Cerpen
Oleh
Sihabuddin
Jangan Biarkan Cinta Diam Saja |
Entah kenapa
hari ini aku tak berminat menikmati weekend bersama keluarga. Biasanya setiap
minggu pergi ke tempat wisata yang tak jauh dari rumah. Tapi, hari ini aku di
rumah saja, sedangkan suami dan anak-anak tetap melakukan rutinitas mingguan.
Sebenarnya mereka protes, tapi dengan berbagai alasan akhirnya mereka luluh dan
pamit berlibur seharian ke daerah pegunungan.
Aku awali
pekerjaan pagi ini dengan bersih-bersih rumah. Rumah dengan empat kamar tidur
ini cukup melelahkan karena masih ada kamar-kamar lainnya. Saat aku
membersihkan kamar anak-anakku, mataku tertuju pada setumpuk benda yang
mengingatkanku pada masa lalu. Ternyata mereka sangat menyukainya.
***
Tak tahu apa
yang membuat mereka tak berani menyatakan cintanya secara langsung. Aku masih
ingat saat SMP sering ada surat berserakan di bawah bangkuku di kelas. Setelah
aku baca semuanya memang ditujukan padaku, pengirimnya rata-rata anak satu
angkatan dan kakak kelas. Bahkan, ada satu surat yang membuatku terkesan, ya….
surat berwarna merah jambu dengan gambar dua merpati di sampingnya, membuatku
terpukau pada permainan katanya yang sungguh indah. Aku yakin pengirim surat
ini orang yang berpotensi untuk jadi pujangga. Namun, bisa juga pengirim surat
ini menyuruh orang lain membuatnya. Tapi, itu tidak penting, yang penting surat
ini telah membuatku tertarik. Namun sayang surat ini tidak jelas identitasnya.
Apakah pengirimnya lupa menyertakan nama? Atau memang sengaja tidak diberi
nama?
Berhari-hari kutunggu
datangnya surat dengan untaian kata yang membuatku terpesona. Seandainya datang
surat yang sangat bagus permainan katanya lagi. Aku yakin pasti dari orang yang
sama. Namun, menunggu hanya menunggu surat itu tak kunjung datang, sedangkan
diriku banyak orang yang mengantri. Akhirnya surat yang tak jelas identitasnya
datang lagi, aku yakin ini dari orang yang sama. Namun, lagi-lagi datangnya
surat ini membuatku semakin penasaran.
“Nikmah, Aku
butuh ketegasanmu. Sampai kapan kau akan membiarkanku menunggu dan menunggu,”
Faizal mengiba-ngiba.
Tak tahu apa
penyebabnya saat itu, aku langsung mengangguk dan tersenyum, sejak saat itu
pula aku resmi menjalin kasih dengan Faizal. Mungkin karena Faizal-lah orang
yang terang-terangan mengungkapkan perasaannya. Sedangkan yang lain termasuk
pengirim surat tanpa identitas itu hanya berani mengungkap hitam di atas putih.
Tapi, jujur sampai saat ini aku masih penasaran dengan pengirim surat misterius
itu dan berharap bisa menjalin kasih dengannya. Karena sampai saat ini, aku
masih setengah hati dengan Faizal.
Berkat
kesungguhan cinta Faizal, akhirnya aku sangat mencintainya. Bahkan, aku tidak
bisa sedetikpun tanpa dia. Surat misterius itu sedikit demi sedikit terhapus
dan hilang dibawa waktu. Kisah asmaraku dengan Faizal menyebar di sekolah,
sejak saat itu tidak ada surat cinta lagi, yang ada hanya surat patah hati.
Tak kusangka,
hampir satu tahun memadu asmara hubunganku kandas. Faizal memutus tali kasih
ini secara sepihak, tak tahu setan apa yang telah merasuki pikirannya. Setelah kutanya
apa penyebabnya? Faizal menjawab kita sudah tidak cocok, ini sudah jalan yang
terbaik. Aneh dia sungguh aneh. Sejak saat itu, aku sering murung diri. Satu
minggu kemudian, Alhamdulillah aku bisa bangkit kembali dari keterpurukan dan bisa
melupakannya.
Memasuki kelas
Sembilan, surat misterius itu datang lagi. Anehnya surat itu ada di loker
tasku. Aku yakin surat ini datang dari orang yang sama. Surat itu menyihirku
menjadi detektif dadakan. Hampir setiap siswa laki-laki yang ada di sekolah ini
kucurigai, terutama teman sekelasku kecuali Faizal, karena hatiku sudah
tertutup untuknya. Orang yang pertama kali aku curigai Anton, siswa pendiam dan
lebih suka mengekspresikan keadaan hatinya lewat kata-kata, namun setelah
kutelusuri bukan dia orangnya, malah saat kuajak bicara dan kupancing dengan
surat misterius, jadinya tidak nyambung, terpaksa ku akhiri percakapan takut
malu sendiri.
Setelah Anton,
giliran Toni. Alasanku mencurigainya, sebab gesture tubuhnya mengatakan kalau
dia menyukaiku. Namun, lagi-lagi aku salah sasaran. Ternyata Toni bukan orang
yang suka mengekspresikan keadaan jiwanya dengan kata-kata. Bukti yang lebih
kuat aku dapatkan dari teman dekatnya kalau Toni tidak suka menulis, bahkan pelajaran
pentingpun jarang ia tulis. Setelah Toni, giliran Munir, Habib, Riko dan
siswa-siswa lainnya. Bahkan, Guntur, adik kelas yang dikenal alim seantero
sekolah aku curigai. Namun, bukan merekalah pengirim surat cinta terbaik di
dunia versi diriku.
Ujian Nasional pun
tinggal satu bulan lagi, sampai saat itu aku masih menjomblo, aku takut
kejadian itu terulang kembali. Jadi, harus benar-benar selektif mencari
pasangan. Aneh sungguh aneh surat itu datang kembali bahkan diantarkan ke gerbang
rumah. Awalnya aku menyangka surat itu surat biasa tapi setelah kubuka dan
kulihat permainan bahasanya, aku yakin surat ini dari orang yang sama. Tapi,
anehnya kenapa pengirim surat ini tega-teganya membuatku semakin penasaran. UNAS
Kurang satu hari malah surat itu datang lagi. Tapi, aku cuek dan meletakkannya
di gudang belakang bersama barang rongsokan, meskipun hatiku terpanggil untuk
membacanya.
***
Memasuki kelas
dua SMA namaku semakin tenar di antero sekolah, bukan karena prestasiku,
prestasiku di sekolah hanya lima besar dan pernah tiga besar di kelas tidak
sebegitu gemilang seperti si Mike, Lia, dan Troy. Tapi, popularitasku
mengalahkan mereka. Sebab, aku dikarunia wajah yang rupawan dengan tinggi
semampai. Padahal waktu SMP meskipun aku cantik, tidak secantik seperti saat
ini. Banyak teman-teman menyarankan aku ikut casting flim, foto model dan
sebagainya. Tapi, aku bukan seperti itu. Aku wanita simple tidak mau ribet
dengan hal ini. Bagiku kecantikan harus dibangun dari dalam.
Satu tahun
berlalu, surat cinta misterius itu tidak pernah datang. Mungkin pengirimnya
sudah menemukan pujaan hatinya. Atau sudah patah hati, atau dulu dia hanya
iseng, dan sekarang sudah lelah menjadi orang iseng. Tapi, kadang aku
merindukan surat itu. Aku sangat suka permainan katanya. Andai aku tahu
orangnya, akulah yang akan menyatakan cinta pertama kali lewat lisan, tak
peduli seperti apa orangnya.
Dua tahun
hampir berlalu, surat cinta itu tidak datang-datang persis seperti bang Toyyib,
namun tinggal satu tahun untuk menyamai prestasinya. Memasuki kelas tiga SMA
aku memutuskan menjalin hubungan dengan Troy. Selain pintar, Troy tipe cowok
perhatian. Pacaran dengan dia memberi banyak manfaat, Troy banyak membantuku
dalam pelajaran. Selain itu, dia tidak pernah macam-macam padaku. Namun, apa yang terjadi hubungan kami tidak
direstui orang tua Troy dan akhirnya kami putus saat pertengahan kelas tiga
SMA.
Dendam menyala di dada saat putus
dengan Troy. Pokoknya saat UNAS nanti harus mengalahkan Troy, nilaiku harus
lebih tinggi di atasnya. Saat itulah, kusering menghabiskan waktu di kamar dari
pada aktifitas di luar rumah. Saat UNAS kurang satu minggu surat cinta
misterius datang lagi. Sungguh aku tidak menyangka, padahal jaraknya sudah
hampir tiga tahun. Namun, isi surat kali ini lebih memotivasi untuk lebih rajin
belajar dengan bumbu cinta di sekitarnya.
Alhamdulillah
tidak kusangka, aku dinyatakan sebagai lulusan terbaik tahun ini. Bahkan
nilaiku masuk sepuluh besar di kota ini, oh senangnya. Tawaran beasiswa datang
mengalir dari kampus-kampus ternama. Bahkan, meskipun tidak menerima tawaran
beasiswa ayahku berjanji akan membiayaiku meskipun selangit asalkan masih
mampu. Ucapan selamat datang melalui surat cinta misterius. Sejak saat itu, aku
menyangka pengirim surat cinta itu teman sekolahku di SMP dan SMA. Siapakah
dia? Aku sulit untuk menebaknya sebab 80 persen teman SMPku melanjutkan di
SMAku juga. Ah, sudahlah kalau sudah jodoh tidak akan kemana.
***
Aku pun menjadi
mahasiswa di universitas ternama, saat itu pula pertama kalinya aku merasakan
berpisah dengan orang tua, berat memang. Kuliah terus berjalan, sampai semester
empat surat itu datang lagi dan aku baca perkata, sungguh dahsyat aku
benar-benar terbius dibuatnya. Namun, aku tidak terlalu berharap, aku mau fokus
kuliah kalau sudah jodoh pasti tidak akan ke mana. Jodoh ada di tangan Tuhan.
Akhirnya aku
mendapatkan gelar sarjana ditempuh tiga setengah tahun dengan nilai cumload.
Ucapan selamat mengalir deras. Tawaran pekerjaan mulai berdatangan. Namun,
semuanya kutolak, demi berkarir di rumah agar tidak jauh-jauh dari orang tua.
Akhirnya aku bekerja di perusahaan swasta dengan gaji lumayan besar. Tapi,
suatu saat nanti ingin pindah ke instansi pemerintah.
“Kamu sudah
punya calon, Nak?” tanya Ibu.
“Masih ingin fokus
ke karir, Bu,”
“Kamu tidak
ingin segera punya anak ta? Usiamu sudah cukup,”
Aku tidak
menjawab pertanyaan ibu. Ibu tersenyum dan meninggalkanku sendiri. Aku sadar,
memang sudah waktunya membangun rumah tangga. Tapi, aku masih trauma dengan
kejadian beberapa tahun silam. Selain itu, rasa penasaran pada surat misterius
itu dan aku berharap orang itulah yang menjadi jodohku. Aku tak peduli seperti
apa wajahnya sebab melihat dari isi suratnya dia orang baik-baik, dan mengerti
akan diriku.
***
Reoni SMA angkatanku
digelar hari ini. Alhamdulillah lebih 90 persen teman-teman hadir. Banyak
sekali perubahan dari mereka, rata-rata mereka lebih dewasa dan sudah banyak
yang punya anak. Ada juga yang baru saja menikah, punya calon dan sebagainya.
Tapi, ada juga yang masih lajang seperti diriku. Banyak teman-teman yang heran
orang seperti diriku masih lajang, karir oke serta wajah rupawan.
Acara reoni
kurang lengkap tanpa foto-foto. Banyak teman-teman yang bawa kamera tapi aku
tidak, aku berniat beli jadinya sama yang memotret. Sejak awal aku memang merasa
selalu dipotret namun cuek saja. Paling itu teman-teman yang sedang iseng.
Reoni pun selesai dan pulang ke rumah setelah melepas kerinduan sama teman SMA.
“Eh, Alim…. Ada
perlu apa ke sini?” salah satu teman SMAku menyambangiku setelah satu minggu
acara reoni berlalu.
Setelah lama
bercakap-cakap si Alim memamerkan semua hasil jepretannya. Hasilnya sangat
bagus, bahkan aku terlihat lebih cantik di fotonya. Si Alim sangat puas melihat
ekspresi mukaku.
“Boleh tidak kalau
aku membeli semua foto ini?”
“Oooo tentu
saja boleh,” jawab Alim bersemangat.
“Satu foto
harganya berapa?” aku berniat mengambil uang.
“Oh, ti…
ti…tidak usah,” suara Alim patah-patah.
“Kenapa?”
“Tidak usah
bayar uang… Orangnya saja,” Alim menatap mataku setelah menghela nafas. Akupun
tersenyum dan mengangguk mengerti akan maksudnya.
Tak perlu
menunggu lama kami pun menikah, surat misterius itu tak lagi datang, kecuali
satu hari setelah hari pernikahan yang isinya ucapan selamat dan pasrah dengan
keputusanku. Namun, aku sudah tidak menghiraukannya. Karena aku yakin mas
Alim adalah jodohku, dan aku sudah capek
menunggu orang yang berani lewat surat tanpa identitas tanpa lewat pernyataan
melalui lisan.
Aku tidak salah
pilih. Aku bahagia dengan keputusan apalagi kalau melihat ketiga anak hasil
dari pernikahan kami. Surat misterius pun hilang dimakan waktu, kadang hanya
jadi kenangan masa lalu, kenangan yang tidak jelas, karena menunggu yang tidak
jelas.
Surabaya,
29 Oktober 2012
Sihabuddin, mahasiswa Public Relations Ilmu Komunikasi IAIN Sunan Ampel Surabaya. Asal Pamekasan
Madura. Tulisannya pernah dimuat di Annida on-line, Rimanews.com, Lintas Gayo,
Jawa Pos, Koran Jakarta, Kompas Kampus, dan Harian Surya