar
ucapannya yang begitu mengancam. Sejenak pikiranku yang kosong membayangkan
kembali kejadian yang akan atau sedang terjadi hari ini, apakah yang bernama
esok dan seterusnya.
Di saat seperti ini aku
lebih memilih untuk berdiam. Menikmati dunia kebisuanku. Sejenak aku merenung
menepis keraguan itu. Aku bingung. perkataan Fitri mengandung kebenaran yang
rumit. Aku harus menentukan pilihan yang berat. Meskipun di antara
pilihan yang dilontarkannya tak satu pun ada rasa yang menggoncang lidah pahitku
ini. Namun apa daya aku harus segera memilihnya. Aku tidak mau terlalu jauh hidup
dalam bayang-bayang ini.
***
Kecelakaan ini berawal
dari sebuah pertemuan yang tidak sengaja. Pemuda itu bernama Sahril. Di sebuah
perjalanan pulang dari pulau Cendrawasih, yakni Kalimantan. Saat itu ia duduk
berdampingan denganku di dalam sebuah kapal. Kami hanya diam. Sesekali ada
tatapan yang seakan menyapaku. Dan sesekali secara tidak sengaja angin laut
yang sejuk mempertemukan tatapan kami. Tiga hari tiga malam bukan waktu yang
singkat dalam perjalanan.
Yang paling mengherankan
di hari pertama kami seperti sudah saling kenal. Di hari kedua perkenalan itu
mendekati pendekatan hingga rasanya seperti sekental susu dengan aromanya yang
manis. Di sanalah awal dari beban di jiwa ini dan sekarang aku tidak tahu
asal usul pemuda itu dan entah kapan angin akan mempertemukan kami kembali.
Hari-hari yang kosong tanpanya membuat semuanya akan menjadi kenyataan yang
sangat pahit. Dunia selamanya akan gelap bilamana itu terjadi. Serta kerinduanku
terhadap hujan pun enggan menyirami hatiku yang sudah terbakar ini. Khususnya
pada keluargaku. Aku malu. Aku takut. Sangat menjijikkan.
***
Hari-hari masih tetap
sama. Memendung duka melempar bayangan-bayangan liar yang tersungkur pada
nafasku. Begitu bodohnya aku, ketika aku membalas kedipan mata lelaki
itu. Atau mungkin sekarang ia sedang asik menjalani hari harinya. Sedangkan aku
di sini digeluti ketakutan dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku harus
membongkar rahasia ini. Aku tidak bisa terus menerus hidup dengan bayang
bayang yang menjijikkan dan menakutkan. Namun aku bingung, batinku berderu
seperti ombak dan suara petir yang bertalu di antara renungan renunganku,
sedangkan batin ini menghantam perang dengan akal, hingga jauh mengembara pada
lamunan yang tidak selalu berpangkal pada kenyataan yang benar.
Dan kini, aku lebih
berani memilih hidup dalam kamar saja. Menikmati kesunyian dan bayang
bayang. Aku pun tak sadar akan lipatan-lipatan waktu yang kujalani.
Terkadang suara-suara bising keluargaku menyayat telingaku. Tanya demi tanya,
mereka khususkan padaku dan, ketakutanku semakin mencekam oleh pertanyaan
pertanyaan mereka. Aku hanya berani memilih untuk diam dan diam. Hingga
akhirnya kenyataan yang akan menjawabnya. Ku pandangi jendela dan langit-langit
kamarku seolah-olah mengajakku untuk menceritakan beban yang selama ini
menjelma. Dan kusampaikan pada jendela dan langit-langit kamar bahkan pada
bantalku. Dari Segala hayalan yang penderitaan yang menjelma pada kenyataanku,
akhirnya semuanya berubah. Menjadi damai nyaman dan tentram seperti tak ada
beban yang bertengger di pundakku.
Sekarang kesunyianku
bukan lagi hanya sekedar puisi. Yang katanya merupakan hal yang paling rahasia,
menyimpan arti sunyi. Kali ini hujan benar benar datang mencoba menawarkan
ketenangan itu. Sedangkan jendela tak lagi terbuka. Serta ruang kamar yang
petang dan kelam membuatku semakin asing. Aku tak mengenal diriku lagi, dan
kakiku terpasung, perut semakin membusung menyimpan sebuah rahasia yang telah
terbuka atau mungkin masih tertata rapih. Aku pun sudah tidak tahu. Sebab
ketenangan adalah percakapan antara aku dan jendela yang mengintip hujan yang
datang kali ini.
Hujan tak lagi menjadi
ketenangan malam ini sebab tangisan bayi menggema menjadi suara- suara bising
yang begitu asing. Sedangkan jendela telah tertutup kembali. Dan ketika pintu
terbuka di sana aku melihat ada wajah tidak ramah menziarahiku. Tangisan bayi
bercampur tawa tetap menggema menjadi irama pada kamar yang irama hujannya tak
sampai, sebab jendelannya tidak terbuka. Sedangkan kakiku masih kaku terpasung
di antara kayu dan rantai. Aku seperti anak rusa yang kehilangan induknya,
sekarat memerangi keadaan yang tak bersahabat.
Kini percakapan itu
terhenti untuk sekian lama, tidak akan pernah tahu kapan ujungnya akan tiba.
Hidup yang bertungku pada tangisan dan tawa. Perang antara batin dan kenyataan
pahit. Atau mungkin kata penutup yang paling tepat untuk mengakhiri kalimat
yang satu ini adalah Gila. Yang sama sekali bukan pilihanku bahkan kehamilan
dan kelahiranku ini bukan kesengajaan yang disengaja. Kenyataan yang harus
kuterima ini bernama takdir ataukah nasib yang tak berpangkal pada keadilan -kataku.
“Maafkan aku….”. Kututup
jendela itu. Perlahan kurebahkan diri ini karena keletihan yang panjang.
Bandung, 29-30 Mei 2013
-------------------------------------------
Slem Reog, nama lain dari Slamet Riyadi, mahasiswa STSI Bandung Jurusan Teater, lahir Desa Lesong Daya Batumarmar, Pamekasan,Madura, Jawa Timur, pada 12 Januari 1993. Kegiatan kesenian dan penulisan dimulai di pesantren Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan.Aktif di Sanggar Sastra Teater Kertas, Samba (Sastrawan Muda Banyuanyar). Di Pontianak, mendirikan kelompok Teater Laguna. Menulis puisi cerpen, karyanya pernah dibukukan antara lain:“Sepasang Telaga Berkisah (2010)”, “Sore Di Tepi Kali” (2012),“Indonesia Dalam Titik 13, Antologi Bersama (2013)”. Beberapa karya pernah dimuat Pontianak Post, Radar Madura, blog-blog kolom sastra Majalah Al-Ikhwan, Oni, Orion, On The Wall.
-------------------------------------------
Slem Reog, nama lain dari Slamet Riyadi, mahasiswa STSI Bandung Jurusan Teater, lahir Desa Lesong Daya Batumarmar, Pamekasan,Madura, Jawa Timur, pada 12 Januari 1993. Kegiatan kesenian dan penulisan dimulai di pesantren Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan.Aktif di Sanggar Sastra Teater Kertas, Samba (Sastrawan Muda Banyuanyar). Di Pontianak, mendirikan kelompok Teater Laguna. Menulis puisi cerpen, karyanya pernah dibukukan antara lain:“Sepasang Telaga Berkisah (2010)”, “Sore Di Tepi Kali” (2012),“Indonesia Dalam Titik 13, Antologi Bersama (2013)”. Beberapa karya pernah dimuat Pontianak Post, Radar Madura, blog-blog kolom sastra Majalah Al-Ikhwan, Oni, Orion, On The Wall.