Oleh Heri Kuseri
Kasus
terorisme terus mencuat dua dekade terakhir ini. Terutama setelah tragedi World
Trade Centre (WTC) pada tanggal 11 September 2001. Tepatnya ketika George
Walker Bush, Presiden Amerika Serikat, menuduh Usamah bin Laden terlibat dalam
aksi teror pengeboman kedua gedung di Amerika, WTC dan Pentagon yang dianggap
sebagai lambang supremasi tertinggi dari Negara adidaya tersebut. Terlebih lagi
ketika Presiden Paman Sam tersebut menyatakan bahwa serangan tersebut merupakan
perang salib (crusade).
Sejak saat itulah
makna terorisme diidentikkan dengan Islam, khususnya Islam Fundamentalis, Islam
Militan, Islam radikal, atau Islam Ekstrim karena Usamah termasuk penganut paham
tersebut.
Berbeda di
tingkat regional, Indonesia khususnya. Isu terorisme muncul setelah tragedi bom
Bali di Legian, 12 Oktober 2002. Bermula dari situlah, Islam dipojokkan dan
dituduh sebagai dalang dari aksi teror tersebut. Laiknya kasus Usamah
sebelumnya. Bahkan, kejadian tersebut langsung dicap oleh Menteri Luar Negeri Australia
bahwa dalang utamanya tidak lain ialah Jama’ah Islamiyah (JI), cabang dari
Al-Qaedah di tingkat regional, Asia Tenggara. Padahal, aparat yang bekerja
keras di lapangan belum menemukan bukti-bukti yang otentik. Ironisnya lagi,
Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil, dalam tiga kesempatan terpisah
mendukung pernyataan tersebut. Padahal, Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono,
pada saat itu (Presiden RI Sekarang), berkali-kali menegaskan bahwa ia juga
belum menemukan bukti keterlibatan Al-Qaedah dan JI dalam tragedi 12 Oktober
tersebut.
Walhasil, sampai saat ini pun, Islam masih
diidentikkan dengan terorisme. Terbukti, di Indonesia khususnya, pemberantasan
tindak pidana terorisme yang ditangani oleh aparat penegak hukum seperti BNPT
(Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan Densus 88 pun masih hanya berkutat
menyisir pada kegiatan-kegiatan keislaman. Tentu tindakan yang
seperti itu kurang fair, toh semua orang juga mempunyai potensi untuk
melakukan teror. Tidak hanya Islam.
Melihat kenyataan yang demikian,
penulis menjadi sangat sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Anggota
Fraksi PKS DPR, Indra, senin kemarin (2/12). Ia mengungkapkan
bahwa ternyata memang masih ada upaya sistematis yang terus- menerus
mengidentikkan terorisme dengan Islam, pesantren, aktivis Islam dan simbol-simbol
keislaman lainnya (Antaranews.com). Walaupun masih
sekedar indikasi, namun logis penulis kira.
Karena
fakta yang demikian
ini menimbulkan
kecurigaan tersendiri, khususnya bagi umat Islam sebagaimana banyak disebutkan
dalam situs-situs internet dan literatur buku. Sebut saja “Terorisme Konspirasi
Anti-Islam”(2002), sebuah buku yang merupakan kumpulan tulisan dari para tokoh
publik yang sudah dikenal baik oleh masyarakat. Isinya mengungkapkan
seluk-beluk tragedi-tragedi pengeboman yang ada di dunia, termasuk di
Indonesia. Dan setelah ditelusuri, ternyata isu yang memojokkan Islam sebagai
teroris, atau lebih tepatnya jaringan Al-Qaidah dan Jama’ah Islamiyah (JI) hanyalah
sebuah penggiringan isu publik yang tak berdasar. Lihat saja komentar Menhan
Matori pasca keberhasilan polisi menangkap Imam Samudra di atas bus Kurnia.
Menurutnya hal itu semakin memperkuat adanya indikasi kedua jaringan tersebut,
Al-Qaidah dan JI (Terorisme Konspirasi Anti-Islam:
2002). Jelas, tuduhan
itu hanyalah asumsi tak berdasar, hanya sekedar dugaan yang kemudian dimakan media
publik mentah-mentah
dan tersebar luas. Ironis.
Menurut Burhanuddin Harahap, SH. MH. M.Si
Ph.D selaku Ahli Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Negeri Solo (FH UNS),
sebagaimana yang disampaikannya pada Seminar Hukum Islam bertajuk “Teror Is
(NOT) Me” yang bertempat di Aula Gedung 3 FH UNS Solo, menyatakan bahwa apa
yang dilakukan selama ini oleh para penguasa. Yakni mengangkat tangan dan
mengarahkan telunjuknya kelompok dan
aktivis Islam ketika terjadi sebuah kasus terorisme dalam pandangan dan sudut
pandang para penguasa tersebut merupakan cara dan pola pikir seorang penguasa
yang mempunyai sebuah kepentingan (Antaranews.com).
Definisi Terorisme
Kabur
Sementara itu, pada hakikatnya definisi terorisme itu sendiri masihlah kabur, belum jelas. Namun secara mendasar, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata teror itu artinya ialah sebuah usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang
atau golongan dengan tujuan tertentu, terutama tujuan politik. Sedangkan
menurut Walter, terorisme sebagai proses teror setidaknya memiliki 3 unsur,
yakni: tindakan atau ancaman kekerasan; reaksi emosional terhadap ketakutan
yang amat sangat dari pihak korban atau calon korban; dan adanya dampak sosial
yang mengikuti ancaman dan rasa ketakutan yang muncul setelah aksi teror
terjadi (Terorisme dan Jihad: 2009). Jadi, jika sudah ada dampak demikian,
barulah pelakunya pantas disebut teroris,
yaitu orang yang melakukan tindakan teror.
Akan
tetapi, di sisi lain,
seperti tindakan teror berupa penembakan dan pembunuhan atas warga sipil dan
aparat kepolisian/militer yang terjadi di Papua
ternyata tidak dikatakan sebagai tindakan terorisme. Kemudian yang dilakukan RMS di Maluku juga tidak disebut
sebagai teroris. Atau bahkan pengeboman bertubi-tubi yang disertai dengan defoliasi-pemusnahan
tanaman-tanaman dengan bahan kimia oleh Amerika Serikat (AS)di Vietnam (1962), pembantaian di El Savador dan
Guatemala yang memakan korban lebih dari 150.000 jiwa rakyatnya sendiri dengan sekutu
AS (1980-an), pengeboman AS terhadap
Irak (Terorisme Konspirasi Anti-Islam: 2002), dan yang hingga kini masih
benar-benar nyata sebuah kekejian biadab adalah aksi sekutu AS, Israel, yang
menggempur Palestina habis-habisan. Semua tindakan real ini ternyata tidak
digolongkan ke dalam aksi terorisme. Miris.
Padahal, Negara adidaya AS pernah
memproklamirkan secara Internasioanl akan melawan teroris yang dianggap
membahayakan keamanan dunia. Walaupun pernyataan tersebut juga diembel-embeli
kalimat yang membuat “gempar” (baca: takut) negara-negara dunia. “if you are
not wish us, you are againts us.” (kalau kalian tidak turut serta dengan
kami, berarti kalian adalah musuh kami). Lalu, adakah yang berani menentangnya?
Maka menjadi tepatlah ilustrasi yang
pernah diceritakan oleh Filosof St. Augustine. Ia menarasikan seorang bajak
laut (perompak) yang tertangkap oleh seorang Kaisar Iskandar Agung. Alkisah,
terjadilah dialog di antara keduanya. “Mengapa kamu berani mengacau lautan?”
Tanya Iskandar Agung. Ditanya demikian, perampok malah balik bertanya, “Mengapa
kamu berani mengacau seluruh dunia? Karena aku melakukannya dengan sebuah
perahu kecil, lalu aku disebut maling; kalian? Karena melakukannya dengan
kapal besar, disebut Kaisar.
Menjadi jelas alasan definisi teroris
selama ini masih kabur, tidak jelas, bahkan banyak yang memberi label teroris
terhadap Islam. Karena ternyata yang meneriakkan isu terorisme itu sendiri
tidak bukan ialah seorang teroris yang ulung sebelumnya, bahkan hingga sekarang.
Ia tidak hanya meneror secara fisik dengan senjata dan nuklir. Namun hanya
dengan kata-kata saja pun dunia sudah “gempar” dengannya. Akhirnya penulis
kira, bak maling berteriak maling. Teroris berteriak terorisme.
Islam ≠Terorisme
Ajaran Islam
tidaklah melegitimasi tindak kekerasan, membunuh, apalagi meneror dunia
sebagaimana didalihkan AS (baca: barat). Malahan, Islam mengajarkan sikap
toleransi, kasih sayang, humanis, dan mengecam tindak kekerasan apalagi
pembunuhan masal (baca: terorisme).
Beberapa di
antaranya penulis kemukakan argumen dari ayat Al-Quran, yaitu kitab suci yang
dijadikan pedoman hidup bagi umat muslim, baik untuk kehidupan di dunia maupun di
akhirat. Al-Quran dengan terang menyatkan bahwa Islam tidaklah seperti yang
didalihkan publik saat ini.
Pertama, dalam surat Al-An’am ayat 151 yang
artinya: “Janganlah membunuh jiwa yang Allah haramkan untuk membunuhnya,
kecuali dengan alasan yang benar.” Kedua, pada surat Al-Maidah ayat 32 yang
artinya: ”Bila seseorang menyelamatkan satu jiwa, ia seolah telah
menyelamatkan seluruh manusia.” Dan selanjutnya pada surat Al-Baqarah ayat
191 yang artinya: “Berbuat kekacauan dan penindasan itu lebih kejam daripada
pembunuhan.”
Tetapi, di
samping itu, Umat Islam juga mengakui, bahwa memang ada beberapa ayat yang
kalau pembaca salah mengartikannya akan salah kaprah, bahkan fatal.
Kejadian yang seperti itulah yang akan menimbulkan kesan bahwa Islam
menganjurkan kekerasan dan pembunuhan.
Mungkin itu
jugalah yang telah dilakukan oleh sebagian golongan Islam yang dituduhkan
kepada Imam Samudra, Amrozi dan kawan-kawannya. Mereka cenderung mengartikan
firman Allah dengan literal. Terpacu pada teks saja. Dengan dalih
memperjuangkan “Islam”. Seperti yang ada pada surat Al Baqarah, ayat 193; “Dan
perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu
hanya untuk Alloh belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak
ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” Kemudian
pada surat An-Nisa’ ayat 84, surat Al-Maidah, ayat 33, surat Al-Anfal ayat 12
dan 17.
Penulis juga
tidak apriori memandang tindakan tersebut. Mengutip tulisan Salahudin Wahid
dalam buku Terorisme Konspirasi Anti-Islam (2002), bahwa memperjuangkan Islam
itu juga belum tentu murni lillah, karena memang sulit untuk membedakan
apakah itu benar-benar kepentingan Islam atau kepentingan kelompok yang
bersangkutan. Fenomena kaum Khawarij dapat menjadi kajian yang berharga dalam
menelusuri kecenderungan tindak kekerasan di kalangan umat Islam.
Heri Kuseri,
mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat
IAIN Walisongo Semarang
IAIN Walisongo Semarang