Cerbung
Edisi 43....
Oleh Sofi Muhammad
Ngambek euy...! |
Seperti
halnya Arya, aku pun juga bekerja secara part-time.
Kalau sedang tidak ada jadwal yang diutuskan Bu Sur padaku, maka aku bisa bebas
seharian. Namun, jika sedang ada tugas menarik uang kos, bisa sampai seharian aku
bekerja.
Memang
agak jauh sih
masalahnya. Seolah-olah, seperti berada di sepanjang luar kota per luar kota.
Alhasil, sedikit sekali waktuku tersisa untuk menikmati kebersamaan dengan
Arya.
Apalagi,
kini Om Heri malah sudah pulang dari luar kota. Mau tidak mau, Arya harus mau kapan
pun mendapatkan panggilan. Yang lebih parahnya adalah bahwa semakin lama,
semakin sering Arya itu mendapat panggilan.
Berhubung
keduanya, antara Om Heri dan Bu Heri sama-sama sibuk, sama-sama berkarir
sendiri-sendiri, maka semakin sering Om Heri butuh gituan untuk memuaskan nafsu birahinya yang tak bisa ia dapatkan
dari sang istri.
Jarang
pulang juga istrinya itu. Barangkali, ya sama-sama sudah punya kecengan di luar. Kata Arya, sering juga
ia melihat Bu Heri yang sibuk menelpon seseorang dengan senyum-senyum manja
kala Om Heri tak ada
di rumah.
Ya
beginilah nasib budak. Masih beruntung saja bahwa majikanku tak ada tanda-tanda
untuk menggagahiku. Beruntung pula Arya karena majikannya pun juga normal.
Semakin
hari semakin sulit. Jarak antara pertemuan satu dengan yang lainnya sama sekali
sulit untuk bisa diprediksi.
“Hah,
pergi lagi? Tanya Arya sambil
membelalakkan matanya.
“Sudah
dipanggil Bu Sur ini,” jawabku.
Arya
membalikkan badannya sehingga jadi membelakangiku.
“Sebentar
saja kok.”
Dia
hanya diam.
“Cuma
disuruh mengantar beberapa baju ke laundry.”
Arya
belum juga bersuara.
“Arya,”
kataku merujuk, “jangan begitulah. Kan nanti kita bisa lanjut lagi. Sampai
malam, sampai kamu capek banget. Tapi, sabar ya,” tambahku sambil mengenakan
kaos abu-abu dengan lengan sesiku.
Tak
sempat mandi bahkan padahal muka pasti sudah kusut sekali warnanya. Biar
sedikit terlihat lebih cerah, maka kuolesi dengan bedak yang tipis-tipis saja.
Selain itu, bibirku juga sempat kuolesi lipgloss
yang tipis pula.
Sebelum
pergi, kucium pipi Arya yang masih ngambek itu. Dari belakang punggungnya,
kukecupkan bibirku dengan lembut sekali. Ah, maunya juga tidak hendak pergi.
Tapi, bagaimana lagi.
Arya
tetap saja tidak hendak
bereaksi. Malahan, ditepisnya ciumanku dan semakin menjauhkan wajahnya.
Lagi-lagi, manjanya itu kumat; seperti bunga bakung yang hendak ditinggal oleh musim hujannya.
“Arya,”
rujukku lagi, “tadi kan sudah tiga kali, Yang.”
“Manja
banget sih si Sur itu,” kata Arya mulai membuka suara, “cuma nganter pakaian
saja harus nyuruh kamu!”
“Ya,
aku kan memang digaji untuk itu, Arya.”
“Berhenti
sajalah.”
“Lha
terus aku kerja apa?”
“Nggak
usah kerja!”
***
Beberapa
kondom bekas telah kubuang di tong sampah. Murah kok, cuma empat ribu rupiah
saja. Bahkan, jika kau adalah seorang PSK, bisa jadi malah mendapat kondom
gratis dari Arya.
Oleh
karena Om Heri, bosnya Arya itu merupakan kepala di sebuah LSM yang bergerak di
ranah anti HIV/AIDS, maka terkadang, Arya
pun disuruh untuk membagi-bagikan kondom gratis pada mereka.
Sesekali,
eh salah, seringkali, Arya juga mengambil bagian dari kondom gratis itu untuk
dipakainya sendiri. Benar-benar untuk dirinya sendiri karena katanya, dia pun
belum pernah memasukkan penisnya ke vagina wanita-wanitanya yang sepertinya
banyak sekali itu.
Mau
ilfil ya bagaimana. Toh Arya telah
membuktikan bahwa dia pun juga mencintaiku. Ya, untuk saat ini aku mampu
merasakannya seperti itu. Entahlah untuk lima atau enam bulan ke depan.
Arya
bilang, bayang-bayangku tak secepat itu menghilang. Senyumku juga lebih
menenangkan dari pada ribuan senyum yang sempat dinikmatinya. Meski aku tahu
bahwa itu hanya gombalan, tapi berhubung Arya yang mengatakan aku suka-suka
saja.
Tapi,
jika benar-benar sampai Arya meninggalkanku, aku memang telah memutuskan untuk
meminum racun tikus yang memang sudah kusiapkan sebagai persediaan; kadangkala
memang ada tikus atau curut yang merambati langit-langit kamarku.
Ceklek.
Pintu
kosku telah kututup dan tentu saja tidak aku kunci. Pelan sekali tidak bertenaga aku menutupnya. Ya, kan sedih kalau
Arya sebegitu ngambeknya sama aku. Padahal, kan ya jelas ada maksud nyata dari
kepergianku ini.
Ah,
Arya gitu sih. Mudah sekali ngambeknya. Toh tadi sudah berkali-kali juga, kan.
Kenapa masih juga kurang. Aku saja sampai capek sekali, jadi males kerja juga.
Tapi, harusnya ya sudah cukup.
Memangnya,
bisa cukup jika hanya bercinta saja, tanpa makan, tanpa minum. Kan masuk toilet
umum juga perlu duit. Apa lagi memesan nasi bungkus di warung sebelah. Terus,
belum lagi untuk bayar kos, tidak cukup pakai senyum.
Ah,
kenapa dia tidak bisa mengerti. Sebel ah. Kalau dicueki itu rasanya seperti tak
makan setahun: lemas, lunglai, tidak bersemangat. Cuma Arya penyemangatku.
Kalau dia seperti itu, mau ke mana-mana jadi serba tidak enak.
Sambil
menunggu lampu merah menjadi hijau, kusempatkan pula meng-SMS Arya.
‘Jangan
lupa makan ya.’
Tidak
ada balasan.
Di
lampu merah berikutnya, ku-SMS dia lagi.
‘Arya…’
Walau
hanya setitik pun tapi nyatanya dia tidak mau membalas. Huh, jadi sebel. Kenapa
malah dia jadi egois seperti itu. Sudah berulang kali dibaik-baiki tapi malah
semaki ngelunjak. Jadi sebel, sebel banget!
Meski
sebel, tapi tetap juga tidak bisa tenang sebelum Arya membalasnya. Rutin sekali
dalam lima menit sekali, aku mengecek layar HP dan lagi-lagi masih juga tanpa
ada satu pesan masuk pun. Hingga beberapa kali menit berlalu, maka semakin
menumpuklah kejengkelanku yang pertama kali sejak pertemuan kami di tahap yang
lebih lanjut ini.
Bersambung
Edisi 44…
Panah Ragosa