Oleh Bernando J. Sujibto
Hingga hari ini Turki masih terus berkecamuk. Para
demonstran yang awalnya berunjuk rasa di sekitar Taksim Square sebagai bentuk
penolakan atas rencana pembangunan shopping center di taman kota tersebut,
sejak 1 Juni waktu setempat, kini mulai meluas dan isunya pun mengarah kepada
penggulingan sang Perdama Menteri, Recep Tayyip Erdogan. Lewat media sosial,
khususnya Twitter, gerakan massa para demonstran telah menyebar di hampir semua
titik kota-kota penting di Turki. Simpati rakyat lokal dengan membawa bendera
Turki sebagai simbol kaum nasionalis semakin menyeruak seiring dengan tindakan
represif aparat keamanan yang telah memakan dua korban nyawa para pengunjuk
rasa dan ratusan lainnya luka-luka (BBC, 4/6).
Melihat potensi gerakan massa yang terus meluas
dan masif, para pembesar pemerintahan Turki mulai kalang kabut. Mereka menuduh
kelompok oposisi, yaitu Partai
Rakyat Republik (CHP), berada di balik kerusuhan. Respon sarkartik
ditunjukkan oleh Erdogan dengan menuduh bahwa para demonstran adalah kelompok
ekstrimis dan para penjarah (extremist fringe dan a bunch of looters). Komentar tersebut justru
semakin menguatkan tekad para pengunjuk rasa untuk terus memperjuangkan demokrasi
dan sekulerisme warisan Mustafa Kemal Ataturk yang dinilai mulai dilenyapkan
oleh rezim Erdogan. Akhirnya para demonstran satu suara untuk menggulingkan pria
59 tahun yang telah tiga kali menduduki jabatan Perdana Menteri sejak Maret
2003. Erdogan dikecam karena dianggap ingin merusak tatanan sekulerisme di
Turki dan mengubahnya menjadi negara Islam.
Kemudian respon muncul dari tokoh yang sangat
berpengaruh di Turki, yaitu Orhan Pamuk, seorang Turki pertama yang mendapatkan
hadiah Nobel Sastra tahun 2006. Dengan sangat khas, dia menulis surat di media lokal
setempat Hürriyet
Planet dan di hari yang sama
diterbitkan juga di The New Yorker edisi 5 Juni 2013 dengan judul Memories of a Public Square. Pamuk mengutuk cara Erdogan yang tidak sensitif sebagai kebijakan menuju otoritarianisme. Dia juga menceritakan tentang kenangan ruang publik dan pohon-pohon
yang tumbuh di sana.
Arab Spring
Potensi gelombang demonstrasi Turki dalam
minggu ini sudah tercium sejak bulan Mei kemarin, khususnya ketika terjadi
pemboman yang menewaskan puluhan orang di kota perbatasan dengan Syria (11/5). Pada
waktu yang sama, di kota Rayhanli,
Turki, mulai muncul kelompok demonstran yang menentang
kebijakan dan sikap
pemerintahan Erdogan yang telah campur tangan dalam krisis di Syria. Demonstrasi
yang sama juga digelar di ibukota Ankara, mereka mengecam Erdogan dan Menteri
Luar Negeri Turki, Ahmet
Davutoglu.
Dengan gamblang, kita bisa melihat bahwa sikap
pro Islam yang diwujudkan dalam bentuk “kebijakan-kebijakan Islami” selama
Erdogan berkuasa telah, secara pelan-pelan, mengubah Turki sebagai penganut sekuler.
Meskipun Edogan sendiri menampik tuduhan tersebut dan tetap bertekad menjunjung
konstitusi sekuler, namun kebijakan-kebijakan Islami seperti melarang muda-mudi
berciuman di depan umum, memperkenalkan pelajaran Al-Qur’an di sekolah umum,
dan pembatasan aborsi tetap dianggap sebagai upaya islamisasi Turki. Di samping
itu, sikap tegas terhadap Israel juga mencerminkan spirit pro Islam dalam
tindakan-tindakan politiknya.
Apa yang dilakukan Erdogan telah menyeberang
dari arus dan tatanan sekulerisme Republik Turki (Türkiye
Cumhuriyet) yang dibangun secara ideologis oleh Ataturk. Sekulerisme
telah menjadi semacam memori kolektif rakyat Turki yang secara masif merasuk ke
dalam pemahaman ideologis mayoritas masyarakat Turki. Langkah dan kebijakan Erdogan
yang awalnya sangat halus dan meyakinkan pelan-pelan dirasa telah menjerembabkan
ideologi negara. Erdogan sangat lihai mencabuti satu per satu tokoh kuat
meliter yang telah menjadi simbol penjaga sekulerisme negara, sekaligus simbol
kudeta pemerintahan yang melawan ideologi negara, dan menggantinya dengan
tokoh-tokoh meliter loyalis dirinya. Cara-cara halus tersebut dilihat oleh
sebagian kelompok, khususnya lawan politiknya, sebagai langkah meninggalkan konstitusi
negara.
Tuduhan para demonstran bahwa Erdogan telah
menjadi simbol diktator kekuasaan yang melemahkan sekulerisme bisa ditelusuri secara
logis melalui sikap dan kebijakan pro Islam yang sudah diambilnya. Dalam
konteks protes terhadap cara berkuasa Erdogan, kita bisa melihat bahwa spirit Arab
Spring yang sebelumnya telah meluluhlantakkan Tunisia, Libya, Mesir dan
Suriah, bisa dilihat sebagai basis semangat gerakan yang mudah sekali
ditumpangi oleh berbagai kepentingan, khususnya Eropa, Israel dan Amerika.
Meksipun Erdogan menolak bahwa tidak akan ada Arab
Spring di Turki, ketika rezim Erdogan dan rakyat Turki tidak menemukan
titik temu dan gelombang protes dibiarkan berlarut, bukan tidak mungkin seri
Musim Semi Arab akan mengintai mereka. Apalagi, dalam beberapa demonstrasi
terakhir, banyak penyusup dan provokator yang tiba-tiba menyerang para pengunjuk
rasa. Terbukti hingga hari kelima puluhan ribu massa pemrotes turun ke
jalan-jalan di Istanbul dan kota-kota lainnya di Turki sebagai gerakan masif
dengan satu isu yang dibawanya, yaitu menyelamatkan ideologi negara dan
menuntut Erdogan mundur.
Isu minoritas
Di luar isu yang dibawa oleh mereka yang
menamakan kaum nasionalis dalam unjuk rasa, ada hal lain yang bagi saya sangat
riskan dipolitisir, yaitu masalah minoritas (suku Kurdi dan Armenia). Masalah
minoritas menjadi isu sensitif sejak berdiri republik Turki. Hingga kini pemerintah
Turki menolak membicarakan sejarah masa lalu mereka yang diklaim banyak pihak
telah melakukan genosida secara sitematis atas orang-orang Armenia yang dilakukan oleh tentara Kerajaan
Ottoman. Di samping itu, kekerasan terhadap suku Kurdi yang
memperjuangkan haknya kerap ditunjukkan oleh otoritas Turki. Mayoritas suku Kurdi tinggal
di Turki bagian tenggara dan banyak di antara mereka hidup berbaur di ibukota
Ankara. Sebagai keturunan bangsa Persia, suku Kurdi menjadi salah satu hambatan
gerakan nasionalisme dan sekularisme Turki.
Jika dua isu tersebut dipentaskan oleh
pihak-pihak yang mempunyai kepentingan terhadap Turki, bukan tidak mungkin
Turki akan menjadi gelombang besar kerusuhan. Karena suku Kurdi hingga hari ini
ibarat sedang menunggu momentum untuk mendeklarasikan kembali kedaulatan Negara
Darurat Kurdistan di wilayah Turki pada tahun 1922-1924 dan Republik Mahabad
Kurdistan tahun 1946. Namun perjuangan deklarasi kedaulatan mereka dihancurkan
oleh militer Turki. Isu minoritas ini bisa menjadi api dalam sekam yang akan
menyumbui ledakan kerusuhan lebih besar lagi di Turki.
Bernando J. Sujibto, penulis
adalah sosiolog dan peneliti perdamaian. Alumni
Language and Culture Program University of South Carolina, Amerika.